Tambang Mengusir Ibu dan Ayah Kami: Ratapan Terakhir dari Hutan Halmahera

Editor: Irfan Ahmad author photo

Gambar: Mengabadikan momen bersama Di'Mono dan anaknya. Sumber Foto: Koleksi  The Tebings Maluku Utara.
Hari itu, Selasa, 23 Mei 2024, langit sore diguyur hujan deras. Namun, udara dingin dan langit kelabu tak mampu meredam semangat yang tumbuh dalam pertemuan sederhana sore itu. Saya dipanggil oleh dua guru---saya sekaligus sahabat yang sudah lama saya kenal. Bukan hanya karena peran mereka dalam ruangan kelas, ketika saya masih menempuh pendidikan Strata Satu (S1), tetapi juga karena bimbingan mereka yang terus mengalir ketika saya mulai menapaki dunia riset. Mereka adalah Bapak Safrudin Abdulrahman dan Andi Sumar Karman—dua nama yang sangat berarti dalam perjalanan intelektual saya, terutama dalam membuka jendela pengetahuan tentang antropologi.
 

Sebagai seseorang yang tumbuh dari latar belakang sejarah, istilah-istilah antropologi bukanlah hal asing bagi saya. Namun, memahaminya secara mendalam, menjadikannya alat baca terhadap realitas sosial, dan menerapkannya dalam riset lapangan adalah tantangan lain yang menuntut waktu, latihan, dan kesungguhan.

 

Sore di “Teras Tebings” yang akrab—dengan aroma kopi yang mengepul dari gelas ala Tebings—percakapan kami dimulai. Safrudin Abdulrahman, Ketua Yayasan The Tebings, membuka pembicaraan. Dengan cara khasnya yang tenang tapi tegas, ia menyampaikan sebuah ajakan: ikut terlibat dalam program riset lapangan yang tengah dirancang oleh yayasan.

 

Program ini bukan sekadar perjalanan biasa. Ini adalah ajakan untuk menelusuri jejak komunitas yang selama ini dikenal secara umum sebagai “orang Togutil” di wilayah Kabupaten Halmahera Timur. Sebuah perjalanan panjang, bukan hanya secara geografis, tapi juga intelektual dan batiniah—menyusuri tapal batas antara pengetahuan dan empati, antara mencatat dan memahami.

 

Bagi saya, ini adalah kesempatan yang berharga. Meskipun sebelumnya saya pernah diajak menjelajah hutan di Gogaili (Desember 2022) Halmahera Timur, hutan Kulo, Halmahera Tengah (April 2021), dan Kai, Halmahera Utara (Oktober 2017). Setiap perjalanan selalu membawa nuansa dan pengalaman yang berbeda. Saat itu, kami tidak menerima upah atau honor karena kegiatan ini merupakan bagian dari program pengabdian yayasan. Tapi justru di situlah nilai sejatinya: perjalanan ini adalah proses belajar dan pengabdian.

 

Selain dua dosen yang telah saya sebutkan, ada satu nama lagi yang begitu berarti dalam perjalanan ini—dan dalam perjalanan ini—Ibu Arlinah Majid. Beliau bukan sekadar turut ambil bagian dalam kegiatan pengabdian ini, tetapi juga hadir sebagai sosok mentor yang membentuk cara pandang dan cara saya menulis. Saya masih sangat ingat momen ketika laporan riset pertama saya ditolak mentah-mentah beliau. Katanya, tulisan saya kaku, terlalu teknis, dan jauh dari kata layak. Waktu itu saya terlibat meneliti “Permukiman Kampung Makassar di Ternate”, sekitar tahun 2013. Rasanya pahit—saya hanya bisa tertawa kecut sambil menahan malu dan kecewa. Tapi di balik teguran yang keras itu, tersimpan pelajaran yang dalam. Dari kritikan itu, saya belajar bahwa menulis bukan sekadar menyusun kata-kata, tapi membentuk cara berpikir. Dari sanalah saya mulai tumbuh, sedikit demi sedikit, meniti jalan menulis yang tak selalu mudah—hingga hari ini.

 

Rabu, 24 Mei, kami berangkat dari Ternate bersama tim Yayasan The Tebing. Perjalanan kami diantar langsung oleh Bapak M. Ridha Ajam—pembina yayasan sekaligus sosok yang kami anggap sebagai orang tua sendiri. Beliau memastikan semua kebutuhan perjalanan kami terpenuhi karena kami akan berada di wilayah hutan selama kurang lebih satu minggu. Hebatnya, Bapak Ridha Ajam saat itu sebenarnya tidak memiliki kepentingan langsung di Halmahera Timur. Namun, ia tetap rela meluangkan waktu, menempuh perjalanan panjang, meninggalkan anak-istri, dan menahan lelah demi menemani kami sampai ke Maba. Ketulusannya bukan hanya terasa, tapi juga menjadi teladan.

 

Dari beliaulah kami sering belajar bahwa tidak semua pekerjaan harus diukur dengan bayaran. Bahwa dalam setiap langkah pengabdian, jangan mudah tergiur oleh uang. Justru yang terpenting adalah membangun komitmen dalam bekerja dan menjunjung tinggi kejujuran. Prinsip inilah yang ia tanamkan kepada kami—bahwa solidaritas dalam kerja-kerja yayasan dibangun bukan atas dasar kepentingan pribadi, melainkan pada nilai bersama yang dijaga dengan integritas.

Pelabuhan Lolasita, Maba Utara. Sumber Foto: Koleksi  The Tebings Maluku Utara.

Perjalanan menuju komunitas Togutil sangat panjang dan melelahkan. Dari pagi hari, kami naik speedboat dari Ternate menuju Sofifi—sekitar 45 menit perjalanan laut. Sesampainya di Sofifi, kami lanjutkan perjalanan darat menggunakan mobil selama empat jam menuju Kota Maba, Halmahera Timur. Karena hari sudah malam, kami memutuskan beristirahat dan bermalam di sana.

 

Keesokan harinya, perjalanan kami lanjutkan. Butuh sekitar tiga jam perjalanan darat menuju Pelabuhan Sosolat, sebuah desa di perbatasan Kecamatan Maba Utara dan Maba Tengah. Di pelabuhan ini, kami harus menunggu sekitar lima jam karena cuaca memburuk: hujan deras disertai angin membuat longboat yang akan menjemput kami tertunda kedatangannya.

Gambar: Dari Desa Lolasita, tim melanjutkan perjalanan ke Desa Lili dan Dorosago di Kecamatan Maba Utara. Sumber Foto: Koleksi  The Tebings Maluku Utara.

Tepat pukul 18.00 WIT, longboat akhirnya tiba. Kami bertolak menuju desa terdekat, Lolasita, menempuh perjalanan selama satu jam dengan perahu bermesin ganda 50 PK. Malam itu kami bermalam di Lolasita, dan keesokan paginya menyeberang kembali selama 30 menit menuju desa Dorosagu. Dari sana, kami melanjutkan perjalanan darat menggunakan kendaraan roda tiga (Viar) selama satu jam. Perjalanan ditutup dengan berjalan kaki selama satu hingga dua jam menembus hutan untuk mencapai komunitas Togutil.

 

Setiap langkah dalam perjalanan ini bukan sekadar lintasan geografis, melainkan juga lintasan pengalaman, pembelajaran, dan perjumpaan dengan laku hidup yang berbeda. Di sanalah saya belajar, bahwa riset bukan hanya soal data dan teori, tapi juga soal kerendahan hati untuk hadir, mendengar, mencatat, dan memahami.

Gambar: Perjalanan dimulai dengan naik Viar hingga batas kebun, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju lokasi komunitas Togutil. Sumber Foto: Koleksi  The Tebings Maluku Utara.

Hutan: Tempat Jiwa Kami Berakar

Di pedalaman hutan Halmahera, ada sekelompok masyarakat yang selama ini dikenal oleh orang luar sebagai "Orang Togutil". Tapi menariknya, mereka sendiri tidak mengenal nama itu. Bagi mereka, sebutan Togutil terdengar asing. Safrudin Abdulrahman, Antropolog yang sudah 23 tahun menelusuri jejak kehidupan mereka. Menyebut, "mereka tidak tahu apa itu Togutil, "Kalau ditanya, mereka akan bilang, 'Kami ini orang Tobelo.” Mereka merasa satu bahasa dan satu asal dengan orang Tobelo yang tinggal di pesisir, yang biasa mereka sebut sebagai o berera manyawa—orang kampung.

 

Sementara itu, untuk menyebut diri sendiri, mereka punya istilah yang sangat bermakna: ohongana manyawa atau o fongana manyawa. Artinya, orang yang hidup berpindah-pindah di hutan—sebuah identitas yang mencerminkan cara hidup mereka yang menyatu dengan alam. Lebih lanjut, Safrudin—menjelaskan bahwa, Hutan bagi mereka bukan sekadar tempat tinggal, tapi ruang hidup yang punya banyak lapisan makna. Mereka bahkan punya cara sendiri untuk membagi kawasan hutan. Setidaknya ada tiga jenis hutan dalam pemahaman mereka.

Gambar: Safrudin Abdulrahman bersama Dedero Karatahi, dalam dokumentasi tahun 2022 dan 2025. Sumber: Koleksi Pribadi Safrudin.

Pertama, ada yang disebut raki ma amoko—hutan yang jadi sumber makanan. Di sini ada pohon sagu, hewan buruan seperti rusa dan babi hutan, dan juga tempat mereka mencari damar serta kayu gaharu. Kedua, fongana atau ladang, yaitu hutan yang mereka buka untuk bercocok tanam sekaligus tempat tinggal sementara. Ketiga, yang paling sakral, adalah hongana manga gomanga—hutan tempat roh para leluhur bersemayam.

Hutan jenis terakhir ini biasanya masih perawan, penuh pepohonan besar dan lebat. Hampir tak ada yang berani masuk ke dalamnya. "Mereka percaya, hutan itu dijaga oleh roh leluhur," kata Safrudin. "Kalau diganggu, bisa membawa bencana." Di balik kehidupan sederhana mereka, orang ohongana manyawa menyimpan kearifan lama yang menjadikan hutan bukan hanya tempat hidup, tapi juga tempat yang harus dihormati. Bagi mereka, hutan bukan sekadar alam liar—ia adalah rumah, sejarah, dan warisan jiwa-jiwa tua yang tetap hidup di antara pepohonan.

 

Sungai sebagai Ibu, Hutan sebagai Ayah

Selama lima hari, kami menjelajahi wilayah-wilayah yang kini menjadi rumah bagi komunitas ohongana manyawa—Lokasi yang kami tuju terbentang di empat desa: pertama, Desa Lili, dengan titik lokasi di Ategou, Makahar, Halawaku, Afu, Tebitebini, dan Dangirino; kedua, Desa Doromoi di lokasi Rumah Tuju; ketiga, Desa Dorosago, dengan komunitas di Kusukusu, Mabulan, dan Dororam; dan terakhir, Desa Kumlanga, yang mencakup Waleino, Totukur, dan Haihai.

Gambar: Potret perjalanan ke wilayah hunian masyarakat Togutil. Sumber Foto: Koleksi  The Tebings Maluku Utara.

Keempat desa ini menjadi simpul dari 14 komunitas ohongana manyawa yang masih bertahan di dalam dan sekitar hutan Maba Utara, Halmahera. Meski tak lagi hidup di jantung rimba seperti generasi sebelumnya, kini mereka tinggal di batas hutan dan sering menjaga kebun milik warga pesisir. Hutan tetap menjadi rumah, meski rumah itu kini kian menjauh.

 

Dalam perjalanan menuju lokasi, Safrudin Abdulrahman—ketua tim kami—berbagi kisah yang merangkum perubahan zaman. Dahulu, setiap komunitas memiliki wilayah berburu yang dijaga ketat. Tak seorang pun boleh melintasi wilayah lain tanpa izin, sebab pelanggaran bisa berujung konflik berdarah. Namun kini, batas-batas itu mulai luluh. Perkawinan antarkelompok—yang mereka sebut ilaka—telah menjalin ikatan baru, memperluas rasa kekeluargaan. Perselisihan tentang wilayah pun perlahan mereda.

 

Meski demikian, batas alam seperti sungai masih tetap dihormati. Namun bagi mereka, sungai bukan sekadar garis pemisah—ia adalah sumber hidup yang dimaknai secara mendalam.

 

Menurut Habian Tiak (65), seorang di'mono (tetua adat) “Sungai itu seperti air susu mama kami.” Menyebutnya dengan istilah nanga ayo ami huhu, yang berarti: sungai adalah aliran kehidupan—yang memberi makan, membersihkan, dan menjaga mereka seperti ibu kepada anak. Sebaliknya, tanah, hutan, dan gunung mereka maknai sebagai sosok ayah. Dalam bahasa mereka: otonaka, ohongana, deoloko ga ngomi yama, yang secara bebas diterjemahkan sebagai “bapak adalah tanah, hutan, dan gunung tempat kami berpijak dan berlindung.”

 

Namun kini, ayah dan ibu itu mulai terluka. Kerusakan hutan, pencemaran sungai, dan eksploitasi gunung membuat kehidupan mereka terancam. “Kalau semua rusak, kami akan kesusahan,” kata Habian pelan. “Kami makin jauh dari sumber makanan.”

 

Fenomena kehadiran tambang nikel yang kian masif di Halmahera Timur telah memengaruhi ruang hidup mereka. Mereka menyadari kerusakan itu, namun tak banyak yang bisa dilakukan. Mereka hanya bisa diam, memandang hutan yang berubah, sungai yang mengeruh, dan langit yang tak lagi tenang. Bagi masyarakat ohongana manyawa, menjaga alam bukan sekadar kewajiban, melainkan menjaga tubuh para leluhur yang mereka yakini bersemayam dalam pohon, batu, dan tanah.

Gambar: Salah satu hunian komunitas Togutil berbatasan langsung dengan kebun milik masyarakat. Terlihat pohon kelapa di belakang rumah tersebut. Sumber Foto: Koleksi  The Tebings Maluku Utara.

Kini, banyak dari mereka yang mulai turun ke pesisir. Namun di sana pun mereka berhadapan dengan persoalan baru: tanah yang sudah bersertifikat dan dimiliki warga. Maka mereka memilih tinggal di batas-batas kebun, jauh dari pusat kampung, dan perlahan mulai membiasakan diri dengan hidup setengah menetap.

 

Menurut Habian Tiak, sejak program transmigrasi masuk ke daerah Subaim dan Waleino pada 1980-an, wilayah hutan mulai terdesak. “Dulu hutan itu luas, tapi sekarang sudah banyak yang hilang. Perburuan jadi makin sulit, sungai mulai kotor. Karena itu kami sering ke pesisir untuk cari makan,” katanya dengan nada pasrah. Di mata mereka, sungai dan hutan bukan sekadar lanskap alam. Mereka adalah orangtua—yang memberi, melindungi, dan membentuk hidup. Ketika alam itu rusak, maka ratapan pun mengalir. Ratapan yang sunyi, tapi dalam. Ratapan terakhir dari anak-anak rimba yang ditinggalkan dunia.



Share:
Komentar

Terkini