Tak banyak kisah yang diwariskan mengenai masa kecil Zainal, baik melalui cerita rakyat maupun catatan kolonial. Namun, dalam beberapa dokumen intelijen Belanda, namanya tercatat pernah tinggal di lingkungan Kadato Tidore di Ternate. Tahun 1922, Zainal memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS). Setelah tujuh tahun, ia melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Batavia (Jakarta) pada 1929–1932. Masih haus ilmu, ia melanjutkan pendidikannya ke Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar, sekolah yang didirikan untuk mencetak pegawai-pegawai pribumi terampil yang akan mengisi birokrasi kolonial Hindia Belanda.Gambar: Silsilah Zainal Abidin Alting Syah. Sumber: C.C. Ouwerling, MVO Resident Ternate, 1932.
Namun bagi kedua orang tuanya, pendidikan bukan sekadar kebanggaan bagi keluarga bangsawan. Mereka ingin Zainal kelak tidak “dibodohi” Belanda dan dapat membantu rakyat melalui pendidikan, baik di Tidore maupun di wilayah Kesultanan. Doa-doa mereka mengiringi langkah Zainal, dan Allah SWT mengabulkan doa itu. Setelah menyelesaikan MULO, Zainal yang dikenal cerdas dan cekatan dipercaya menjadi pegawai (Ambtenaar Hoogere Burgerschool—HPB) di Ternate.
Namun Zainal bukan tipe yang betah berdiam di zona nyaman. Meski dibesarkan oleh sistem pendidikan Belanda, ia memilih jalannya sendiri: meminta penugasan ke Sorong, Nieuw-Guinea (Papua). Permintaan itu dikabulkan. Sejak 1937, Zainal diangkat sebagai Bestuur Asisten, lalu Ambtenaar Asisten Residen pada 1939, dan pada 1940, ia menjabat sebagai Hulp Bestuur di Manokwari. Jabatan-jabatan itu dijalaninya bukan untuk menjadi kaki tangan Belanda, melainkan sebagai jalan untuk mendekat kepada rakyat Papua dan memahami tanah mereka dengan lebih dekat.
Penempatan Zainal Abidin di wilayah Nieuw-Guinea bukan sekadar penugasan administratif biasa. Pemerintah Kolonial Belanda memahami bahwa rakyat Papua memiliki hubungan emosional dengan Kesultanan Tidore. Sejak lama, Belanda mengakui hak ulayat Kesultanan Tidore atas wilayah Nieuw-Guinea, sebagaimana tertuang dalam Bijblad No. 14377 tahun 1940, yang memetakan wilayah kekuasaan Tidore menjadi delapan afdeeling dan lima puluh distric. Wilayah ini terbentang luas yang digakui kekuasaan Kesultanan Tidore turun-temurun. Sebagai berikut:
- Afdeeling Manokwari: Amberbaken, Anggimeren, Wanggar, Momi, Kebarvlakte, Haarlem, dan Noemfoor.
- Afdeeling Sorong: Zuid-Waigeo, Salawati, Misool, Moraid, Carom/Caroon, Noord-Waigeo, dan Berauer.
- Afdeeling Seroui: Zuid-Jeppen, Noord-Jeppen, Beneden-Waroppen, Zuid-Biak, Noord-Biak, dan Soepiori.
- Afdeeling Sarmi: Beneden-Sarmi, Boven-Sarmi, Beneden-Bonggo, Boven-Bonggo, dan Mamberamo.
- Afdeeling Hollandia: Sentani, Demta, Nimboran, dan Warisstreek.
- Afdeeling Fak-Fak: Kokas, Babo, Kaiman, dan Argoeni.
- Afdeeling Inawatan: Sebjar, Teminaboean, Baroe, Atinjo, Steenkool, dan Ajamaroe.
- Afdeeling Mimika/Japero: Oeta, Kokenau, Otakwarivier, dan Lorentzrivier.
Saat bertugas di Nieuw Guine, Zainal sering meluangkan waktyu mengunjungi 8 afdeeling tersebut. Ia ingin melihat langsung kehidupan rakyat Papua, mendengar keluhan mereka, dan memahami harapan mereka. Karena kedekatan dan pengabdiannya pada rakyat Papua, bahkan sebelum diangkat sebagai Sultan Tidore, Zainal sering dijuluki sebagai “Sultan Papua III”, setelah Sultan Al Mansur (Sultan Papua I) dan Sultan Nuku (Sultan Papua II).
![]() |
Gambar: Koran Suara Irian Nomor 3 Tahun 1950. |
Sikap Zainal Abidin Terhadap Pemerintah Jepang
Wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore pada masa itu membentang luas, dan peran Zainal Abidin di dalamnya cukup penting. Pada tahun 1942, Pemerintah Kolonial Belanda kembali mengangkat Zainal sebagai Kepala Swapraja (Zelfbestuur) yang berkedudukan di Soa-Sio, Tidore. Ia menjalankan tugas ini hingga 1943. Namun menjelang tahun 1944, situasi berubah cepat. Belanda meninggalkan Maluku Utara akibat pendudukan tentara Jepang, dan Zainal kembali ditugaskan sebagai Kepala Kehakiman di Ternate, posisi yang ditinggalkan pejabat Belanda saat itu.
Semasa menjabat Kepala Swapraja dan Kepala Kehakiman, Zainal Abidin tetap berpegang pada prinsip menjaga wilayah dan martabat Kesultanan Tidore. Padahal, saat itu ia masih berstatus sebagai Jogugu (Perdana Menteri Kesultanan). Sikap Zainal terhadap Jepang sama seperti sikapnya terhadap Belanda: tegas, hati-hati, dan berpihak kepada rakyat. Seorang tetua di Tidore, perna mengisahkan bagaimana Zainal berupaya melindungi rakyatnya:
Toma waktu, Dai Nipon yo haro toma Kie Tidore, sema makasut yo oro mansia Tidore somote karja paksa toma Limau Haliyora, toma Hatetabako, Jailolo se Kao, Tobelo se Galela. Jou Zainal Abidin wo sobuga idin te i rayat Tidore moi-moi mote ifa. Simo Jou Sultan wo perenta rayat sorai sodia fola se gam, firi masoka toma gura, isa toma kie, la tantara noipon haro yo maku dahe se hamoi ua. Masababu rayat moi-moi yo sogise se mote Jou na parenta enare, ona yo salamat moi-moi. Duga makutika nipon yo haro dahe mansia ua, ona yo waro Jou mo gahi parenta so selamat rayat. nipon yo ngamo se coho Jou, yo gosa Jou toma Haliyora, toma gam Jailolo, yo toa hukuman Jou kerja paksa, sodadi madiali una rakyat.
Terjemahan:
Ketika Dai Nippon datang di Tidore untuk mencari tenaga kerja (romusa) untuk dipekerjakan di Halmahera, Hatetabako, Jailolo, Kao, Tobelo, Galela. Zainal Abidin menghimbau kepada masyarakat untuk lagi bersembunyi di kebun-kebun yang berada di gunung. Himbauan Zainal Abidin ini, sangat efektif karena sebagain besar masyarakat Tidore lolos dari penangkapan Tentara Jepang. Akan tetapi, himbauan ini dikemudian hari diketahui oleh Tentara Nippon kemudian Zainal Abidin ditangkap dan dibawa ke Jailolo, Halmahera untuk dipekerjakan sebagai romusa oleh Nippon.
Namun, gerakan diam-diam ini pada akhirnya terendus oleh tentara Jepang. Zainal ditangkap dan dibawa ke Jailolo, Halmahera Barat, untuk dijatuhi hukuman. Ia dianggap sebagai pemimpin yang menggerakkan rakyat untuk menolak kerja paksa (romusa) Jepang. Zainal pun diasingkan dan dipaksa menjadi romusa di Teluk Kao selama hampir satu tahun, dari 1944 hingga 1945 (Muraji, 2009).
Bayangkan bagaimana penderitaan Zainal saat itu. Seorang anak bangsawan, pemimpin rakyat, kini hidup sebagai tahanan perang, bekerja keras tanpa waktu istirahat, dengan makanan yang serba kekurangan, dan tidur beralaskan tanah. Di saat sebagian bangsawan memilih berlindung pada pihak Jepang untuk menyelamatkan diri, Zainal justru memilih jalan yang berbeda: tetap bersama rakyatnya, merasakan penderitaan mereka, dan menjaga kehormatan bangsanya dengan menolak tunduk pada penjajah.
“Lebih baik menderita bersama rakyat daripada hidup nyaman dalam pengkhianatan,” begitu keyakinan yang dipegang Zainal, sebagaimana diceritakan oleh orang-orang tua di Tidore.
Zainal memahami, menjadi pemimpin bukan hanya duduk di takhta, tetapi ikut merasakan lapar dan dingin yang dirasakan rakyatnya. Ia menunjukkan bahwa pengabdian bukan sekadar kata-kata, melainkan keberanian untuk memikul penderitaan bersama, demi mempertahankan martabat dan harga diri sebagai bangsa yang merdeka.
Kembali ke Tidore: Menata Ulang Harapan Pasca-Jepang
Tahun 1945 menjadi tahun yang tak akan terlupakan bagi rakyat Tidore dan Zainal Abidin. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Zainal bersama ribuan romusa lainnya dilepaskan dari kamp kerja paksa di Teluk Kao. Tubuhnya kurus, kulitnya terbakar matahari, namun tekadnya tak padam. Dengan langkah perlahan, ia kembali ke Tidore, kembali kepada rakyat yang selama ini ia lindungi dengan seluruh keberanian yang ia punya.
Suasana di Tidore saat itu masih penuh ketidakpastian. Belanda berusaha kembali menegakkan kekuasaan, sementara kabar tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia mulai berembus dari mulut ke mulut. Di pelabuhan-pelabuhan kecil, di pasar-pasar, dan di kolong rumah panggung, rakyat berbisik-bisik tentang kemerdekaan, tentang republik, tentang cita-cita yang selama ini hanya bisa mereka impikan.
Di tengah kondisi itu, Zainal tidak tinggal diam. Dengan wibawa yang ia miliki, ia memanggil para bobato, para soa-soa, dan tokoh masyarakat untuk bermusyawarah di Kadato. Mereka duduk bersila di atas tikar pandan, membicarakan bagaimana rakyat Tidore harus menyikapi situasi baru ini.
“Kita bukan hanya mendengar kabar merdeka. Kita harus menjaga kemerdekaan itu. Tidore harus berdiri bersama Indonesia,” kata Zainal dalam satu pertemuan malam hari, diterangi lampu botol minyak kelapa.
Sebagai Jogugu, Zainal menggerakkan kembali struktur Kesultanan Tidore yang sempat porak-poranda akibat pendudukan Jepang. Ia memastikan rakyat tetap berladang dan melaut, mengatur pembagian hasil bumi secara adil, dan menjaga keamanan kampung-kampung agar terhindar dari kekacauan pasca perang. Perlahan, rakyat mulai merasakan bahwa Zainal bukan sekadar pemimpin, melainkan sandaran harapan di tengah masa-masa gelap.
Dalam berbagai kesempatan, Zainal mengingatkan rakyatnya tentang falsafah hidup orang Tidore. Falsafah inilah yang menjadi pegangan Zainal untuk menguatkan rakyat, agar mereka tidak mudah diadu domba oleh kepentingan Belanda yang ingin kembali menguasai Maluku Utara. Di saat Belanda mencoba menarik hati para bangsawan untuk mendukung proyek Negara Indonesia Timur, Zainal justru menegaskan sikapnya: Papua dan Maluku Utara adalah bagian dari Republik Indonesia.
Tak hanya mengatur pemerintahan lokal, Zainal juga aktif menjalin komunikasi dengan para pejuang dan tokoh nasional di Ternate, Ambon, dan Sulawesi untuk memastikan Maluku Utara tidak keluar dari garis perjuangan republik. Ia memfasilitasi rapat-rapat rakyat dan para pemuda untuk membicarakan langkah-langkah strategis, termasuk menolak ajakan Belanda untuk menyerahkan rakyat menjadi bagian dari tentara Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL).
“Rakyat kita sudah cukup menderita karena perang. Jangan sampai mereka dijadikan alat oleh Belanda untuk melawan saudara sendiri,” ujarnya suatu kali kepada para pemuda di Tidore. Bagi Zainal, kemerdekaan bukan hanya soal bebas dari penjajah, tetapi juga tentang membangun harga diri, menjaga persaudaraan, dan merawat ikatan sejarah dengan wilayah-wilayah yang selama ini hidup bersama Kesultanan Tidore, termasuk Papua.
Diplomasi Zainal Abidin Syah: Mempertahankan Irian Barat
Setelah proklamasi 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia belum sepenuhnya merasakan kemerdekaan. Ambisi Belanda untuk kembali menjajah Indonesia tak kunjung padam. Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II menjadi peluang bagi Belanda untuk melancarkan “Gerakan Federalisasi” dengan membentuk negara-negara boneka di wilayah Indonesia. Melalui Dr. H.J. van Mook, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan Kepala Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Belanda merancang strategi untuk menguasai kembali Hindia Belanda sebagai jajahannya.
Pada awal Oktober 1945, van Mook tiba di Indonesia dan mempersiapkan langkah-langkah menghadapi Republik Indonesia yang telah berdiri. Melalui pendekatan militer dan politik, ia mendesak pemerintah Belanda mengambil tindakan untuk mengubah ketatanegaraan di wilayah luar kekuasaan Republik, termasuk wilayah Indonesia Timur, dengan dukungan sekutu di Morotai, Maluku Utara. Untuk mengukuhkan langkah ini, Belanda menempatkan Chief Commanding Officer NICA mendampingi Panglima Tentara Australia di Morotai (Ide Anak Agung Gde Agung 1985).
Antara 1946–1949, upaya van Mook melahirkan 15 negara federal, salah satunya Negara Indonesia Timur (NIT), sebagai jembatan antara Belanda dan Republik Indonesia (Nasution 1979). Melalui perundingan, Belanda berusaha memaksa Republik Indonesia menerima sistem federal dengan mendirikan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang menjadikan Republik sebagai salah satu negara bagian di antara negara-negara boneka yang mereka bentuk. Strategi ini tak lepas dari politik divide et impera, membelah Indonesia menjadi negara-negara kecil dan daerah otonom untuk mempermudah penguasaan kembali.
Isu Irian Barat menjadi sengketa panjang hingga ke Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag pada 23 Agustus 1949. KMB gagal menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan Indonesia terkait wilayah ini. Setelah KMB, Belanda tetap mengklaim Irian Barat sebagai bagian dari wilayahnya dan membentuk provinsi beribu kota di Hollandia (Jayapura) di bawah pimpinan S.I.J. van Waardenburg. Penyerahan wilayah tersebut terus ditolak Belanda, meski perjanjian KMB menyebutkan akan diserahkan setahun setelah konferensi.
Di bidang diplomasi, van Mook menggelar tiga konferensi: Konferensi Malino (16–22 Juli 1946), Konferensi Pangkal Pinang (1–12 Oktober 1946), dan Konferensi Denpasar (7–24 Desember 1946), untuk memuluskan pembentukan NIT sebagai negara boneka terbesar di bawah kendali Belanda (Nalenan 1981). Harian mingguan liberal The Nation yang dimuat kembali oleh Majalah Indonesia Timur (25 Agustus 1948), mengutip jurnalis AS, Andrew Roth, yang menulis:
“Meskipun Indonesia Timur dibentuk oleh Dr. van Mook dan di sana masih terdapat gerakan pro-Republik, gerakan kaum nasionalis semakin kuat dengan mengganti perlawanan bersenjata menjadi aksi politik. Kini, dapat dikatakan, ‘kereta Negara Indonesia Timur memiliki dua roda: satu yang loyal dan satu lagi nasionalis, dengan perdana menteri sebagai poros yang menahannya tetap pada tempatnya.”
Sebelum RIS diresmikan, terdapat 40 kekuasaan pemerintahan yang tidak dilimpahkan kepada NIT sesuai Pasal 3 Rencana Peraturan Pembentukan Negara Timur Besar (RPP-NTB) yang diajukan Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini ditentang keras oleh para nasionalis Indonesia dan menjadi perdebatan sengit di Konferensi Denpasar. Dalam laporan intelijen Belanda, Officiële Bescheiden betreffende de Nederlands-Indonesische betrekkingen 1945-1950 yang disusun Dr. S.L. van de Wal (1972), Pasal 1 RPP-NTB menyebutkan:
“Pemerintah Belanda mengakui Pemerintah Republik Indonesia berkuasa secara de facto atas Jawa dan Sumatera.”
Di balik pasal ini, van Mook berupaya memisahkan Irian Barat dari NIT dengan menjadikannya wilayah terpisah. Rencana ini memicu perdebatan keras dalam Konferensi Malino di Makassar. Saat Konferensi Malino berlangsung, Zainal Abidin belum terlibat karena tidak masuk dalam delegasi Dewan Maluku Utara. Namun, setelah mendengar perkembangan, Zainal Abidin memutuskan bergabung dengan Partai Progresif Maluku Utara (FPP-MU). Van Mook berharap Zainal Abidin akan mendukung kebijakan Belanda, tetapi justru Zainal menolak keras pemisahan Irian Barat karena wilayah tersebut adalah bagian dari Kesultanan Tidore.
Pada Konferensi Denpasar, 20 Desember 1946, Zainal Abidin mengajukan perubahan Pasal 1 RPP-NTB agar “pengaturan karesidenan Papua Baru (Nieuw Guinea) akan ditentukan kemudian”, untuk memastikan Papua tetap berada dalam NIT. Usulan Zainal ini didukung 15 utusan dari berbagai daerah NIT.
![]() |
Gambar: Zainal Abidin Syah, salah satu Delegasi Konferensi Denpasar, Bali 1946 dan berita pada konferensi tersebut. Sumber: ANRI. |
Upaya Belanda membujuk Zainal Abidin untuk mendukung klaim mereka atas Irian Barat terus dilakukan, termasuk melalui pertemuan rahasia. Dalam catatan Kapita Laut Tidore, Do. H. Qawiyuddin Hasan, pada Februari 1949, Belanda mengundang Zainal Abidin ke Hollandia (Jayapura). Pertemuan selama tiga jam di kediaman Residen Hollandia, Distrik Abe, Biak, dihadiri 20 utusan Belanda untuk membujuk Sultan agar menyerahkan Irian Barat.
Dalam pertemuan itu, Sultan disodorkan kort verklaring berisi permintaan agar Sultan menyetujui Irian Barat sebagai wilayah Belanda, dengan imbalan jaminan hidup bagi sultan dan keluarga selama tujuh turunan. Namun setelah berdiskusi, Kapita Laut Qawiyuddin menyarankan dengan tegas, “lefo ua, Ou” (“jangan tandatangani suratnya, Sultan”). Sultan Zainal Abidin akhirnya menolak menandatangani pernyataan itu, menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian Kesultanan Tidore dan merupakan bagian sah dari Republik Indonesia.
Bagi Republik Indonesia, penyerahan Irian Barat merupakan persoalan mendasar. Meskipun dalam perjanjian KMB Belanda menjanjikan penyerahan wilayah ini setahun setelah KMB, Belanda tetap menolak dan bahkan membentuk pemerintahan sendiri di wilayah tersebut (ANRI 2011). Hal ini memicu gelombang protes di Tidore dan Irian Barat, dengan masyarakat melakukan aksi menentang kebijakan Belanda.
Kondisi politik Tidore–Irian Barat semakin memanas. Setelah dilantik sebagai Sultan Tidore, Zainal Abidin berpidato pada 2 Maret 1949 di depan Istana Kesultanan, disaksikan pejabat NIT dan van Mook, menegaskan bahwa Irian Barat merupakan bagian Kesultanan Tidore (ANRI: M. Yamin No. 15, 2 Maret 1949). Sultan juga menyampaikan keberatan tertulis dalam Piagam Penyerahan Kedaulatan, menekankan:
“Sejak dahulu kala wilayah Irian Barat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Kesultanan Tidore. Oleh karena itu, Kesultanan Tidore mempunyai hak sepenuhnya secara sah terhadap Irian Barat, dan bila di kemudian hari diadakan penyelesaian sengketa Irian Barat, maka hak Kesultanan Tidore harus diakui secara sah atas wilayah tersebut” (Ide Anak Agung Gde Agung 1985).
Dengan demikian, perjuangan diplomasi Zainal Abidin dalam mempertahankan Irian Barat bukan semata isu kedaulatan wilayah, tetapi juga cerminan keteguhan politik lokal dalam menjaga warisan sejarah dan kehormatan Kesultanan Tidore sebagai bagian dari republik yang baru merdeka.
![]() |
Gambar. Fragmen Pidato Sultan Tidore tentang sejarah Irian Barat yang pernah menjadi bagian Kesultanan Tidore, 2 Maret 1949. |
Keteguhan yang Menggugah Soekarno
Upaya van Mook untuk merebut Papua dan menjadikannya sebagai Negara Timur Besar (Grote Oost) terus dilakukan. Namun semua usaha itu menemui jalan buntu. Pada 28 November 1949, di tengah perumusan Naskah Persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan Rencana Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Serikat, Zainal Abidin Syah menyatakan sikapnya dengan tegas:
“Paduka tuan ketua yang mulia, saya selaku Sultan Tidore dengan ini menyampaikan permohonan maaf karena tidak dapat menyetujui hasil-hasil Konperensi Meja Bundar. Sebab dengan hasil tersebut, Kerajaan Tidore bergabung dengan Republik Indonesia Serikat, sementara Irian Barat masih berada dalam kekuasaan Kerajaan Belanda. Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa Kerajaan Tidore tetap mempertahankan haknya atas Irian Barat. Karena dalam sejarah, Irian Barat adalah bagian dari Kerajaan Tidore. Sekian dan terima kasih.”
![]() |
Gambar: Presiden Soekarno dan Ibu Fatmawati menggunakan perahu menuju ke pantai di Tidore, Maluku Utara 18 Juli 1954. Sumber: ANRI dan Algemeen Indisch dagblad, 1954. |
Setelah pernyataan sikap itu, pemungutan suara untuk mengesahkan Naskah Persetujuan KMB dan Rencana Undang-Undang Dasar Sementara RIS tetap dilaksanakan. Dari 51 anggota parlemen, 50 menyatakan setuju, dan hanya satu suara yang menolak, yakni Zainal Abidin Syah, Sultan Tidore.
Walau berdiri sendirian, Zainal Abidin Syah tidak kompromi. Ia tetap pada pendiriannya, menolak kebijakan Belanda terkait Irian Barat. Keteguhan sikapnya mencerminkan dedikasi Zainal terhadap tanah air di tengah polemik antara Indonesia dan Belanda.
Sikap patriotik Zainal Abidin Syah ini menggugah perhatian Presiden Ir. Soekarno. Melihat keteguhan Sultan Tidore mempertahankan Irian Barat, Presiden Soekarno datang ke Tidore untuk mengajak Zainal Abidin Syah bersama-sama memperjuangkan pembebasan Irian Barat dari tangan Belanda. Pada 17 Agustus 1956, Presiden Soekarno mengumumkan pembentukan Provinsi Perjuangan Irian Barat dengan ibu kota sementara di Soa-Sio, Tidore, sebagai langkah politik melemahkan posisi Belanda. Presiden beralasan, sejak ratusan tahun lalu Irian Barat dan pulau-pulau sekitarnya merupakan wilayah Kesultanan Tidore. Sejalan dengan langkah ini, pada 23 September 1956, Zainal Abidin Syah dilantik sebagai Gubernur Provinsi Perjuangan Irian Barat melalui SK Presiden RI No. 142 Tahun 1956.
![]() |
Gambar. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat, yang beribukota di Soa-Sio, Tidore, 16 Agustus 1956. |
Menurut laporan Koran Donderdag (27 September 1956), selama menjadi Gubernur Perjuangan Irian Barat, Zainal Abidin Syah beberapa kali dipanggil ke Jakarta untuk mendiskusikan perjuangan Irian Barat dan bergabung dengan Aksi Trikora. Ia juga sering melakukan perjalanan ke Fakfak, Manokwari, Sorong, Raja Ampat, dan wilayah pesisir Halmahera yang berhadapan langsung dengan Papua. Setiap kunjungan dilakukan untuk meninjau wilayah administratif sekaligus menggalang semangat rakyat agar bahu-membahu membebaskan Irian Barat dari cengkeraman kolonial Belanda.
Pada tahun 1961, Zainal Abidin Syah diangkat sebagai staf di Departemen Dalam Negeri melalui SK Presiden RI No. 220 Tahun 1961, untuk membantu misi Operasi Mandala di Makassar. Pengangkatannya menunjukkan kepercayaan pemerintah pusat pada dedikasi Zainal dalam perjuangan pembebasan Irian Barat.
Sebagai bentuk penghargaan, pada 4 Mei 1962, Zainal Abidin Syah ditetapkan sebagai Gubernur Tetap Provinsi Irian Barat melalui SK Presiden RI No. 220 Tahun 1961. Dengan demikian, Zainal menjadi Gubernur pertama Irian Barat (1956–1961) dengan ibu kota di Soa-Sio, Pulau Tidore.
![]() |
Gambar. Menteri Dalam Negeri melantik Zainal Abidin Sjah sebagai Gubernur Irian Barat, yang berkedudukan di Soa-Sio, Tidore, 1957. Sumber: Majalah Kempen, Tahun VII 1956. |
Mari Moi Ngone Foturu
Menjelang masa pensiunnya pada 1 Juni 1963, Zainal Abidin Syah melakukan program “migrasi lokal” dengan mengajak warganya pindah ke Pulau Halmahera, tepatnya di wilayah Oba. Dengan biaya sendiri, Sultan memimpin warganya untuk membuka pemukiman baru dengan harapan Pulau Halmahera yang luas dan subur dapat memberikan masa depan lebih baik bagi rakyatnya.
Sebelum rombongan diberangkatkan, masyarakat Kalaodi bersama para pemuka adat melaksanakan upacara keselamatan. Di akhir upacara, Zainal Abidin Syah berpesan dengan kata-kata yang hingga kini menjadi pegangan hidup orang Tidore:
“Mari moi ngone foturu, ma tomoi ngone foturu, maku duka se maku sayang, maku eli se jaga.”
Artinya, orang Tidore harus saling membantu di saat kesulitan, saling mencintai, dan saling menjaga satu sama lain agar kehidupan tetap damai, rukun, dan sejahtera.
Akhir Hayat Seorang Pejuang
Pada 4 Juli 1967, Sultan Zainal Abidin Syah menghembuskan napas terakhir di atas kapal KM Berau dalam perjalanan menuju Ambon untuk menghadiri peringatan Hari Pattimura. Meski dalam keadaan sakit, beliau tetap memutuskan berangkat karena ingin menyampaikan semangat nasionalisme dan pengalaman perjuangannya dalam pidato di sana.
Jenazah beliau dimakamkan di Taman Bahagia, Ambon. Namun pada 11 Maret 1986, kerangka beliau dipindahkan ke Kompleks Kesultanan Tidore di Soa-Sio, sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya dalam perjuangan mempertahankan Irian Barat dan pengabdiannya untuk Republik Indonesia.
![]() |
Gamber: Makam Sultan Zainal Abidin Syah di Kompleks Kesultanan Tidore. |
Kisah Zainal Abidin Syah bukan hanya tentang seorang Sultan mempertahankan wilayah Kesultanan, melainkan tentang keteguhan dan keberanian seorang pemimpin lokal dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia. Dalam arus sejarah nasional yang sering melupakan peran pemimpin daerah, kisah Zainal menjadi pengingat bahwa perjuangan mempertahankan Irian Barat adalah bagian dari perjuangan kolektif rakyat Indonesia, dari Tidore hingga Papua.
Sejarah ini layak ditulis ulang, agar generasi hari ini mengerti bahwa kedaulatan Indonesia terjaga bukan hanya karena perjuangan di meja diplomasi internasional, tetapi juga karena keberanian orang-orang seperti Zainal Abidin Syah yang dengan tegas berkata: “Irian Barat adalah bagian Indonesia.”
Hari ini, kisah Zainal Abidin Syah jarang dibicarakan dalam narasi besar nasionalisme Indonesia. Padahal, dari Tidore hingga Hollandia, dari meja perundingan hingga rapat tertutup di malam hari, diplomasi Zainal menjadi penanda bahwa perjuangan mempertahankan Irian Barat tidak hanya milik elite nasional, tetapi juga lahir dari kegigihan pemimpin lokal yang menjaga sejarah dan kehormatan bangsanya.