Ngase Menjadi Balasteng: Ketidakadilan yang Berulang

Editor: Irfan Ahmad author photo

Tiga bulan terakhir, isu pajak kembali menjadi sorotan dan momok bagi rakyat. Gelombang aksi penolakan bermunculan di berbagai daerah, termasuk di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, bahkan sampai menuntut kepala daerah mundur dari jabatannya. Fenomena ini bukan sekadar reaksi terhadap angka kenaikan pajak, tetapi lebih kepada rasa keadilan yang terganggu. Rakyat bertanya-tanya; pajak dinaikkan untuk siapa? Untuk kesejahteraan mereka, atau sekadar memperkaya segelintir elite yang mengatasnamakan pembangunan?

Sejak lama, pajak memang menjadi instrumen vital bagi negara. Hampir semua bangsa di dunia menerapkannya, dan Indonesia tidak lepas dari sejarah panjang pengenaan pajak—mulai dari era kerajaan, kolonial, hingga republik. Kata “pajak” sudah berabad-abad akrab di telinga masyarakat, tetapi keakraban itu sering kali identik dengan luka ketidakadilan, bukan rasa memiliki atau manfaat bersama.


Sejarah menunjukkan bahwa praktik pajak bisa menjadi alat eksploitasi. Pada masa kolonial Belanda, pajak digunakan untuk mencekik petani dan pedagang pribumi demi memenuhi kas negeri seberang. Pajak bukan simbol gotong-royong, melainkan alat penindasan. Banyak perlawanan rakyat lahir dari ketidakadilan ini, menjadi bukti bahwa pajak bisa memicu konflik sosial.


Bayangan sejarah itu seolah hadir kembali hari ini. Rakyat kembali dihadapkan pada kenaikan pajak dengan dalih memperkuat kas negara, sementara bocornya anggaran, korupsi yang merajalela, dan fasilitas publik yang buruk tetap menjadi kenyataan. Ketika beban semakin berat, namun hasilnya tidak terasa, kemarahan rakyat pun wajar. Pertanyaan kritis yang muncul adalah: apakah pajak benar-benar dimaksudkan untuk pemerataan dan kesejahteraan, atau hanya alat menutup lubang boros negara? Jika jawabannya yang kedua, sejarah kembali berulang, dan rakyat sekali lagi dipaksa membayar harga yang tidak adil.

Ngase dan Leo-Leo: Pajak Tradisional Kesultanan Ternate

Dalam konteks tradisional, Kesultanan Ternate memiliki mekanisme pengumpulan sumber daya yang berbeda, namun tetap bertujuan mengatur keseimbangan antara rakyat dan penguasa. Salah satu praktik penting adalah Ngase, istilah Ternate yang berarti “memberi” atau “memuliakan” Sultan dengan hasil hutan, laut, atau panen. Barang-barang ini—seperti padi, sagu, gaharu, minyak damar, telur, jagung, garam, penyu, atau perahu—diberikan secara sukarela oleh rakyat, termasuk wilayah luas di Halmahera, Kepulauan Sula, Taliabu, Morotai, bahkan sampai Hitu, Seram, dan sebagian Papua.


Beberapa sumber menyebut Ngase sebagai bentuk upeti dari wilayah pinggiran kesultanan. Misalnya, orang Taliabu dan Mangoli secara rutin mengirim sagu yang telah diolah menjadi “biskuit keras” kepada Sultan Ternate, sementara orang Sula Besy diminta membuat satu perahu kora-kora setiap tahun (Andaya, 1993; Tobias, 1857; Bosscher, 1859). Bagi penduduk Makeang, Kayoa, Gane, Tobelo, Galela, Kao, Sahu, Tobaru, dan Jailolo, Ngase mencakup berbagai hasil bumi dan laut, perahu, tenaga kerja, hingga pasukan yang berjaga di istana (Clercq, 1890: 93–95).


Selain Ngase, Kesultanan Ternate juga mengenal Leo-leo, iuran tradisional bagi pedagang pasar dan pelabuhan. Pada awalnya, Leo-leo bersifat sukarela dan komunal, digunakan untuk kepentingan bersama seperti keamanan pasar atau acara adat, dan bisa berupa barang maupun uang. Pada tahun 1599, seorang pedagang Cina menjabat sebagai sahbandar sekaligus “juru bicara kesultanan” untuk mengumpulkan Leo-leo dari kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Ternate (Keuning, 1942). Praktik ini berlangsung hingga tahun 1882, ketika pemerintah kolonial Belanda mengambil alih pengelolaan melalui lembaga Bea Cukai.

 

Transformasi Pajak Tradisional ke Balasteng

Ngase dan Leo-leo kemudian diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda dan diubah menjadi Balasteng (pajak resmi) melalui mekanisme kontrak politik antara kesultanan dan pemerintah. Pada 27 Mei 1824, Gubernur Jenderal van der Capellen meresmikan sistem ini dengan persetujuan Sultan Ternate, Tidore, dan Bacan. Perjanjian mencakup kewajiban raja menyediakan perahu, prajurit, dan perlengkapan perang, serta jaminan upah dan subsidi bagi pejabat kerajaan (Pasal 6, 21, 23). Kesultanan menerima upah tahunan: Ternate f.17.400, Tidore f.12.800, dan Bacan f.1.920. Meski ada ketidakpuasan, kesultanan terikat pada aturan perjanjian.


Selain Balasteng, pajak kolonial juga diberlakukan atas tanah, keluarga, dan komoditas seperti damar. Pembebanan pajak dianggap berat oleh rakyat, terutama kalangan Muslim di Halmahera yang merasa telah membayar zakat. Gelombang protes pun muncul, tercatat dalam laporan J.M. Baretta (1917) dan A. Hueting (1921), termasuk perlawanan Dano Baba Hasan (1875–1876) di Tobelo, konflik di Kao (1904–1906) dengan korban 19 jiwa, dan di Jailolo (1914–1915) dengan 30 korban tewas, pembakaran rumah, dan hukuman berat bagi pemimpin lokal.


Sejarah panjang ini menegaskan satu hal: pajak selalu bersinggungan dengan keadilan dan legitimasi kekuasaan. Ketika sistemnya dianggap menindas atau tidak adil, reaksi rakyat tidak bisa dihindari. Dari Ngase dan Leo-leo hingga Balasteng dan pajak kolonial, narasi ini menunjukkan bahwa hubungan antara pajak, rakyat, dan penguasa selalu dinamis, penuh ketegangan, dan sarat konflik—pelajaran yang relevan hingga hari ini ketika isu pajak kembali menjadi perdebatan publik.

Pajak Era Kolonial Hindia Belanda

Sejarah perpajakan di Hindia Belanda memperlihatkan perjalanan panjang yang berubah mengikuti pergantian rezim kolonial. Pada masa awal VOC, sistem pungutan diterapkan terutama bagi pedagang Tionghoa dan pedagang asing. Bentuk pajak meliputi Pajak Rumah, Pajak Usaha, dan Pajak Kepala (capitation tax), namun tidak merata di seluruh wilayah, karena daerah inti seperti Batavia dan Maluku lebih diatur melalui monopoli perdagangan dan kontrak politik lokal (Ricklefs, 2008).


Setelah VOC dibubarkan (1799), pemerintahan kolonial Belanda melakukan reorganisasi. Di masa Gubernur Jenderal Daendels (1808–1811), sistem perpajakan diperluas untuk memperkuat keuangan negara, termasuk pajak di pintu gerbang, pajak penjualan pasar (bazarregten), dan pajak rumah (Nagtegaal, 1996).


Ketika Inggris mengambil alih kekuasaan (1811–1816), Gubernur Jenderal Raffles memperkenalkan landrent stelsel, sistem sewa tanah ala Bengal, India, yang membebankan pajak langsung kepada petani (rayatwari system). Tanah dianggap milik kedaulatan raja (sovereign) dan “disewa” kepada pemerintah Inggris (Raffles, 1830), cikal bakal Pajak Bumi dan Bangunan modern.


Pada awal abad ke-19, aturan pajak semakin kompleks. Selain pajak tanah, dikenakan pajak penghasilan bagi pribumi (business tax) dan non-pribumi (patent duty) atas industri, pertanian, kerajinan, dan manufaktur. Salah satu regulasi penting adalah Ordonantie op de Inkomstenbelasting 1908, dengan tarif pajak 2% (Lindblad, 1989). Dengan demikian, perpajakan di Hindia Belanda bukan sekadar kebijakan fiskal, tetapi juga strategi politik-ekonomi untuk mengendalikan masyarakat dan sumber daya tanah, menegaskan pola yang sama dari tradisi Ngase dan Leo-leo; pajak selalu terkait dengan kekuasaan dan legitimasi.


 


Share:
Komentar

Terkini