Kepercayaan bangsawan Ternate pada masa itu menyatakan bahwa pernikahan dengan wanita Tidore membawa berkah bagi keturunan. Anak-anak yang lahir diyakini akan mewarisi kecerdasan, keberanian, kecantikan, dan martabat luhur. Tidak mengherankan jika sejumlah sultan Ternate seperti Zainal Abidin (1486-1500), Bayan Sirrullah (1500-1522), Khairun Djamil (1535-1570), dan Baabullah Dau Syah (1570-1583) memilih istri dari keluarga sultan Tidore. Keputusan tersebut sering dianggap sebagai urusan pribadi, padahal secara sosial merupakan mekanisme untuk menjaga status dan kesinambungan kekuasaan. Melalui kacamata teori sejarah sosial seperti yang dikembangkan Asad, T (1973) perkawinan antarbangsawan dapat dipahami sebagai upaya memelihara identitas kolektif di lingkungan elite serta alat untuk mengatur hubungan kekuasaan dalam struktur sosial Maluku (Utara).
Kisah Sultan Bayan Sirrullah dan Boki Mir
Catatan harian gubernur Portugis Antonio Galvao (1544) A Treatise on the Moluccas—merekam satu kisah yang lekat dengan ingatan istana Ternate dan Tidore. Kisah itu mengisahkan hubungan Sultan Ternate, Bayan Sirrullah (1500-1522) dengan Boki Mir, saudari Sultan Tidore, Al Mansur (1521-1526). Mir dikenal sebagai perempuan berparas menawan, lembut, jujur, serta memiliki wibawa yang dihormati bangsawan maupun rakyat.
Pada masa mudanya, Mir menikah dengan seorang bangsawan terhormat yang dipuji karena kepandaian dan kesopanannya. Perjalanan Mir yang sering meninggalkan Tidore untuk urusan keluarga atau kunjungan resmi tidak pernah menghasilkan kabar miring tentang suaminya. Kepercayaan tanpa cela itu membuat Mir mempersembahkan seluruh pengabdian sebagai istri bangsawan hingga suaminya wafat.
Setelah masa perkabungan, Mir memilih menjauh dari kehidupan istana. Kekayaan dan kehormatan tidak menggugah keinginannya untuk kembali ke lingkaran bangsawan. Mir mengasingkan diri bersama para dayang di sebuah tempat terhormat dan perlahan menghilang dari kehidupan publik.
Kesendirian tersebut baru berubah saat putri Al Mansur—keponakannya—melangsungkan pernikahan, Mir berani menembus kerahasiaan itu. Setelah acara pernikahan, diam-diam, ia pergi ke Ternate untuk menemui gubernur Portugis, seorang tokoh yang dihormati rakyat karena keadilannya. Meski matanya telah kehilangan cahaya, hatinya tetap tajam dan penuh pertimbangan. Ia datang bukan untuk mencari pria, tetapi untuk menghormati pengalaman hidupnya dan memberi penghormatan kepada gubernur Portugis yang dihormati oleh semua orang. Penglihatan Mir telah meredup, namun ketajaman nurani dan pemahamannya tentang dunia istana tetap terpelihara. Kedatangannya ke Ternate dianggap sebagai penghormatan besar, bahkan para kapten dan serdadu Portugis menyebutnya sebagai kehormatan tertinggi yang pernah diterima oleh gubernur.
Di tengah penghormatan itu, muncul keinginan Sultan Bayan Sirrullah untuk mempersunting Boki Mir. Pesona Mir sebagai janda bangsawan tetap kuat, namun Mir menolak lamaran tersebut dengan keteguhan yang mengejutkan lingkungan istana. Ia lebih memilih mengakhiri hidupnya daripada menyerahkan kehormatan dan pilihan hatinya. Pesan itu disebarkan perlahan ke seluruh istana, dan pada akhirnya, tragedi tak terelakkan terjadi. Mir mewujudkan niatnya sendiri dan tubuhnya hancur berkeping-keping di bawah tebing tinggi, menyisakan duka dan kenangan yang membekas di istana Tidore dan Ternate.
Setelah tragedi itu, Sultan Bayan Sirrullah menikahi Cili Boki Nukila yang merupakan putri Sultan Al Mansur. Dari pernikahan tersebut lahir dua putra yang kelak menjadi penguasa Ternate yaitu Sultan Deyalo (1522–1529) dan Sultan Boheyat (1529–1532). Tradisi pernikahan antarbangsawan ini sekaligus menegaskan pentingnya aliansi politik dan pewarisan kekuasaan melalui garis keturunan di kesultanan dan juga menjaga kesinambungan kekuasaan serta arah politik dua kesultanan (Ternate-Tidore).
Penempatan Kisah dalam Historiografi Maluku Utara
Kisah Mir tidak cukup dipahami sebagai drama percintaan atau tragedi pribadi. Narasi tersebut memperlihatkan rumitnya politik kekerabatan dan strategi aliansi yang membentuk hubungan Ternate dan Tidore pada abad keenam belas. Dalam tradisi kekuasaan Maluku, perkawinan menjadi alat penyatu yang menjaga loyalitas dan meredam potensi konflik. Sejak abad kelima belas, hubungan dua kesultanan itu dijaga melalui perkawinan silang demi stabilitas jalur rempah dan keseimbangan politik.
Dalam kerangka tersebut, keinginan Sultan Bayan Sirrullah meminang Mir merupakan bagian dari strategi memperkuat posisi Ternate melalui ikatan darah dengan keluarga Al Mansur. Situasi ini semakin penting pada masa ketika Portugis mulai mempengaruhi dinamika kekuasaan lokal.
Kisah Mir juga mengungkap sesuatu yang jarang muncul dalam sumber kolonial. Perempuan bangsawan digambarkan sebagai sosok yang memiliki kehendak, pilihan, serta keberanian mempertahankan martabat. Penolakan Mir hingga memilih jalan tragis dapat dibaca sebagai bentuk perlawanan dalam batas struktur sosial yang ketat. Perspektif sejarah sosial feminis menyebut tindakan semacam ini sebagai contoh agensi perempuan dalam ruang yang dibatasi tradisi patriarkal dan politik dinasti.
Walaupun catatan Galvao mengandung bias kolonial, teks tersebut tetap penting bagi historiografi Maluku Utara karena membuka gambaran mengenai posisi perempuan bangsawan, hubungan antarkedaton, dan dinamika sosial yang tidak dicatat dalam tradisi lisan. Kisah Mir menjadi bagian dari mozaik besar sejarah Maluku Utara yang memperlihatkan bagaimana cinta, kehormatan, dan kekuasaan berkelindan dalam dunia bangsawan serta bagaimana pilihan seorang perempuan mampu mengguncang narasi sebuah dinasti.
