Hayewin Ngnge: Kenari Yang Jatuh Tak Selalu Hilang

Editor: Irfan Ahmad author photo

Gambar: Pulau Makyan, 1609. Sumber: Roever, A.de. et.al. Grote Atlas van de Verenigde Oost-Indische Compagnie deel 3. 

Di Pulau Makeang, yang oleh penduduk setempat dikenal sebagai "Kie Besi", tumbuh sebuah kisah panjang yang hidup dalam ingatan kolektif warganya—kisah tentang cengkih. Bagi masyarakat Makeang, cengkih bukan sekadar komoditas, melainkan simbol harga diri, warisan, dan luka yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Makeang dikenal memiliki varietas unggul yang disebut “cengke raja”, dengan bunga berwarna merah terang dan buah yang lebih lebat dibanding jenis lain seperti cengke budo, posi-posi, dan cengke dokiri. Pada tahun 1769, cengke raja ini pernah diselundupkan oleh seorang kapten kapal asal Prancis, yang membawanya ke Rumania, lalu menyebar ke Zanzibar dan Madagaskar. Dari tanah Makeang yang vulkanik, cengkih itu akhirnya mengakar di tanah asing, meninggalkan ironi yang dalam.

 

Menurut catatan Gubernur Portugis, Antonio Galvao (1544), Makeang adalah salah satu pelabuhan dagang dan persinggahan bagi para saudagar dari berbagai penjuru laut. Di antara mereka, orang-orang Taibencu—sebutan lokal untuk saudagar Tionghoa—datang sebagai pembeli awal, membawa mata uang fang dan membeli cengkih dalam jumlah besar. Mereka tertarik bukan hanya pada rempah, tetapi juga pada keramahan dan keluwesan budaya masyarakat Makeang, yang sudah dikenal beradab sejak lama.

 

Dalam tradisi lisan orang Makeang, cengkih kerap disebut sebagai "anak perempuan yang kelak menjadi ibu", yang dibesarkan dengan kasih, dijaga sepenuh hati, dan diwariskan sebagai kebanggaan. Di serambi rumah atau saat panen tiba, para tetua kampung masih melafalkan satu kisah yang terus hidup:

 

"Dulu, orang Walanda saja datang balanja cengke, bukan cuma dia pebua, tapi juga dia pebatang, daun, sampe satu kali deng akar-akarnya."

 

Setelah itu, banyak kebun menjadi kosong. Pohon-pohon tua yang tumbuh alami—simbol ketekunan dan keberlimpahan—hilang dalam sekejap. Bagi para leluhur, itu bukan sekadar kehilangan hasil panen, tetapi kehilangan martabat dan tanda pengakuan sosial. Sebab di masa lalu, pohon cengkih menjadi penanda siapa yang memiliki tanah, siapa yang dihormati. Maka, ketika pohon-pohon itu ditebang, yang tumbang bukan hanya batang dan akar, tapi juga harga diri.

 

Cerita ini masih dituturkan hingga kini. Anak cucu diingatkan agar jangan sembarang menebang pohon cengkih, karena dahulu pohon-pohon itu pernah tumbuh dari darah dan air mata orang Makeang.

 

Ungkapan itu, yang terdengar seperti dongeng, sebenarnya menyimpan kepedihan sejarah. Kebijakan ekstirpasi yang diterapkan oleh Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) pada 1655—penebangan paksa pohon-pohon cengkih di luar wilayah monopoli untuk mengendalikan pasokan dan menekan harga di pasar dunia. Bagi Belanda, itu strategi dagang. Tapi bagi masyarakat lokal, itu adalah perampasan dan pemusnahan warisan.

 

Seiring waktu, relasi dagang yang dahulu tampak setara berubah menjadi dominasi. Masyarakat mulai sadar bahwa apa yang dialami leluhur mereka bukan sekadar praktik perdagangan bebas, melainkan bentuk kolonisasi ekonomi yang dibungkus dengan istilah “kerja sama”. Penebangan hingga ke akar menjadi simbol perampasan kuasa, ketika pasar global memperlakukan pohon leluhur sebagai komoditas dan tanah sebagai alat kendali.

 

Kenari, Tanaman Leluhur 

Dalam bahasa Taba, yang digunakan oleh masyarakat Makeang Timur, kata “ngnge” merujuk pada pohon kenari. Dalam beberapa “kamus” kolonial Belanda, ada istilah “ngie” yang digunakan untuk menyebut buah kenari. Namun, menurut Gibra, Antropolinguist Universitas Khairun, penyebutan ngnge” dalam bahasa Taba sebenarnya sudah mencakup keduanya, pohon dan buah kenari. Artinya, dalam satu kata, terkandung makna ekologis sekaligus sosial.

 

Perbedaan ini bukan sekadar soal ejaan atau istilah. Bagi saya, ini adalah pintu masuk penting untuk memahami bagaimana orang Makeang pada masa lalu—mungkin sejak berabad-abad silam—melihat dan menghayati lingkungan tempat mereka hidup. Bahasa menjadi cermin dari relasi manusia dengan alam, dan dalam hal ini, kenari bukan sekadar objek pangan, tetapi bagian dari lanskap budaya.

Gambar: kata “ngie” (kenari) yang terdokumentasi oleh Belanda, 1890.

Kenari di Makeang adalah buah serba guna. Ia hadir dalam kue tradisional, diolah menjadi halua kenari, dan digunakan dalam berbagai jenis masakan lokal. Menurut catatan F.S.A. de Clercq (1890), masyarakat Makeang biasa mengolah jagung (gocila) dengan menumbuknya menjadi butiran kecil menyerupai beras, lalu memakannya dengan ikan atau dicampur biji kenari. Bila tidak ada jagung, mereka membakar pisang capatu dan mencelupkannya ke dalam sambal kenari (dabudabu)—campuran biji kenari tumbuk, tomat, bawang merah, cabai, jeruk, dan sedikit air laut. Ini bukan hanya soal rasa, tapi juga soal selera lokal yang dibentuk oleh geografi dan musim.

 

Dalam cerita rakyat Makeang, setelah program penebangan cengkih oleh VOC—kenari mulai diperkenalkan dan ditanam secara meluas, sebagai alternatif yang dianggap memiliki nilai serupa. Namun banyak kalangan, termasuk saya, meyakini bahwa pohon kenari bukanlah tanaman asing yang diperkenalkan kolonial. Ia kemungkinan telah lama hidup berdampingan dengan manusia di pulau itu, dan telah menjadi bagian dari keseharian jauh sebelum kedatangan VOC.

 

Secara ilmiah, pohon kenari (Canarium vulgare Leenh) dikenal sebagai tanaman tropis dan subtropis, yang disebut-sebut oleh ahli botani Carolus Linnaeus (1707-1778), pohon kenari sebagai tanaman endemik kawasan Melanesia. Tapi di Makeang, ia bukan sekadar spesies botani. Ia adalah saksi sejarah.

Gambar: Buah Kenari dari  Makeang. Sumber: Facebook Fuad At, 2019. 

Dalam catatan J.G. Brumund (1856) “Makyan en Batjan: Fragment Mijner Reizen Naar Mollukos”. Disebutkan bahwa setelah VOC menghentikan eksploitasi cengkih dan melakukan program ekstirpasi (penebangan massal), Pulau Makeang mengalami kemunduran. Penduduk bermigrasi, populasi menurun, dan kehidupan sosialnya melemah. Namun, di balik luka itu, tumbuh sesuatu yang tak diduga—kenari. Dari kampung hingga hutan-hutan pedalaman, kenari tumbuh subur, menggantikan kosongnya ladang-ladang cengkih yang telah ditebang.

 

Pohon-pohon ini kemudian dimanfaatkan untuk menghasilkan minyak kenari, yang diekspor bersama ikan fufu dan ikan asin. Tembakau juga tumbuh di pulau ini, dan disebut memiliki kualitas tinggi. F. Valentijn (1724) bahkan mencatat bahwa orang Makeang adalah petani ulung, pandai mengolah tanah dan bahan pangan, serta mampu memasok makanan, termasuk sagu, ke pulau-pulau lain.

 

Bukan hanya biji atau buah kenari yang memiliki nilai ekonomi, bahkan cangkang kenari—kulit keras sisa dari buah yang telah dikeringkan dan diambil isinya—juga menyimpan nilai penting dalam kehidupan masyarakat. Dalam ingatan kolektif masyarakat Toloa, seperti yang disampaikan oleh Syarif Hamisi (64), hubungan dengan orang Makeang telah terjalin sejak lama, bahkan melampaui sekadar hubungan kekerabatan biasa. Salah satu bukti nyata dari kedekatan historis tersebut adalah praktik perdagangan cangkang kenari. Sejak awal abad XVII, orang-orang dari Pulau Makeang telah dikenal sebagai pemasok utama cangkang kenari ke Toloa, Tidore. Di tangan para pandai besi Toloa, cangkang ini bukan dianggap limbah, melainkan bahan bakar unggulan untuk menempa besi—membuat peda (parang)—karena daya panasnya yang kuat dan stabil. Hubungan dagang ini telah berlangsung lintas generasi dan menjadi bagian dari narasi bersama antara dua wilayah yang dipisahkan laut, namun disatukan oleh sejarah dan kebutuhan bersama.

 

Fataruddin Soleman (69) masih mengingat dengan jelas kisah-kisah lama yang diwariskan dari generasi ke generasi tentang hubungan dagang antara Makeang dan Toloa. Bahkan, di Toloa terdapat sebuah makam tua yang disebut Jere Mara, sebuah tempat yang dihormati dan dijaga, yang diyakini memiliki keterkaitan historis dengan leluhur orang Makeang. Hingga hari ini, cerita-cerita itu tetap hidup dalam ingatan para tetua dan menjadi bagian dari narasi kolektif masyarakat.

 

Letusan dahsyat Gunung Makeang pada tahun 1648 nyaris membelah pulau menjadi dua. Tapi pohon-pohon kenari kembali tumbuh. Ketika letusan kembali terjadi pada 1861, banyak yang mati tertimbun abu vulkanik, dan upaya penanaman kembali sering gagal karena kekeringan. Namun, masyarakat kampung Sabale dan Talapau terus menjaga tradisi membuat minyak kenari, mereka tetap memproduksi minyak kenari dan menjualnya, meski secara terbatas.

 

Kenari, bagi orang Makeang, bukan hanya soal ekonomi. Ia adalah simbol ketahanan, pengetahuan lokal, dan keberlanjutan. Ia tumbuh dalam ingatan kolektif, dalam cerita rakyat, dan dalam bahasa. Ia adalah pohon yang menyimpan sejarah panjang, dari kolonisasi hingga letusan gunung, dari dapur rumah ke catatan naturalis Eropa. Kenari adalah bukti bahwa kehidupan bisa terus tumbuh, bahkan dari tanah yang pernah dilanda luka.

Hayewin Ngnge: Buah Jatuh Menjadi Milik Bersama

Sore kemarin, Minggu 15 Juni, saya dipertemukan kembali dengan seorang teman lama—teman sekampung dari Waigitang (Ngofagita). Sudah dua puluh lima tahun berlalu sejak terakhir kami bertemu di Pulau Makeang, sebuah perjumpaan yang terjadi di tengah pergolakan konflik sosial yang melanda Maluku Utara pada akhir 1999. Saat itu, saya dan keluarga pindah dari Malifut, kembali ke tanah asal leluhur—Makeang—sebagai bentuk perlindungan dan pengungsian.

 

Empat bulan saya tinggal di pulau itu, saya belajar banyak hal, termasuk bagaimana menyesuaikan diri dengan orang-orang yang sebelumnya belum saya kenal. Saya dianggap “anak baru”—pendatang yang datang membawa cerita dari seberang laut. Tapi Pulau Makeang bukan hanya tempat berteduh sementara. Ini adalah pulau menjadi ruang belajar, tempat saya mengenal tradisi dan kearifan yang tidak pernah saya temui sebelumnya di Malifut.

 

Salah satu yang paling saya ingat dan lekat dalam ingatan hingga kini adalah tradis hayewin ngnge (bahasa Taba), artinya “memungut buah kenari yang jatuh”. Dalam tradisi ini, siapa pun berhak mengambil buah kenari yang telah jatuh ke tanah, entah karena matang atau dijatuhkan oleh burung. Hukum adat secara tak tertulis mengizinkan setiap orang, bahkan pendatang sekalipun, untuk mengambil kenari dari lahan siapa saja—selama buah itu sudah jatuh. Namun ada batasannya, tidak boleh memanjat atau memetik langsung dari pohon. Sebab yang tergantung di ranting masih milik pribadi, sementara yang jatuh telah kembali ke tanah, dan dianggap milik bersama.

 

Tradisi hayewin ngnge bukan sekadar soal kenari. Ini adalah bentuk dari etika bersama, warisan yang dijaga dalam diam, dijalankan dalam praktik, dan dihormati dengan kesadaran kolektif. Ada semacam kesepakatan tak terucap, bahwa alam memberi, dan manusia bertugas menjaga keseimbangannya. Tidak serakah, tidak mengambil lebih dari yang diperlukan. Dan barangkali, itulah pelajaran paling awal yang saya dapatkan dari tanah leluhur—bahwa hidup bersama bukan hanya tentang berbagi ruang, tapi juga menghormati hak yang tumbuh dari bumi dan tradisi.


Menurut Gibra—buah kenari kalau sudah jatuh, ia telah menjadi milik bersama. Kenari yang masih di tandannya di pohon, itu milik individu. Siapa yang bukan pemiliknya memetiknya adalah perbuatan mencuri, tindak pidana, peristiwa pidana.

 

Dalam pandangan Gibra di atas, perbedaan antara kenari yang masih di pohon dan kenari yang sudah jatuh ke tanah mencerminkan sistem nilai lokal tentang hak milik dan akses bersama. Tidak hanya bicara soal hukum, tapi juga menyampaikan nilai etik. Kenari di pohon adalah hasil kerja, hak seseorang, dan memetiknya tanpa izin dianggap pelanggaran tidak hanya hukum, tapi juga norma sosial dan rasa malu. Ini merupakan praktik umum dalam banyak masyarakat agraris di mana sumber daya alam diakui berdasarkan tahapannya.

 

Kenari yang jatuh,  telah  beralih status menjadi milik bersama atau bebas diambil siapa saja karena sudah "lepas dari tangan" pemilik. Transformasi status ini tidak hanya bersifat praktis, tetapi juga mengandung makna simbolik bahwa alam telah “melepaskan” buah tersebut dari domain privat. Prinsip ini sejalan dengan asas-asas dalam hukum adat yang menekankan keseimbangan antara hak individual dan kepentingan kolektif.

 

Safrudin Abdulrahman, Antropolog Universitas Khairun, menjelaskan bahwa buah kenari di Pulau Makeang memiliki makna sosial yang khas. Siapa pun boleh memungut kenari yang jatuh—tak peduli apakah ia pendatang, pelancong, atau bukan orang Makeang. Selama kenari itu sudah terlepas dari pohon dan berserak di tanah, maka siapa saja boleh mengambilnya. Tradisi ini sudah berlangsung sejak lama, diwariskan turun-temurun sebagai bentuk kemurahan hati dan nilai berbagi dalam masyarakat. Namun, ada satu syarat yang dipegang teguh oleh pemilik pohon: hasil pungutan itu harus digunakan untuk kebutuhan rumah tangga, bukan untuk diperjualbelikan. Di balik praktik sederhana ini, tersimpan nilai etis yang dalam—tentang saling menghargai, membatasi keserakahan, dan menjaga keberkahan dari alam.


Dalam antropologi, sistem kepemilikan tidak selalu bersifat individual atau absolut seperti dalam hukum negara. Dalam banyak masyarakat adat, termasuk di Makeang, kepemilikan atas sumber daya alam bersifat bertingkat dan kontekstualTradis “hayewin ngnge”, menurut Safrudin—memiliki nilai keramahan dalam masyarakat Makeang tidak bersifat eksklusif atau etnosentris, melainkan terbuka terhadap "yang lain". Ini adalah bentuk solidaritas agraris, di mana akses terhadap makanan dan kebutuhan pokok tidak dibatasi oleh garis identitas etnis atau tempat asal




Share:
Komentar

Terkini