![]() |
Gambar: Peta Halmahera dengan keterangan "bangun kawasan ekonomi baru". Sumber: Malut Post, 2025. |
Dalam video itu, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda tampak bersama Bupati Halmahera Tengah (Halteng) Ikram M. Sangadji dan Wakil Bupati Halmahera Timur (Haltim) Anjas Taher. Mereka tengah membicarakan rencana pembangunan jalan baru yang digadang-gadang akan menghubungkan Sofifi, Haltim, dan Halteng.
Rute yang dipaparkan cukup detail: dari Sofifi ke Desa Ekor (Haltim) sepanjang 27 kilometer, Ekor–Kobe (Halteng) sejauh 34 kilometer, Ekor–Buli (Haltim) 56,7 kilometer, dan jalur terakhir Kobe–Buli membentang 114,6 kilometer. Dalam unggahannya di Facebook, Ikram optimis jalur ini akan memangkas jarak, memperlancar distribusi hasil pertanian, sekaligus memperkuat posisi Sofifi sebagai ibu kota provinsi.
Gaung pertemuan itu tak berhenti di media sosial. Dua hari kemudian, Malut Post (22 Agustus 2025) mengangkat isu serupa. Pemprov disebut tengah menyiapkan “segitiga ekonomi” baru: Sofifi (Tidore Kepulauan), Ekor dan Buli (Haltim), serta Kobe (Halteng). Dan rencana ambisius ini bukan sekadar wacana. Ia sudah tercatat resmi dalam RPJMD Malut 2025–2029.
Antara Jalan dan Ruang Hidup
Secara pribadi, saya bisa memahami niat Gubernur. Infrastruktur memang penting untuk membuka akses dan mempercepat arus ekonomi. Tetapi pembangunan tidak boleh dilihat semata dari panjang jalan atau tebal aspal. Ia juga soal siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan.
Sebab peta jalan yang dibicarakan kemungkinan besar akan bersinggungan dengan ruang hidup komunitas adat: O’Hongana Manyawa (Tobelo Dalam/Togutil) di jantung hutan Halmahera, orang Kulo di Halteng, orang Tayawi di Oba (Tidore), serta orang Lilliaro di Ake Jira (Haltim). Bagi mereka, hutan bukanlah “tanah kosong”. Hutan adalah rumah, dapur, dan altar spiritual. Antropolog Unkhair, Safrudin Abdulrahman (2013) membaginya dalam tiga kategori; 1) Raki ma amoko (sumber makanan dan bahan baku), 2) Fongana (ladang sementara), dan 3) Hongana manga gomanga (hutan keramat tempat roh leluhur bersemayam).
Pertanyaannya, ketika jalan dibuka, siapa yang lebih dulu melintas? Apakah petani kecil, atau justru alat berat perusahaan tambang dan kayu?
Sejarah pembangunan di Maluku Utara berkali-kali menunjukkan, masyarakat adatlah yang paling dulu tersingkir. Sejak operasi kayu PT Bina Lestari di Kulo (1980-an), hingga ekspansi tambang nikel di Haltim dan Halteng, pola yang sama berulang: hutan terkikis, air sungai tercemar, ruang perburuan menyempit. Sementara keuntungan besar mengalir ke perusahaan dan elite politik.
Kini, jalan strategis rawan menjadi pintu masuk gelombang eksploitasi baru. Lagi-lagi dengan dalih “membangun untuk rakyat”. Lagi-lagi, masyarakat adat hanya menjadi penonton—atau korban.
Apakah kita rela mengulang pola kolonial Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), sumber daya diangkut keluar, keuntungan dinikmati penguasa, sementara rakyat adat dibiarkan kehilangan ruang hidupnya?
Kulo: Jantung Hutan Halmahera
Komunitas Kulo menempati wilayah pedalaman Halmahera, di sekitar aliran Sungai Sesewama dan Mbahao. Kedua sungai ini menghubungkan ruang hidup mereka dengan pesisir, sebagian mengalir ke Kobe, sebagian lain ke Subaim. Lokasi yang terisolasi dari pusat-pusat permukiman membuat orang Kulo sering menyebut diri mereka tinggal “tepat di jantung hutan Halmahera”.
Menurut penuturan Laban Orable (57), komunitas Kulo terbentuk dari kelompok etnis Tobelo, Galela, dan Sawai. Tiga marga utama—Galela, Sibenpopo, dan Koke—masih dapat ditelusuri hingga kini. Identitas mereka bersifat cair: di satu sisi terkait dengan etnis besar di Halmahera, di sisi lain mengkristal sebagai komunitas terpisah yang mengembangkan ikatan sosial dan ruang hidup tersendiri.
Hingga kini, relasi dengan komunitas tetangga, seperti Lilliaro di hutan Oba, Kota Tidore Kepulauan, masih rapuh. Meskipun jaraknya hanya 5–7 kilometer, interaksi hampir tak terjadi selama dua dekade terakhir. Menurut Juben Koke (44), jika pun bertemu di hutan saat berburu, mereka lebih sering menghindari sapa. Ingatan kolektif menyimpan pengalaman konflik, mulai dari perebutan hasil buruan hingga kasus penculikan perempuan. Ketegangan ini memperlihatkan bagaimana ruang hutan tidak sekadar sumber ekonomi, tetapi juga arena perebutan kuasa sosial dan simbolik antar-komunitas.
Menurut Frans Maeidi (45), leluhur orang Kulo mulai mendiami kawasan ini sejak sekitar 1910. Pada masa itu, Kulo berfungsi sebagai titik temu bagi kelompok Togutil dari Oba, Halteng, dan Haltim. Pertemuan ini tidak semata bersifat sosial, tetapi juga ekonomi. Damar dan gaharu menjadi komoditas barter antar-komunitas sebelum dijual ke pesisir—ke Lelilef, Ekor, maupun Subaim. Dengan demikian, hutan bukanlah “ruang liar”, melainkan simpul jaringan ekonomi dan sosial yang menghubungkan pedalaman dengan pesisir.
Temuan Yayasan Thee Tebings Maluku Utara bersama Kementerian Sosial RI (2020–2022) mencatat 34 kepala keluarga masih bertahan di Kulo, tinggal di enam rumah panggung, dengan satu bangunan gereja dari papan. Sebagian keluarga memilih keluar sejak 2003 dan menetap di SP3 Dusun Woebulen, lalu diikuti beberapa lainnya pada 2010. Migrasi ini menunjukkan adanya tarikan ganda: di satu sisi dorongan untuk tetap menjaga hutan sebagai ruang leluhur, di sisi lain kebutuhan mengakses fasilitas modern di kawasan transmigrasi.
Hutan Kulo bukan hanya menjadi arena interaksi antar-komunitas, tetapi juga target eksploitasi eksternal. Pada 1980, PT Bina Lestari memasuki kawasan ini dengan izin eksplorasi kayu yang berlangsung hingga 1993. Perlawanan masyarakat berlangsung terbatas karena operasi perusahaan selalu disertai aparat keamanan. Janji perusahaan untuk membangun gereja tak pernah ditepati sepenuhnya; mereka hanya menyediakan kayu, dan masyarakatlah yang akhirnya membangun tempat ibadah sederhana. Fakta bahwa gereja jarang digunakan—karena tidak ada pendeta atau pelayanan—juga menyingkap bagaimana simbol “pembangunan” dari luar seringkali tidak menjawab kebutuhan spiritual maupun sosial komunitas.
Kisah orang Kulo memperlihatkan bagaimana hutan Halmahera berfungsi ganda: sebagai ruang identitas dan sejarah, sekaligus arena konflik dan eksploitasi. Bagi komunitas, hutan adalah warisan leluhur, tempat hidup, sekaligus pengikat solidaritas. Namun bagi negara dan korporasi, hutan lebih sering dilihat sebagai sumber daya yang bisa dieksploitasi. Ketegangan inilah yang terus menempatkan orang Kulo di posisi rentan—antara mempertahankan jantung hutan Halmahera atau tergeser oleh kekuatan eksternal yang lebih besar.
Jalan atau Perampasan?
Pembangunan jalan selalu dipuji sebagai cara mempercepat arus ekonomi. Namun, ketika jalan itu justru mengusir masyarakat adat dari tanahnya, merusak hutan, dan mencabut sumber kehidupan, maka ia tak lagi bisa disebut pembangunan—melainkan perampasan.
Pemerintah boleh menyebutnya “strategis”, tetapi publik berhak bertanya; apakah jalur ini benar-benar dibangun demi kesejahteraan bersama, atau hanya menjadi pintu masuk bagi pengusiran anak-anak rimba dari tanah leluhur mereka?
Pada akhirnya, proyek jalan lintas Sofifi–Haltim–Halteng hanya akan bermakna jika benar-benar menghadirkan manfaat bagi rakyat. Bukan sekadar memperlancar jalannya alat berat dan kontainer perusahaan tambang. Karena itu, pemerintah provinsi perlu membuka data secara transparan, melibatkan masyarakat adat dalam proses pengambilan keputusan, dan memastikan setiap kilometer aspal memberi nilai sosial, bukan keuntungan korporasi. Jika tidak, Maluku Utara hanya akan menyaksikan sejarah lama terulang kembali: perampasan ruang hidup dan hutan, kali ini dengan wajah modern, namun luka yang sama dalamnya.