Dokumentasi Fuad At. Genpi Malut. |
Toloa adalah salah satu kelurahan di kecamatan Tidore Selatan, kota Tidore Kepulauan, Provinsi Maluku Utara. Toloa merupakan salah satu pemukiman tua (kuno) dan bekas pusat pemerintahan kesultanan Tidore. Pernyataan tersebut dibuktikan dengan temuan situs prasejarah di "Mayou Lamo" (sumber lain menyubut wilayah Tomabanga). Temuan itu berupa bekas hunian/susunan batu, makam kuno, dan beberapa jere (keramat). Temuan lain berupa tinggalan megalitik zaman neolitikum (zaman batu baru), menguatkan dugaan adanya satu peradaban di Toloa, yaitu zaman neolitikum sebelum ke zaman Besi (zaman terakhir prasejarah, suatu tahap perkembangan kebudayaan manusia di mana penggunaan besi untuk pembuatan alat/senjata untuk berburu).
Toloa adalah satu-satunya kampung atau keluarahan di Tidore yang mana penduduknya memiliki keahlian dalam kerajinan pandai besi. Namun jauh sebelumnya, orang Toloa dikenal sebagai pengrajin batu. Beberapa temuan kerajinan yang terbuat dari batu seperti, dutu (lesung), dutu ngofa (anak lesung), gulingan jagung, dan temuan beberapa tinggalan megalitik yaitu batu dakon, dan batu bergores.
![]() |
Sumber: Dokumentasi Balai Arkeologi Maluku, 2019) |
Asal Muasal Toloa
Masyarakat Toloa meyikini bahwa sebelum menempati kampung Toloa saat ini, pemukiman awal berada jauh dari pesisir, yaitu pertengahan pulau Tidore. Pemukiman Toloa yang dihuni saat ini adalah hasil perpindahan yang kelima kali dan bertahan sampai saat ini.
Awalnya pemukiman Toloa terletak di satu kawasan yang disebut "Mayou Lamo". Pemukiman ini kemudian dipindahkan ke wilayah yang dikenal "Ja" (lokasi yang berada ± 300 meter ke arah pantai dari Mayou Lamo). Setelah sekian lama mendiami wilayah Ja, pemukiman kembali dipindahkan ke wilayah baru yang dikenal dengan sebutan "Tongaru" (lokasi ini berada ± 300 meter ke arah pantai dari Ja). Menurut Mahruf Azis (35), wilayah "Tomabanga, Ja, dan Tongaru" sampai saat ini masih terdapat bekas-bekas pemukiman tua berupa tumpukan batu, perkuburan, dan jere atau keramat para leluhur.
![]() |
Foto bersama para informan di Toloa. |
Keberadaan pemukinan awal yang telah disebutkan di atas, tidak diketahui secara pasti berapa lama mereka mendiami wilayah tersebut. Namun bisa jadi pemukiman tersebut dipindahkan karena wabah penyakit yang mematikan dan dianggap tidak cocok untuk dihuni dan adanya peperangan antara kelompok. Setelah mendiami wilayah Tongaru, pemukiman kembali dipindahkan ke wilayah berikut yang oleh masyarakat dikenal dengan nama Gamayou (turun ± 1 km ke arah pantai dari wilayah sebelumnya). Di wilayah inil pemukiman dipusatkan selama ± 2 abad lamanya.
Saat mendiami wilayah Gamayou, bertepatan dengan kondisi politik di kesultanan Tidore yang tidak stabil akibat penyerangan dan pemusnahan kampung Mareku oleh Portugis-Ternate. Kondisi demikian membuat sistem pemerintahan yang saat itu dipusatkan di Seli tidak stabil karena jauh dari wilayah pantai dan terus mengalami penyerangan.
![]() |
Ilustrasi letak pemukiman awal dan perpindahannya
Untuk membangun kekuatan yang memadai tentu posisi kesultanan harus di tempatkan di wilayah yang strategi. Oleh karena itu, pusat pemerintahan kembali dipindahkan keempat kalinya dan memilih wilayah Gamayou sebagai tempat pemerintahan dilangsungkan. Setelah pusat pemerintahan dipindahkan, Sultan Alauddin Syah (1599-1626) alias Mole Majimu, kemudian mengajak dan menyatukan gimalaha rora. Gimalaha berasal dari bahasa Tidore yang artinya “Dia adalah orang baik”, sedangkan "rora" yaitu "enam". Setalah ada kesepakatan antara sultan dan gimalaha, maka gamayo menjadi sentral kekuasaan sultan Tidore, dan merubah nama gamayou menjadi Toloa, serta mendirikan Istana N(a)egara pada 1600.
Nama Toloa diambil dari kata ajakan yang berbunyi "fopolu lafoloa ni gam", artinya ‘mari kita berkumpul dan membangun kampung’. Ajakan ini dilakukan Sultan Alauddin Syah karena gimalaha rora saat itu masih berpencar berbasis soa dan mendiami kawasan adat mereka. Informasi lain disampaikan oleh Saleh S. Fabanyo (43), menurutnya kata Toloa mulai digunakan pada saat berkuasanya Sultan Saifuddin alias "Jou Kota" (1657-1674) dan mangajak gimalaha rora yang mendiami wilayah Gamayou untuk turun (mayoa/kalao) ke pesisir (kampung Toloa saat ini).
Ajakan itu berbunyi sedero gam yo gahi loa ‘mari membangun kampung secara berjajar dan teratur’ di sekitar pantai atau pesisir. Dengan demkian, Toloa dapat diartikan “mari berkumpul, membangun kampung secara berjajar” di pesisir pantai. Namun secara filosofi, Toloa dapat diartikan “berkumpul meluruskan niat”, untuk mendalami ilmu tarekat yang saat itu berpusat di Gamayou dengan filosofi “loa se banari”, yaitu "melakukan sesuatu yang benar".