![]() |
Gambar: Nisan makam bertuliskan “Boki Fatima, Prinses Kasiruta binti Sultan Muhammad Usman Syah.” Sumber: Tirto.id. |
Op den 8 Februari 1906 had ten paleize van den Sultan van Batjan het huwelijk plaats van R. M. Tirto Adhi Soerjo en Prinses Fatimah, jongere zuster van den regeerenden Sultan aldaar.
Artinya, “pernikahan R.M. Tirto Adhi Soerjo dengan Putri Fatimah—adik Sultan yang berkuasa—dilaksanakan di istana Bacan pada 8 Februari 1906”.
Pernyataan di atas secara langsung menegaskan hubungan keluarga Fatimah dengan Sultan yang berkuasa saat itu. Beberapa literatur populer dan artikel daring, menyebut pertemuan dan pernikahan terjadi pada 1905 dan mengaitkan Fatimah sebagai putri Sultan Oesman Syah. Namun, arsip kolonial menunjukkan Tirto hanya mengunjungi Bacan satu kali, yaitu untuk pernikahan pada 8 Februari 1906, bukan karena pengasingan atau kunjungan sebelumnya.
Bukti silsilah dan arsip kolonial secara konsisten menegaskan bahwa Boki Fatimah adalah putri Sultan Muhammad Sadiq Syah, kakak Sultan Muhammad Oesman Syah, dan istri R.M. Tirto Adhi Soerjo. Klarifikasi ini relevan untuk memahami kronologi sejarah pribadi Tirto serta dinamika politik dan sosial Kesultanan Bacan.
![]() |
Gambar: Silsilah Kesultanan Bacan. Pada silsilah tersebut terlihat anak-anak Sultan Muhammad Sadiq Syah, serta keturunan Sultan Bacan, Oesman Syah. |
Pertemuan dengan Tirto
Setelah lulus sekolah dasar di Bacan, Fatimah mengikuti ayahnya yang diasingkan ke Bandung. Di sana, ia melanjutkan pendidikan MULO selama dua tahun dan lulus dengan predikat terbaik. Lingkungan baru di Priangan memperkenalkannya pada bacaan-bacaan politik dan surat kabar. Minatnya pada isu kolonial membuatnya jatuh hati pada Medan Prijaji, koran yang dipimpin R. M. Tirto Adhi Soerjo.
Fatimah tertarik pada sebuah tulisan disalah satu media berjudul “Boycott”, yang memuat gagasan radikal tentang kekuatan golongan lemah jika berorganisasi. Tiga kali ia mengirim surat ke redaksi, namun tak pernah dijawab.
Dengan keberanian yang memikat, Fatimah melangkah sendiri ke kantor redaksi. Tirto terpesona oleh kecerdasannya, kefasihan dalam bahasa Belanda, Melayu, dan Sunda, serta keanggunan yang digambarkan bak “bunga akhir abad.” Ia datang dengan payung kuning, sosoknya tinggi dan ramping, senyumnya manis, kulitnya gelap lembut, sementara gaun sutra yang dipakainya memancarkan aura pesona India. Pertemuan ini bukan sekadar perjumpaan, melainkan awal dari ikatan yang memadukan hubungan pribadi dan profesional, menandai babak baru dalam kehidupan keduanya.
Pernikahan Agung di Bacan
Tak lama setelah meniti awal asmara, Raden Mas Tas melamar Boki Fatimah dan membawanya ke Bacan untuk menyatukan janji mereka dalam pernikahan. Majalah Belanda Donderdag, No. 132/10 Mei 1906, mencatat bahwa hajatan ini berlangsung dengan kemegahan yang luar biasa.
Malam itu, istana Kesultanan Bacan berubah menjadi panggung yang memukau: kombinasi antara kemegahan tradisi istana dan ritus seremonial kolonial. Balai istana dipenuhi alunan orkestra bergaya Eropa, sementara gaun dan pakaian kebesaran para tamu memantulkan cahaya lampu minyak, menciptakan cahaya yang menari di wajah para bangsawan dan pejabat kolonial. Di langit, kembang api dari Francis & Co. meledak, menyebarkan percikan cahaya yang disambut sorak-sorai warga, seolah seluruh Bacan ikut merayakan momentum ini.
Puncak acara adalah pidato Panglima Batavia, kakak Sultan, yang menyinggung konflik halus antara Sultan dan Kompeni Batavia. Kata-kata yang terucap lembut namun tegas itu bukan sekadar pesan politik, melainkan pengingat bahwa legitimasi kesultanan berpijak pada kemampuan melindungi rakyatnya.
Ucapan selamat dari Bapak Windhander, perwakilan pemerintah kolonial, diterima Sultan dengan hormat penuh kesopanan. Hadir pula tokoh-tokoh penting seperti Laksamana Batjan Mij, Tuan Van Pebski, dan Tuan Diepenheim, menegaskan dimensi diplomasi dan jaringan politik Kesultanan Bacan dengan Pemerintah Belanda. Di meja hidangan, daging olahan dari Purworejo—produk perdagangan antarwilayah—disantap dengan antusias, memperlihatkan interkoneksi ekonomi Bacan dengan pusat-pusat produksi di Jawa.
Pernikahan itu bukan sekadar hajatan keluarga bangsawan. Ia menjadi medium politik, arena diplomasi, dan panggung representasi ekonomi serta status sosial kesultanan—malam ketika cinta dan kekuasaan berpadu dalam cahaya lampu, musik, dan percikan kembang api.
Boki Fatimah tampil sebagai tuan rumah yang anggun, menjadi penghubung antara tamu-tamu bangsawan lokal dan perwakilan kolonial. Perayaan ini bukan sekadar hajatan keluarga, tetapi juga momen diplomasi dan pamer kekuatan ekonomi Bacan.
![]() |
Gambar: Berita atau iklan pernikahan R.M. Tirto Adhi Soerjo dengan Putri Fatimah pada tahun 1906, yang dimuat di salah satu media Belanda. |
Akhir Hayat dan Lupa Kolektif
Boki Fatimah wafat pada 7 Agustus 1948. Pusara sederhananya di Bacan berdiri sunyi—seolah sejarahnya tidak pantas mendapat perhatian. Padahal, perempuan ini pernah menapaki panggung yang jauh lebih gemerlap daripada yang bisa dibayangkan banyak orang. Namanya nyaris hilang dari buku pelajaran, meski jasanya jelas: ia mendorong pers pergerakan dan membuka jalan bagi keterlibatan perempuan dalam politik modern.
Sekarang, pertanyaannya sederhana: mengapa pemerintah Halmahera Selatan membiarkan sosok sekelas Boki Fatimah tenggelam dalam lupa kolektif? Tantangan terbesar bukan sekadar mengenang, tetapi menegaskan kembali ke ruang publik bahwa ia bukan hanya istri Tirto Adhi Soerjo, melainkan Prinses van Kasiruta—perempuan dengan visi, keberanian, dan peran nyata dalam sejarah Indonesia.
Ketidakpedulian pemerintah daerah terhadap makamnya bukan hanya soal administrasi; ini adalah kegagalan kelembagaan yang sistematis dalam menghargai warisan sejarah nasional. Boki Fatimah adalah putri Sultan Bacan dan penyokong finansial Medan Prijaji serta Poetri Hindia. Ia ikut membiayai media pro-kemerdekaan dan memperjuangkan suara perempuan—peran yang mestinya dihargai, bukan diabaikan.
Mengabaikan makam Boki Fatimah sama artinya dengan menolak mengakui kontribusi perempuan dalam pers pergerakan dan perjuangan kemerdekaan. Ini adalah bias sejarah yang disengaja atau paling tidak, indikasi lemahnya komitmen pemerintah dalam pelestarian warisan budaya.
Pemerintah Halmahera Selatan memiliki kesempatan untuk bertindak—untuk mengubah sunyi pusara itu menjadi medium pendidikan, inspirasi generasi muda, dan simbol bahwa sejarah pers pergerakan tidak hanya dibentuk oleh laki-laki, tetapi juga oleh perempuan bangsawan yang berani bersuara, bersikap, dan bertindak. Tidak ada lagi alasan untuk menunda. Sejarah menuntut, dan publik menunggu.