Tiga Lapis Tidore yang Monge

Editor: Irfan Ahmad author photo

Beberapa kali saya mendapat kiriman kue dari “mama ade, Nurhasni”, salah satu pembuat sekaligus penjual kue lapis Tidore yang tinggal di Tidore. Setiap kali mencicipinya, saya selalu penasaran: “Mama Ani, bikiapa dia penama kue lapis Tidore, padahal yang buat orang Makeang?” Beliau hanya tertawa lalu menjawab sederhana, “Mungkin karena asalnya dari Tidore.” Pertanyaan yang sama pernah saya ajukan kepada istri saya—pecinta kue lapis Tidore yang juga beretnis Tidore. Jawabannya hampir mirip: “barang orang Tidore yang biking, deng mangkali yang  jual itu orang Tidore.”

Dari percakapan-percakapan ringan seperti itulah saya mulai menyadari sesuatu, Kota Tidore menyimpan begitu banyak cerita yang belum sepenuhnya diungkap. Selain memiliki sejarah panjang dan tradisi yang tetap hidup hingga kini, Tidore juga punya satu kuliner khas yang hampir tak pernah absen dalam setiap hajatan—kue lapis Tidore.

 

Jika jejaknya ditelusuri, kue lapis Tidore kerap dianggap sebagai warisan leluhur orang Tidore. Namun anggapan “tradisional” ini kadang justru terasa lucu. Kita menikmati kue yang sangat populer—bahkan menjadi salah satu yang paling digemari di Maluku Utara—tetapi asal-usulnya nyaris tidak diketahui oleh para penikmatnya sendiri.

 

Fenomena seperti ini bukan hal baru. Banyak kue tradisional lain yang sejarahnya juga masih kabur, seperti: kue satu, Pelita Srikaya, Tela Mafika, panada, brudel, hingga beragam kue berbahan sagu—bahan pokok yang sudah lama menjadi identitas pangan masyarakat Maluku Utara. Catatan Portugis, Spanyol, dan Belanda pun menggambarkan hal serupa: sagu tidak hanya dikonsumsi sebagai makanan pokok, tetapi juga diolah menjadi berbagai jenis kue di Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya (Baretta, 1917).

 

Bahan-bahan lokal seperti gula merah, kacang tanah, kenari, dan kayu manis berpadu dengan komoditas yang datang melalui jalur perdagangan kolonial, seperti tepung terigu, sekaligus teknik pemanggangan yang berkembang pada masa Spanyol dan Portugis (Andaya, 1993). Teknik pemanggangan tradisional yang masih digunakan hingga kini—mengandalkan bura, wadah tanah liat yang hanya diproduksi di Pulau Mare—menunjukkan bahwa pembuatan kue lapis bukan hal baru bagi masyarakat Tidore. Tradisi ini telah dijalani secara turun-temurun, menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya lokal.

 

Menurut Nani Djafar (52), kue lapis Tidore sudah ada sejak abad IX, diperkenalkan oleh orang “Jawa Yuke” yang datang ke Tidore untuk berdagang dan siar agama Islam. Awalnya, kue lapis hanya dibuat di Tidore. Ketika para tamu dari luar daerah mengikuti hajatan di Tidore, mereka sering memuji kelejatan kue ini dengan menyebutnya “kue lapis di Tidore”. Lama-kelamaan, kata “di” hilang, dan kue itu pun dikenal dengan nama “lapis Tidore”. Selain kue lapis, kelompok “Jawa Yuke” juga membawa kue kolombeng. Dahulu, kedua kue ini hanya disajikan pada momen-momen khusus—acara di keraton, bulan Ramadan, Lebaran, dan ritual taje besi—menandakan statusnya sebagai sajian istimewa yang bukan sekadar panganan sehari-hari.

 

Dengan demikian, kue lapis Tidore bukan sekadar soal rasa manis atau lapisan yang menarik. Kue ini adalah bukti material dari dinamika sosial, ekonomi, dan lintas budaya yang membentuk identitas kuliner masyarakat Tidore, sekaligus simbol tradisi dan ingatan kolektif yang terus hidup hingga hari ini.

 

Diakui Negara sebagai Kekayaan Komunal

Beberapa minggu lalu, kue lapis Tidore resmi terdaftar sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum, kuliner ini masuk kategori indikasi asal yang dilindungi negara pada 2025 (Kumparan, 25/11/2025). Pengakuan tersebut tidak hadir tiba-tiba, melainkan hasil dari proses panjang yang menegaskan identitas sebuah masyarakat yang hidup dalam lanskap budaya Kepulauan Rempah.

 

Kue lapis Tidore adalah salahsatu bagian dari Warisan Budaya Takbenda (WBTB) asal Kota Tidore. Status sebagai KIK, menempatkan kue lapis bukan hanya sebagai makanan khas, tetapi sebagai artefak budaya. Di dalamnya terdapat memori sosial, pengetahuan turun-temurun, dan praktik kuliner yang berkembang melalui pertemuan berabad-abad antara bahan lokal dan pengaruh luar.

 

Meski telah diakui negara, pengetahuan publik tentang kue lapis Tidore masih terbatas. Banyak orang mengenalnya hanya sebagai “kue khas Tidore yang enak”, tanpa memahami konteks sejarah dan nilai budaya yang membentuknya. Kondisi seperti ini rentan membuat kue lapis hanya menjadi komoditas, bukan identitas yang dirawat. Oleh karena itu, penting bagi Pemerintah Kota Tidore Kepulauan untuk tidak berhenti pada perayaan status KIK saja. Pengakuan resmi seharusnya menjadi pintu masuk untuk membangun ekosistem pengetahuan, ekonomi kreatif, dan pariwisata yang lebih kuat. Serta menjaga warisan ini tetap hidup sekaligus memperkenalkan nilai budayanya kepada masyarakat dan wisatawan. 

 

Prestise Sosial dan Filosofi

Kue Lapis Tidore bukan hanya soal teknik memasak, tetapi juga bagian dari lanskap budaya masyarakatnya. Seperti banyak makanan tradisional lain di Nusantara, yang membawa tafsir simbolik yang berakar pada pandangan kosmos orang Tidore. 

 

Menurut Syahidussyahar (50), pegiat kebudayaan Kota Tidore, kue lapis Tidore dulu selalu diletakkan di meja utama dalam sebuah hajatan. Posisi itu menandakan status sosial dan kehadiran tamu penting. Lapisan-lapisannya memberi kesan ritual—disusun berdasarkan logika berjenjang yang menyerupai struktur kosmos yang suci. Memasuki era 1990-an, penggunaan peralatan modern memang mempermudah proses pembuatannya. Namun versi tradisional yang dimasak dengan bura dan bara api tetap memiliki tempat istimewa. Menurut Syahidussyahar, rasa dan aroma yang dihasilkan teknik tradisional tidak dapat ditiru oleh peralatan modern.

 

Ciri khas kue lapis Tidore terletak pada tiga lapisan kuenya yang dipadukan dengan dua jenis selai di bagian tengah. Selai pertama terbuat dari kacang tanah, memiliki daya simpan lebih lama sehingga kue dapat bertahan beberapa hari tanpa berubah rasa. Selai kedua menggunakan kenari—tidak tahan lama, hanya satu hingga tiga hari—namun justru menjadi favorit banyak penikmat karena rasa monge; nikmat dan lembut. 

 

Beberapa informan memaknai tiga lapisan kue ini sebagai simbol “tiga dunia”. Lapisan bawah melambangkan tanah dan laut sebagai sumber kehidupan. Lapisan tengah menggambarkan ruang manusia—tempat bekerja, berinteraksi, dan merayakan. Sementara lapisan atas dipahami sebagai ruang Ilahi, sebuah tempat segala ketentuan dan harapan dititipkan. Dengan demikian, setiap potongan kue lapis Tidore tidak hanya menghadirkan rasa, tetapi juga menyimpan lapisan makna yang berakar pada pandangan kosmos masyarakatnya.

 

Abdullah (60) juga menyebut bahwa dua olesan selai adalah pengikat tiga dunia tersebut. Selai kacang melambangkan kekuatan bumi dan daya tahan, sementara selai kenari melambangkan berkah yang cepat berubah—datang sesaat namun bernilai tinggi. Tanpa selai, kata Abdullah, kue lapis tidak akan utuh; begitu pula hidup, membutuhkan penghubung agar manusia mampu bertahan.

 

Lebih dari Sekadar Resep

Pada akhirnya, siapa pun dapat mempelajari cara membuat kue lapis Tidore. Takaran bahan, proses pemanggangan, hingga cara meracik selai kacang atau cokelatnya bisa dituliskan dalam selembar kertas dan diwariskan dari rumah ke rumah. Namun seperti banyak warisan kuliner di Nusantara, resep tidak pernah menjadi satu-satunya penentu rasa. Ada lapisan lain yang tidak tercatat, ketelatenan, ritme gerak tangan, hingga doa yang disisipkan diam-diam oleh para pembuat kue.

 

Dalam kajian pelestarian kebudayaan, unsur-unsur semacam ini disebut sebagai pengetahuan tak berwujudhal-hal yang tidak tampak tetapi justru menjadi inti sebuah tradisi. Kue lapis Tidore, dalam konteks ini, bukan sekadar produk kuliner, melainkan penjelmaan dari memori kolektif masyarakat, yang terus hidup melalui praktik sehari-hari. Ketika seorang pembuat kue lapis menyendok selai atau menakar tepung, tindakan itu bukan hanya aktivitas dapur, melainkan bentuk pelestarian budaya yang berlangsung terus-menerus.

 

Dalam kerangka teori pelestarian budaya, tradisi hanya akan hidup bila komunitasnya terlibat langsung, merasa memiliki, dan menghidupkan makna di baliknya. Selama kue lapis Tidore tidak hanya dibuat, tetapi juga dipahami dan dihargai sebagai bagian dari identitas budaya, maka warisan ini akan terus bertahan—melampaui zaman, melampaui perubahan selera, dan melampaui batas resep itu sendiri.

 

 

 

 

 


Share:
Komentar

Terkini