Boki Nukila: Perempuan di Persimpangan Dua Kerajaan

Editor: Irfan Ahmad author photo

Gambar: Boki Nukila tengah berpidato di Istana Tidore. Sumber: F. Valentijn (1724)

Di tengah riak sejarah Maluku Utara yang dipenuhi aroma rempah dan intrik politik antarkerajaan, nama Boki Nukila—juga dikenal sebagai Rainha Boki Raja atau Nyai Cili Nukila—muncul sebagai sosok perempuan luar biasa. Ia bukan hanya hidup di antara dua kesultanan besar, Tidore dan Ternate, tetapi juga menjadi jembatan penting yang menghubungkan keduanya. Boki Nukila adalah perempuan yang melintasi batas istana sekaligus melampaui zamannya.


Lahir sebagai putri dari Sultan Al Mansur, penguasa Kesultanan Tidore (1512-1526), Nukila tumbuh dalam lingkungan istana yang sarat nilai adat, kehormatan, dan politik maritim. Sebagai putri kerajaan, ia tak hanya diajari tata krama bangsawan, tetapi juga disiapkan menjadi bagian dari strategi besar diplomasi kerajaan.


Ketika usianya baru menginjak 15 tahun, jalan hidupnya berubah drastis. Ia dijodohkan dengan Sultan Bayanullah, penguasa Kesultanan Ternate (1500-1522) yang telah berusia 50 tahun. Pernikahan ini bukan semata urusan keluarga, melainkan bagian dari politik perdamaian antara dua kesultanan terbesar di Maluku (Utara)—Tidore dan Ternate—yang sering bersaing namun juga saling membutuhkan.

 

Namun, kisah Boki Nukila tidak berhenti sebagai istri raja. Dalam sejarah, ia dikenal sebagai Sultanah, pemimpin perempuan yang pernah memegang kekuasaan di masa-masa genting setelah suaminya wafat. Ia bukan hanya ibu dari dua sultan Ternate, Deyalo (1522-1529) dan  Boheyat atau Abu Hayat (1529-1532)—tetapi juga pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan sebagai wali bagi putranya yang masih muda. Ini menjadikannya salah satu dari sedikit perempuan dalam sejarah Maluku (Utara), bahkan Nusantara yang pernah secara langsung memegang tampuk kekuasaan kerajaan.

Gambar: Silsilah Boki Nukila atau Rainha Boki RajaSumber: T.H. Noerhadi (2010), Rainha Boki Raja: Ratu Ternate Abad Keenambelas/Sixteenth Century Queen of Ternate (Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu dan Lontar).

Sejarawan Leonard Y. Andaya dalam bukunya The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period-menulis bahwa aliansi pernikahan seperti ini merupakan taktik umum yang digunakan untuk mempertahankan keseimbangan kekuasaan di Kepulauan Rempah: 
In the volatile political world of the North Moluccas, royal women were often given in marriage as a means to forge or reinforce political alliances between competing sultanates (Andaya, 1993).

Dari pernikahannya dengan Sultan Bayanullah, Boki Nukila melahirkan dua anak laki-laki yang kemudian menjadi Sultan Ternate. Ini menandai pentingnya darah Tidore dalam garis keturunan Ternate. Dalam tradisi kerajaan, hubungan darah semacam ini memberi legitimasi politik yang kuat.

 

Kematian Sultan Bayanullah, Boki Nukila sempat memainkan peran penting dalam pemerintahan sebagai wakil atau wali bagi putranya yang masih muda.  Nukila menjadi pelindung bagi putra mahkota dan sempat berperan dalam pemerintahan kesultanan dalam masa-masa transisi yang penuh ketegangan antara faksi Ternate dan Tidore.

 

Artinya, bukan hanya sebagai ibu, Nukila juga memainkan peran politik aktif di masa krusial. Ia menghadapi tekanan internal istana dan ketegangan eksternal dari elite bangsawan dan penjajah asing yang mulai masuk ke Maluku (Utara). Di tengah situasi itu, ia tetap teguh menjaga kedudukan anak-anaknya serta stabilitas kerajaan.

 

Boki Nukila adalah perempuan di tengah badai politik dan adat. Ia adalah anak dari Sultan Tidore, istri Sultan Ternate, ibu dari dua Sultan, dan Sultanah yang pernah memimpin di masa transisi. Sosoknya membuktikan bahwa perempuan tidak hanya hadir sebagai simbol, tetapi juga sebagai aktor penting dalam membentuk arah sejarah kerajaan di Moloku Kie Raha.

Nukila dan Perlawanan Seorang Ibu

Tahun 1529, Deyalo dinobatkan sebagai Sultan Ternate, menggantikan posisi yang semula kosong akibat pertikaian di dalam istana. Namun masa pemerintahannya tidak lama, hanya sampai 1532. Di balik suksesi ini, konflik kekuasaan terus menguat. Seorang elit istana bernama Taruwese merasa terancam dengan keberadaan Abu Hayat, saudara Deyalo, yang juga merupakan putra dari Boki Nukila—Permaisuri Kesultanan Ternate.

 

Dalam upaya menyingkirkan Abu Hayat, Taruwese menuduhnya melakukan guna-guna. Tuduhan itu dibawa ke pengadilan dan didukung dengan “bukti-bukti” rekayasa. Portugis yang kala itu bersekutu dengan faksi Taruwese, mendukung kriminalisasi tersebut. Abu Hayat akhirnya ditangkap dan dipenjara di dalam benteng Portugis (Hanna & Alwi, 1996).

 

Sebagai seorang ibu, Boki Nukila menolak perlakuan itu. Ia memohon kepada Gubernur Portugis, De Menezes, agar membebaskan putranya. Tapi permohonannya ditolak. Menurut Valentijn (1724), negosiasi Nukila dengan De Menezes tidak pernah membuahkan hasil. Kecewa dan marah, Nukila memilih untuk meninggalkan Ternate dan menyingkir ke Tidore. Tapi ia tidak menyerah.

 

Di Tidore, ia menyusun strategi. Dukungan politik datang dari bangsawan, rakyat, dan pihak-pihak yang juga tidak puas dengan kehadiran Portugis. Ketegangan antara Ternate dan Tidore pun makin meningkat. Hingga pada tahun 1530, Nukila mengambil keputusan besar: memimpin sendiri pasukan untuk mengepung benteng Portugis di Ternate.

 

Dalam kesempatan itu, di hadapan para bangsawan dan rakyat Tidore, Boki Nukila menyampaikan pidato penuh keberanian dan kemarahan. Valentijn (1724) mencatat pidato itu dalam bahasa Belanda, yang dalam terjemahan berikut merepresentasikan semangat perlawanan seorang ibu, permaisuri, dan pemimpin:


Pikirkan baik-baik sahabatku, betapa baiknya kesempatan sekarang ini untuk membebaskan diri dari suatu bangsa yang tidak bertuhan dan tidak tahu berterima kasih dan menimbulakan kekejaman-kekejaman. Kalau saya ingat kepada jasa-jasa yang diberikan kepada mereka dan ingat kepada kebaikankebaikan lain yang diberikan kepada orang Portugis sendiri, akan tetapi di balas dengan perlakuan-perlakuan yang tidak wajar, maka bagi saya tidak ada jalan lain kecuali untuk membalas mereka itu.


Pikirkan lagi, bahwa saya setelah dipaksa untuk meninggalkan tahta dan harus lari sebagai Permaisuri dari kerajaannya dan harus mengembara dari tempat satu ke tempat lain, yang semuanya itu harus saya lakukan demi kepentingan rakyat dan demi kepentingan anak-anak saya. Kemudian, setelah anak saya Deyalo naik tahta dan mulai memerintah kerajaan beberapa tahun lamanya, ia pun diracun. Yang mana hal itu mereka selalu berusa untuk dilakukan terhadap Abu Hayat.


Maka, apabila sahabat-sahabatku masih cinta kepada Permaisuri ini, yang diperlakukan secara kejam, apabila saudara-saudara masih mempunyai simpati bagi sultan, saudara saudara yang sah, dan bagi kebebasan dan lagi apabila saudara-saudara masih cinta dan ingin memperoleh kembali kemakmuran dan hidup saudara-saudara tidak mau menunggu sampai saudara-saudara dilemparkan sebagai budak dalam penjara dan diperlakukan secara kejam dan tidak berperikemanusiaan di sana oleh bangsa yang sombong dan tak tahu berterima kasih itu, maka saya percaya bahwa kesempatan ini saudara tidak akan sia-siakan untuk membinasakan mereka. 


Maka ambillah bersama-sama dengan saya yang hanya seorang wanita, ambillah suatu keputusan yang berani untuk membinasakan mereka. Dan setelah saudara-saudara berhasil nanti untuk merebut dan menjatuhkan benteng Portugis dan saudara akan dapat membebaskan Sultan yang Sah dari penjara, maka bawalah ia kepadaku dan kepada rakyatnya yang sudah lama sultannya direnggut dan dengan demikian saudara-saudara, saya ucapkan terima kasih.

Gambar: Naskah Pidato Nukila, satu hari sebelum penyerangan Portugis ke benteng Nuestra Senhora del Rosario. Sumber: F. Valentijn (1724).

Pidato itu menjadi momen penting dalam sejarah perlawanan lokal di Maluku. Boki Nukila tidak hanya memperjuangkan anaknya, tetapi juga harga diri bangsanya yang diinjak-injak kolonial. Ia melawan bukan dengan senjata, tetapi dengan semangat kolektif, bahasa, dan keberanian.

 

Pidato Boki Nukila merupakan salah satu bentuk ekspresi politik dan perlawanan yang sangat kuat dalam sejarah perempuan Maluku (Utara). Dalam pidatonya, Boki Nukila tidak hanya tampil sebagai ibu yang kehilangan anak, tetapi juga sebagai seorang aktor politik yang memiliki legitimasi untuk berbicara atas nama rakyat dan kerajaan. Ia menyebut dirinya sebagai “permaisuri yang diperlakukan secara kejam”, tetapi tidak berhenti pada posisi korban. Justru dari pengalaman ketertindasan itu, ia membangun otoritas moral dan politik untuk menggalang dukungan:

Jika kalian masih cinta pada permaisuri ini... maka ambillah keputusan bersama saya.

Ungkapan ini menggambarkan bahwa identitasnya sebagai perempuan dan ibu dipolitisasi menjadi kekuatan mobilisasi kolektif. Ia menggunakan bahasa emosional dan historis untuk menyentuh kesadaran publik—bahwa penderitaan personalnya adalah representasi penderitaan kolektif rakyat Maluku (Utara).

 

Pidato Nukila secara sosiolinguistik adalah bentuk ujaran resistensi. Ia mengontraskan antara bangsa Portugis yang “tidak bertuhan dan tidak tahu berterima kasih” dengan rakyatnya yang memiliki harga diri dan martabat. Dalam hal ini, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga alat delegitimasi kekuasaan kolonial dan membangun identitas kolektif lokal.

 

Melalui diksi seperti “dibalas dengan perlakuan-perlakuan yang tidak wajar”, “dipaksa meninggalkan tahta”, “kejam”, dan “dibinasakan”—Nukila mengonstruksi Portugis sebagai kekuatan asing yang tidak bermoral, dan karena itu layak untuk dilawan. Ini adalah bentuk framing diskursif yang memperkuat narasi perlawanan rakyat terhadap kolonialisme. Menariknya, Boki Nukila juga memanfaatkan identitas gendernya secara strategis. Ia menyebut dirinya “hanya seorang perempuan”, namun justru dari posisi itu ia mengajak rakyat untuk tidak takut. Pernyataan ini merupakan pembalikan simbolik dari stereotip kelemahan perempuan:

Ambillah keputusan bersama saya, yang hanya seorang wanita... untuk membinasakan mereka. 

Kalimat ini mengandung strategi retoris gendered, yaitu menggunakan citra perempuan yang biasanya dianggap lemah, untuk menciptakan efek kontras: jika seorang perempuan saja berani, bagaimana mungkin laki-laki atau rakyat lainnya tidak ikut melawan?

 

Pidato ini juga menunjukkan bahwa dalam sistem kerajaan Maluku, perempuan bangsawan memiliki ruang pengaruh yang besar. Boki Nukila tidak hanya sebagai ibu dari raja, tetapi juga pengambil keputusan strategis dalam situasi krisis. Ia bisa menjadi simbol identitas kolektif, dan bahkan pemimpin militer secara simbolik. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya politik lokal tidak sepenuhnya menutup peran publik perempuan, khususnya dari kalangan bangsawan.

 

Perempuan dan Simbol Identitas 

Kisah Boki Nukila memperlihatkan bahwa perempuan dalam masyarakat Maluku (Utara) memiliki ruang untuk memainkan peran penting dalam politik, terutama dalam konteks istana. Meskipun dunia istana didominasi laki-laki, perempuan bangsawan seperti Boki Nukila bisa memengaruhi arah kebijakan dan mempertahankan kekuasaan melalui jalur diplomasi, pernikahan, dan pengaruh keibuan.

 

Peneliti perempuan dan sejarah Indonesia, Barbara Watson Andaya, dalam artikelnya “Women in Early Modern Southeast Asia” menekankan bahwa

Royal women in Southeast Asia were not merely passive figures but were often central in shaping political transitions, ensuring dynastic continuity, and even negotiating with foreign powers (Andaya, 2006)

Lebih dari sekadar tokoh sejarah, ia telah menjadi bagian dari identitas kolektif masyarakat Maluku Utara. Melalui kisahnya, kita diajak untuk melihat bahwa sejarah bukan hanya tentang raja-raja dan perang, tetapi juga tentang perempuan yang memilih untuk bertahan dan berjuang dalam diam—seperti Boki Nukila, perempuan di persimpangan dua kerajaan, yang tetap berdiri teguh di tengah badai politik abad XVI.

 

Hari ini, nama Boki Nukila masih hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Maluku, terutama di Tidore dan Ternate. Ia menjadi simbol kekuatan perempuan, tokoh sejarah yang tidak boleh dilupakan. Namanya terpahat dalam cerita rakyat, didendangkan dalam syair, dan dikenang dalam nama tempat maupun lembaga. 

 

Kisah Boki Nukila memperlihatkan bagaimana perempuan di masa lampau tidak melulu terkungkung dalam ruang domestik. Di wilayah-wilayah seperti Maluku (Utara), yang sejak lama terlibat dalam jaringan perdagangan internasional, perempuan bangsawan justru seringkali memainkan peran penting dalam membentuk arah sejarah.

 

Pernikahan politik, seperti yang dialami Nukila, memang kerap dipandang sebagai bentuk pengorbanan perempuan dalam sistem patriarki. Namun dalam kasus Boki Nukila, ia bukan sekadar objek politik, melainkan aktor yang punya posisi tawar dan pengaruh—baik sebagai putri, istri, maupun ibu dari sultan.

 

Kisah Nukila tidak hanya mengajak kita menengok masa lalu, tetapi juga menggugah kesadaran kita tentang pentingnya mengenali kontribusi perempuan dalam sejarah—terutama dalam konteks kerajaan-kerajaan lokal yang selama ini lebih sering digambarkan melalui lensa laki-laki.

 

Ia juga merupakan contoh bagaimana sejarah tidak selalu ditulis dari sudut pandang laki-laki. Di balik peta politik Maluku yang penuh warna, terdapat tokoh-tokoh perempuan yang menjadi simpul-simpul penting dari sejarah lokal yang lebih besar.


Share:
Komentar

Terkini