-->

Jejak Kerajaan Moro

Editor: Irfan Ahmad author photo
Kata Moro yang terdapat pada salah satu peta Kolonial Belanda. Koleksi KITLV.

Moro yang dimaksud dalam penulisan ini, bukan orang Moro yang terdapat di Mindanao, Philipina dan istilah orang Spanyol yang tertuju pada orang Muslim. Akan tetapi, salah satu kerajaan yang pernah eksis di Galela, Halmahera. Kerajaan Moro terletak di Mamuya, Galela Halmahera bagian utara. Tidak diketahui secara pasti sejak kapan kerajaan ini berdiri. Menurut Adrian B. Lapian (1980) kerajaan Moro sama tuanya dengan kerajaan Gilolo/Jailolo dan kerajaan Loloda yang pernah eksis di Halmahera. 

Nama Moro oleh orang Portugis dikaitkan dengan sebutan Batucina de Moro (Chinese rock of the Moro) yang merujuk pada kerajaan tua di Halmahera bagian utara yang masih eksis hingga abad XVII (Amal, M.A, 2010). Selain Gubernur Antonio Galvao, Portugis yang mencatat tentang keberadaan kerajaan tertua di Batucina de Moro (Jakob, 1971). Kata tersebut juga muncul dalam dokumen-dokumen Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada abad XVII (Missiven, G. 1960). Awalnya penyebutan Batucina de Moro, sebagai penunjukan tempat bagi orang Cina untuk pulau Halmahera. Orang asing pertama yang menemukan Maluku dan melakukan proses barter cengkeh dengan masyarakat lokal (Lapian, A.B.1994).
Rute perdagangan orang Cina ke Galelal pada Abad XIV.

Wilayah Kerajaan Moro
Secara etnografis, kerajaan ini terdiri atas etnis Galela dan Tobelo. Mereka berasal dari dari kelompok hoana Morodina (tia), Morodai (tai), Lina, Gura, Mumulati dan Hubobo (Adnan Amal, 2010). Morodina yaitu “Moro Daratan” dikenal dengan wilayah Galela dan Morodai yaitu “Moro Laut” (Morotai).

Wilayah Kerajaan Moro merupakan penghasil tamo (beras) terbesar di Maluku. Dengan demikian, masyarakatnya hidup makmur. Selain beras, sagu, dan binatang liar yang sangat berlimpah, maka wilayah tersebut merupakan lumbung pangan (Naping, 2013;81). Itulah kenapa Kerajaan Jailolo dan Ternate saling merebut untuk menguasai kerajaan tersebut. Daya tarik lainnya yaitu memiliki populasi penduduk yang banyak dan bisa dimanfaatkan sebagai bala (prajurit) yang handal bila terjadi peperangan, tenaga pengayuh perahu serta terampil membuat perahu tradisional, juanga dan kora-kora yang dapat mendukung kebijakan kerajaan dalam melakukan ekspansi.

Wilayah Galela, Halmahera bagian utara.

Ibukota Kerajaan Moro terletak di Mamuya. Memiliki wilayah yang luas yakni Morodina yaitu Mamuya, Sugala, Pune, Cawa, Tolo, dan Samafo yang ditugaskan sebagai angkatan darat. Sementara Morodai terdiri dari Sakita, Cio, Mira, dan Roa bertugas sebagai pasukan laut (Rainannur, 2015). Meskipun orang Galela memiliki kerajaan sendiri, dalam catatan sejarah kerajaan tersebut sejak abad XV berada di bawah pengaruh Kesultanan Ternate hingga awal abad XX. 

Kerajaan Moro diyakini menghilang, akibat dari ekspansi Kesultanan Ternate ke Halmahera. Kejadian hilangnya Kerajaan Moro, oleh sebagian tetua adat Galela maupun Morotai meyakini bahwa orang-orang yang tidak mau tunduk pada Ternate melarikan diri dan hilang secara gaib di hutan. Oleh karena itu, moro dikaitkan dengan orang yang hilang dan hidup di dunia lain, tak tampak oleh manusia, dan hanya orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan tentang alam gaib yang bisa melihat serta bersahabat dengan mereka yang dikaitkan dengan mistis (Ishige 1980).

A. Hueting (1921)  adalah salah satu Pendeta asal Belanda yang melakukan zending di Tobelo, Galela dan Morotai. Menemukan bahwa moro dihormati sebagai nenek moyang yang suci dan hilang secara gaib.  Dalam tradisi lisan orang Ternate, moro adalah sebuah ungkapan, dimana pada suatu masa Sang Sultan Ternate memanggil orang-orang yang mendiami pulua Halmahera bagian utara dan mereka tidak datang menghadap. Walaupun telah dipanggil berulang kali. Maka terucap oleh sultan “kaum yang tidak datang menghadap adalah moro karena hilang entah kemana”.

Beberapa sumber lisan juga ditemukan bahwa, terbentuknya Kerajaan Moro tidak  terlepas  dengan  penaklukan Kesultanan Jailolo oleh Kesultanan Ternate. Anak-cucu dan bangsawan Kerajaan Jailolo yang tidak mau tunduk pada Kesultanan Ternate hijrah ke Halmahera  bagian  utara. Mereka  yang tidak mau kehilangan eksistensinya, menghimpun  kekuatan  dengan  membentuk  Kerajaan Moro. Akan tetapi, sebagian sumber sejarah menyebutkan bahwa bangsawan Jailolo melarikan diri dan bergabung dengan pasukan dari Moro dan sebagian ke Kerajaan Tidore.

Kehancuran Kerajaan Moro
Orang  Portugis memiliki keinginan untuk menyebarkan agama Kristen Katolik dan kemauan besar mengkristenkan penduduk pribumi. Pada missionaris berulang kali mencoba membabtiskan Raja Ternate dan keluarganya dengan harapan bahwa apabila Raja sudah memeluk agama Kristen, maka masyarakat pribumi-pun akan ikut. Ini dianggap berhasil ketika Panglima Tristao d’Atayde dan Gonjalo Veloso, mulai menyebarkan misi Katolik di wilayah Moro (Amal, M.A. 2009), dan berhasil  mengkristenkan  Kolano Tioliza Kerajaan  Moro dan diberi nama Don  Joao  Mamuya (Papilaya, 2013).  

Setelah  Kolano  Tioliza menganut agama  Kristen,  Sangaji  Sugala  dan  Sangaji  Cowa  dan  sebagian  penduduk  Moro, mengikuti pimpinannya untuk memeluk agama Kristen dengan dibaptis oleh Pator Simon  Vaz. Kegiatan evangelisasi juga sering menuai bentrokan antar pemeluk agama, hingga terbunuhnya Simon Vaz telah menebarkan benih permusuhan antara Gubernur Portugis dengan para sultan Maluku, khususnya Sultan Khairun. Sementara kemajuan evangelisasi yang begitu pesat dan klaim Misi bahwa sekitar 35.000 orang telah beralih agama pada 1553 di Moro (Baretta, J.M. 1917), informasi ini membuat kekhawatiran Khairun. 

Meningkatnya penganut agama Kristen juga dilaporkan dari Ternate oleh  Pastor de Castro ke Goa (India) dengan rincian dari 49 komunitas/kampung terdapat 700-800 orang penganut agama Kristen (Djafaar, I.A. 2006). Orang Portugis yang merasah cukup kuat, karena berpikir Kerajaan Moro telah berpihak kepada mereka. Melakukan kebijakan yang keluar dari kesepakatan awal dengan sultan Khairun, dibeberapa tempat pajak cengkeh dinaikan dan cengkeh dihargai dengan cukup murah. 

Temuan Lesung batu berukuran besar. Masyarakat Mamuya meyakini Lesung tersebut adalah sisa-sisa tinggalan masyarakat yang aktif sebagai petani padi dan terkait dengan Kerajaan Moro.

Keserakahan mereka, membuat Sultan Khairun marah, maka pada 1560 diadakan suatu pertemuan dengan melibatkan para sultan Maluku lainnya untuk membahas laju perkembangan Kristenisasi di Halmahera dan Morotai yang telah keluar dari kesepakatan. Dalam pertemuan itu, muncul kesepakatan “menghambat laju evangelisasi dan mengenyahkan orang-orang Portugis dari Maluku.” Sejak keputusan rahasia itu diambil, terlihat perubahan sikap Khairun sebagai “pembela akidah Islam yang serius” (Andaya, L.Y. 1993) yang awalnya sangat toleransi dengan orang Portugis. Bahkan dibeberapa kesempatan Khairun turut membantu orang Portugis menyuplai bahan makanan dan meminjamkan perahu untuk para Misi Jesuit.

Dalam pertemuan tersebut, Katarabumi diberi tugas militer untuk mengamankan pulau Halmahera dan Morotai. Katarabumi dengan pasukan Alfur mulai menyerang Morotia. Pasukannya mulai menyisir pemukiman Kristen di Sugala, Tedalo (Tutumaloleo), Rogui (Aru), Cunialonga (Lolonga), Pune, Mamuya di pesisir Galela, menyusul Tolo, Cawa, dan Samafo di Tobelo. Negeri-negeri selain Tolo berhasil dibersihkan dari Misi Jesuit dan terjadi pembantaian dan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Kristen pribumi. Semantara di Ternate, sikap Khairun mulai dirasakan Gubernur Duarte de Eca (1555-1559). Tetapi, Khairun tetap memelihara hubungan baik dan memperlihatkan sikap yang santun (Amal, M.A. 2010: 49). Meskipun demikian de Eca menaruh curiga terhadap Khairun dan beranggapan Khairun sebagai penghalang dan dikemudian hari Antonio Pimental, kemanakan Gubernur Diego Lopes de Mesquita membunuh Khairun pada 1570.

Sejak kematian Sultan Khairun dan peperangan antara Ternate dan Portugis yang terjadi di Maluku selama lima tahun, Kerajaan Moro tidak pernah eksis, meskipun perang telah usai. Besar kemungkinan, bangsawan mereka terbunuh dan penduduk yang masih setia melarikan diri dan diyakini hilang secara gaib.


Share:
Komentar

Terkini