Satu Pulau, Dua Bahasa: Cerita Harmoni dari Makeang

Editor: Irfan Ahmad author photo


Gambar: Pulau Maqian, 1602Sumber: Tropenmuseum.

Secara geografis, Pulau Makeang yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara. Pulau Makeang berbatasan langsung dengan dua pulau berpengaruh secara historis dan geografis: Pulau Moti di barat laut dan Pulau Halmahera—pulau terbesar di kawasan itu—di sebelah timurnya. Letaknya yang strategis di jalur pelayaran lokal menjadikan Makeang tidak hanya sebagai titik penting secara geografis, tetapi juga sebagai simpul pertemuan antarbudaya.


Pulau Makeang adalah salah satu titik kecil di peta Maluku Utara, tapi jangan remehkan ukurannya. Di balik daratannya yang mungil, pulau ini menyimpan cerita alam, budaya, dan bahasa yang luar biasa kaya. Gunung apinya—yang dikenal sebagai Kie Besi—menjulang gagah setinggi 2.350 meter dari dasar laut (Monk et al., 1997:60), menjadikannya salah satu gunung api paling aktif di Maluku Utara.

 

Pulau Makeang adalah wilayah vulkanik yang berada pada koordinat 0º 19’ Lintang Utara dan 127º 23’ Bujur Timur. Gunung apinya tergolong stratovolcano aktif Tipe A, dengan diameter sekitar 10 km dan ketinggian puncak mencapai ±1.357 meter. Di lereng tenggara, selatan, dan barat daya—khususnya di Kampung Pawatie—terdapat kerucut-kerucut parasit, seperti di Kampung Peleri dengan ketinggian ±770 meter, Kampung Malapa ±790 meter, dan Kampung Mailoa ±1.226 meter. Di lereng utara dan timur, terdapat lembah besar yang semakin melebar ke arah kaki gunung (Kriswati & Pratomo, 2011:15, 18).

Gambar: Erupsi Kie Besi pada tanggal 19 Juli 1988.

Dua Sisi: Timur—Barat 

Wilayah Makeang Timur dikenal sebagai Makeang Dalam, karena kampung-kampungnya menghadap langsung ke Pulau Halmahera atau terletak di perairan yang berada dalam lingkup Pulau Halmahera. Sebaliknya, kampung-kampung di Makeang Barat disebut, karena berhadapan langsung dengan laut lepas, keluar dari perairan Halmahera.

 

Konon, pembagian ini bermula dari kedatangan dua saudagar Arab yang berdakwah di Pulau Makeang, yakni Syekh Yakub dan Hafel Basrah. Syekh Yakub menetap di wilayah Solimongo (Makeang Timur), sementara Syekh Hafel Basrah menetap di Mateketen (Tafasoho/Tawasoi), Makeang Barat. Pembagian ini turut dipengaruhi oleh adanya dua dialek bahasa yang berbeda yang digunakan oleh penduduk setempat. Untuk memudahkan komunikasi dan administrasi, kedua syekh tersebut membagi Pulau Makeang menjadi dua wilayah dengan sebutan “Taba–Moi”.

Tabel. Nama-nama kampung di Pulau Makeang

Sumber: MvO  Residen Ternate J. H. Tobias, 1857 & C. Bosscher, 1859. No. 161a. (Jakarta: ANRI, 1980), Leonard  Y. Andaya, The World of Maluku: Eastern Indonesia in the Early Modern Period. (Honolulu: University of Hawaii Press, 1993).



Berdasarkan data dalam Tabel 1, terdapat tiga belas (13) kampung di Pulau Makeang: tujuh (7) di wilayah Makeang Timur dan enam (6) di Makeang Barat. Selain kampung, terdapat pula dusun atau anak kampung, seperti Sobobe di Waigitang dan Odbawa di Ngofabobawa. Kampung Ngofakiyaha merupakan wilayah yang cukup besar dan memiliki pembagian sub-wilayah dengan nama-nama tersendiri seperti Rabut Dayo, Kota, Gorup, Walo, Dalam, Gitang, Kyowor, Matengtengen, dan Sangapati. Sementara itu, Kampung Tahane dahulu terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Tahane Soahtia dan Taha Soa, berdasarkan letaknya di pesisir dan di pedalaman (Clercq, F. S. A de. 1890: 80).


Fenomena Linguistik

Dalam Ethnologue: Languages of the World  (Lewis, Paul M. 2009; Grimes, 2009), disebutkan bahwa Maluku Utara memiliki keragaman bahasa yang tinggi, dengan setidaknya 32 bahasa daerah. Bahasa-bahasa di wilayah ini diklasifikasikan ke dalam dua rumpun besar. Rumpun Non-Austronesia, mencakup bahasa Makeang Barat, Tidore, Ternate, Sahu, Tobelo, Galela, Loloda, Kao, dan Tobaru. Rumpun Austronesia, mencakup bahasa Makeang Timur, Kayoa, Buli, Giman, Maba, Gane, Gebe, dan Weda (Masinambow, 1997:92).

 

Pulau Makeang menyimpan fenomena linguistik yang unik: dua bahasa hidup berdampingan dalam satu pulau kecil. Masyarakat Makeang Timur menggunakan bahasa Tabayama, sedangkan masyarakat Makeang Barat menggunakan bahasa Jitinée atau Desité. Kedua bahasa ini juga dikenal dengan julukan Taba (Makeang Timur) dan Moi (Makeang Barat). Residet Ternate, Clercq, F. S. A de. (1890: 82) mencatat bahwa sejak dahulu, penduduk Makeang Timur tidak memahami bahasa yang digunakan oleh penduduk Makeang Barat.

 

Keunikan ini menjadikan Makeang sebagai contoh langka, baik di Indonesia maupun dunia, tentang keragaman bahasa dalam wilayah geografis yang sangat sempit. Yang lebih menarik, kedua bahasa ini tidak hanya berbeda secara fonologis dan leksikal, tetapi juga berasal dari dua rumpun bahasa yang berbeda: Austronesia dan Non-Austronesia.


Gambar: Lukisan peta pulau Makeang abad XVII. Sumber: Drie voorstellingen met kaarten van de eilanden Makeang. Jakarta: ANRI. P.P. N0. 08-75474


Karena perbedaan bahasa tersebut, masyarakat Makeang dahulu menggunakan bahasa Melayu sebagai lingua franca dalam aktivitas perdagangan dengan para saudagar dari Cina, Arab, maupun Eropa. Bahkan, sebelum kedatangan bangsa-bangsa asing, bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa penghubung antarwilayah di Nusantara. Portugis, Spanyol, dan Belanda yang hendak berdagang di kawasan ini pun harus memahami bahasa Melayu agar dapat berinteraksi dengan masyarakat lokal.

 

Warisan Bahasa di Tengah Arus Zaman

Sekilas, Makeang tampak kecil. Tapi dari sisi budaya dan bahasa, pulau ini sangat istimewa. Dua komunitas hidup berdampingan dengan dua bahasa yang berbeda. Perbedaan ini bukan soal konflik, tapi lebih kepada kekayaan identitas. Masing-masing bahasa menjadi simbol warisan, sejarah, dan cara hidup.

 

Bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga simbol warisan budaya, perbedaan, dan kebersamaan yang hidup berdampingan. Meskipun perbedaan ini telah berlangsung selama berabad-abad, keduanya tetap lestari hingga hari ini. Pulau Makeang menjadi bukti nyata bahwa dua "lidah" dapat tumbuh bersama di satu ruang yang sama—berbagi daratan sempit namun luas dalam makna.

 

Tulisan ini mengajak kita menyelami lebih dalam kondisi sosiolinguistik Pulau Makeang, termasuk latar sejarah munculnya dua bahasa tersebut, relasi antar komunitas, serta tantangan pelestarian bahasa lokal di era modern. Makeang adalah bukti bahwa sebuah pulau kecil dapat menyuarakan kekayaan besar—melalui dua bahasa yang terus hidup dalam satu tanah. Sebuah kisah tentang keberagaman yang membentuk identitas sejati Pulau Makeang.

 

Kini, tantangan terbesar datang dari zaman. Di tengah arus globalisasi dan dominasi bahasa nasional, eksistensi dua bahasa lokal di Makeang menjadi semakin relevan untuk dikaji. Bagaimana kedua komunitas mempertahankan bahasa mereka? Apakah terdapat ketegangan, atau justru harmoni dalam kehidupan sehari-hari? Dan bagaimana masa depan bahasa Taba dan Moi di tengah generasi muda yang semakin akrab dengan bahasa Melayu dan bahasa Indonesia dan teknologi digital?

Share:
Komentar

Terkini