Halmahera Timur: Cerita Perjuangan dari Ujung Timur Maluku Utara

Editor: Irfan Ahmad author photo

Gerakan masyarakat dan mahasiswa Maba, Buli dan Wasile dalam Memperjuangkan Pembentukan Kabupaten Halmahera Timur

Selamat Ulang Tahun ke-22 Kabupaten Halmahera Timur!

Setiap tanggal 31 Mei  Pemerintah Halmahera Timur memperingati momen bersejarah ini sebagai bentuk penghormatan dan rasa syukur atas lahirnya Halmahera Timur sebagai bagian dari Provinsi Maluku Utara. Sudah lebih dari dua dekade sejak kabupaten ini berdiri, dan harapan masyarakat pun terus tumbuh.

 

Namun, kita tak bisa menutup mata—tantangan masih banyak. Jalan yang belum memadai, layanan pendidikan dan kesehatan yang sulit dijangkau, terutama di wilayah pedalaman, masih menjadi pekerjaan rumah besar. Ini menunjukkan bahwa pemanfaatan potensi daerah dan sumber daya alam belum dikelola secara maksimal.

 

Pemerintah daerah punya tanggung jawab besar: bukan hanya membangun, tapi juga memastikan pembangunan itu transparan, akuntabel, dan melibatkan masyarakat. Warga berhak tahu ke mana anggaran pembangunan diarahkan, dan yang lebih penting: suara mereka harus tetap didengar.

 

Mari kita dorong Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur untuk tidak sekadar berjanji, tapi hadir dengan solusi nyata. Dengan kerja keras, keterlibatan masyarakat, dan komitmen semua pihak, kita yakin Halmahera Timur bisa tumbuh lebih maju dan memberikan kehidupan yang lebih baik bagi seluruh warganya.

 

Embrio Perjuangan Fagogoru, 1964-1990

Perjuangan masyarakat Maba, Patani, dan Weda untuk membentuk Kabupaten Halmahera Timur telah berlangsung lama dan melelahkan. Mereka bersatu dalam lembaga sosial bernama Gam Range, yang mengusung nilai persatuan, tolong-menolong, dan saling menghormati, yang dikenal sebagai filosofi hidup Fagogoru. Ikatan sosial-politik ini didasarkan pada kedekatan geografis dan kesamaan bahasa (bahasa Sawai).

 

Setelah pengesahan undang-undang pada akhir 1950-an yang mengatur status wilayah administratif, daerah Gam Range tetap berada di bawah Kabupaten Halmahera Tengah yang pusatnya jauh di Soa-Sio, Tidore. Hal ini menyebabkan wilayah timur Halmahera kurang mendapat perhatian pembangunan, sehingga memunculkan kesadaran untuk memperjuangkan otonomi yang lebih baik. Pada 1964, masyarakat mendirikan paguyuban Fagogoru sebagai wadah kebersamaan dan diskusi masalah daerah. Sudah ada gagasan untuk memindahkan pusat administratif Halmahera Tengah ke Maba sebagai upaya memperkuat perjuangan wilayah timur.

 

Singkatnya, periode ini merupakan embrio perjuangan sosial-politik masyarakat Gam Range menuju otonomi daerah yang lebih mandiri, didasarkan pada solidaritas budaya dan ketidakpuasan terhadap pengelolaan administratif yang jauh dari wilayah mereka. Gerakan perjuangan keluarga Fagogoru terus berlangsung secara bawah tanah melalui arisan, pertemuan, dan demonstrasi yang menuntut pemerataan pembangunan di wilayah Halmahera Tengah, khususnya pemindahan ibukota dari Tidore ke daratan Halmahera (Maba/Weda). Perjuangan ini sempat terhenti akibat situasi politik nasional yang tidak kondusif pasca Gerakan 30 September 1965, namun semangat perjuangan kembali bangkit pada tahun 1980-an dengan upaya pengajuan surat ke pemerintah pusat.

 

Meskipun Undang-Undang tahun 1990 mengubah status administratif Halmahera Tengah menjadi kabupaten dengan janji pemindahan ibukota ke daratan, realisasinya tidak terlaksana, sehingga wilayah timur tetap terabaikan dan miskin. Keluarga Fagogoru pun terus melakukan demonstrasi dan seminar untuk mendesak pemindahan ibukota, yang mendapat dukungan program dari Bupati Halmahera Tengah, termasuk pembangunan Bandar Udara Buli sebagai langkah strategis. Namun, upaya ini berakhir dengan kegagalan karena pemerintah tidak melaksanakan pemindahan ibukota, dan perjuangan Fagogoru tidak mendapatkan respons positif sehingga harapan pemindahan ibukota dan pemerataan pembangunan tetap menjadi wacana kosong.

 

Perjuangan IKPMIF-1990

Pembentukan Kabupaten Halmahera Tengah melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1990 membawa kabar gembira bagi sebagian politisi di Pulau Tidore. Namun, di sisi lain, keputusan ini justru memicu kekecewaan mendalam di wilayah Halmahera Timur—khususnya di Kecamatan Maba dan Wasile.

 

Selama puluhan tahun, kawasan ini nyaris tak tersentuh pembangunan. Akses ke pusat pemerintahan di Tidore sangat sulit, sementara infrastruktur dan layanan publik di wilayah timur amat minim. Semua perhatian dan anggaran terkonsentrasi di ibukota kabupaten, meninggalkan Maba dan Wasile dalam kondisi terabaikan. Ketimpangan inilah yang kemudian mendorong munculnya semangat perlawanan dari generasi muda Fagogoru melalui Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Fagogoru (IKPMIF).

 

Situasi ini mulai berubah setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang mendorong otonomi daerah dan pemekaran wilayah untuk percepatan pembangunan serta pemerataan pelayanan masyarakat. Dalam konteks pembentukan Provinsi Maluku Utara, terdapat persyaratan lima kabupaten/kota yang harus dipenuhi. Beberapa wilayah kawedanan pun direncanakan dimekarkan menjadi kabupaten/kota, namun awalnya tidak termasuk Kabupaten Halmahera Timur yang meliputi Maba, Weda, dan Patani-Gebe. Hal ini menyebabkan kekecewaan masyarakat Gam Range karena mereka terpisah secara administratif, meski secara historis mereka selalu bersatu.

Menurut Kahar Taslim, mantan Kepala Bappeda Provinsi Maluku Utara dan Pejabat Bupati pertama Halmahera Timur, sebagian tokoh di Halmahera Tengah tidak ingin melepaskan wilayah Maba, namun tokoh Fagogoru dari Maba tetap menuntut pemekaran dengan alasan luasnya wilayah Kabupaten Halmahera Tengah dan kendala geografis yang menghambat pembangunan. Akhirnya, pemerintah mempertimbangkan pemekaran wilayah demi percepatan pembangunan. 

 

Pembentukan Kepengurusan IKPMIF 1999

Mahasiswa, pemuda, PNS, dan sesepuh dari Maba, Weda, dan Patani yang berdomisili di Ternate dan Tidore mengadakan Musyawarah III IKPMIF dan mengangkat Abdul Wahab Hasyim, SE., M.Si. sebagai ketua, dan Drs. Edy Langkara sebagai sekretaris periode 1999.


"Ketika Maluku Utara menjadi provinsi hasil pemekaran Maluku, Kawedanan Weda tidak masuk dalam pertimbangan pemekaran. Bersama para tokoh, kami protes dan mendesak agar Kawedanan Weda dimasukkan dalam skema pemekaran." — Abdul Wahab Hasyim


Keinginan pemekaran sudah ada jauh sebelum terbentuknya Provinsi Maluku Utara, tapi pembentukan kabupaten sulit sebelum provinsi terbentuk. Tiga putra terbaik kawedanan Weda sejak 1964 (M. Saleh Asis, Sirajudin, Vander Mov) ikut berjuang. Perjuangan ini adalah pengorbanan masyarakat kawedanan Weda untuk pembentukan Maluku Utara sebagai provinsi." — Abdul Wahab Hasyim

Wacana pemekaran Halmahera Tengah-Timur

Pada pengusulan awal, Halmahera bagian tengah dan timur (wilayah Gam Range) diwacanakan menjadi satu kabupaten terpisah dari Halmahera Tengah. Ibukota masih di Tidore, karena tuntutan memindahkan ibukota ke Halmahera tak direspon. Masa kepemimpinan Edy Langkara menjadi roh perjuangan berbeda dengan sebelumnya. Setelah puluhan tahun berjuang memindahkan ibukota tanpa hasil, fokus kami beralih tuntut kabupaten baru, Halmahera Timur." — Abdul Wahab Hasyim

 

Pada 19 September 1999 disepakati pembentukan Kabupaten Halmahera Timur, kemudian 20 September diadakan dengar pendapat dengan DPRD dan Pemerintah Kabupaten Halmahera Tengah. Tuntutannya: "IKPMIF mendesak pembentukan Kabupaten Halmahera Timur dengan 4 kecamatan (Maba, Weda, Patani-Gebe, Wasile) yang saat itu masih di Kabupaten Halmahera Tengah." 

 

Abdul Wahab Hasyim dan Edy Langkara aktif mengadakan pertemuan di rumah sesepuh Fagoguru di Ternate dan Tidore untuk menyamakan persepsi, cari dukungan, evaluasi, dan persiapkan aksi demonstrasi serta dengar pendapat. Desakan juga disampaikan ke DPR RI.

"Berbagai aksi dan protes berdampak positif, pemerintah mulai memasukkan wilayah timur dan tengah Halmahera dalam rencana kabupaten.

 

Alasan pemekaran menurut Abdul Wahab Hasyim adalah peristiwa hukum yang melegitimasi potensi Maluku Utara, mempercepat pengambilan keputusan, mengatasi disparitas wilayah, kesenjangan ekonomi, dan memperkuat pemberdayaan kultural masyarakat. Span of control dan rantai decision making sangat penting untuk mengatasi kesenjangan ekonomi dan sosial. Pemberdayaan kultural diperlukan untuk mengurangi pola hidup konsumtif dan etos kerja rendah yang menghambat ekonomi daerah.


Terbatasnya sosialisasi dan semangat perjuangan

Perjuangan IKPMIF periode ini belum dikenal luas karena sosialisasi ke kecamatan dan desa belum intensif, tetapi semangat perjuangan terfokus dengan tekad "Berjuang Demi Masa Depan Gamrange." Semangat menuntut pembentukan Kabupaten Halmahera Timur tetap berkobar di keluarga IKPMIF Ternate dan Tidore." 


Meski situasi sosial sulit, semangat perjuangan tetap hidup. Inisiatif komunikasi dilakukan oleh Ketua Bidang Organisasi IKPMIF Abdurrahim Odeyani ke berbagai tokoh untuk menjaga perjuangan. "Kami meminta Bupati Halmahera Tengah, A Bahar Andili, memfasilitasi mahasiswa asal Maba, Weda, dan Patani agar bisa pulang ke daerahnya menggunakan kapal laut." 

Tim Sosialisasi dari Kalangan Mahasiswa, 2000. Sumber: Arsip Fagogoru. Disadur kembali dalam karya, Musa, H (2008)

 

Mahasiswa yang tersebar di daerah asalnya masing-masing tidak dibiarkan pasif oleh pengurus IKPMIF. Mereka aktif turun langsung ke wilayah Kabupaten Halmahera Tengah untuk mensosialisasikan gagasan pemekaran Kabupaten Halmahera Timur sekaligus berupaya mencegah meluasnya konflik horisontal di wilayah Gam Range. Melalui dukungan donatur seperti Musa Djamaluddin dan kontribusi sesepuh Fagoguru, pengurus IKPMIF seperti Mustamir Arsad, Dheny Tjan, dan Abdurrahim Odeyani melakukan perjalanan sosialisasi ke berbagai daerah penting seperti Buli, Gotowasi, Loleolamo, dan lainnya. Meski perjalanan itu terhenti akibat konflik di Lelelo, sosialisasi tersebut berhasil mendapatkan dukungan masyarakat sekaligus mencegah konflik di kampung Buli.

 

Evaluasi hasil perjalanan dilakukan dalam pertemuan di Ternate pada April 2000, yang menghasilkan kesepakatan menggelar Musyawarah IV dengan tema Deklarasi Pembentukan Kabupaten Halmahera Timur. Musyawarah ini dilaksanakan pada tanggal 21-23 April 2000 di Gedung SKB Tidore dan menetapkan Ir. Husen Nurdin sebagai ketua dan Drs. Edy Langkara sebagai sekretaris IKPMIF periode berikutnya. Kedua tokoh ini dianggap berani karena tetap berjuang meski banyak birokrat enggan berpolitik aktif.

 

Deklarasi yang dihasilkan menegaskan bahwa pembangunan nasional harus mengedepankan keseimbangan pembangunan spiritual dan material; wilayah Halmahera Timur selama ini terisolasi dan tertinggal akibat pembangunan yang tidak proporsional; dan percepatan pembangunan sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah dan masyarakat setempat. IKPMIF menyatakan komitmen untuk memperjuangkan pembentukan Kabupaten Halmahera Timur sebagai manifestasi tanggung jawab sebagai anak bangsa dalam bingkai NKRI. Deklarasi ini kemudian disampaikan ke DPRD Kabupaten Halmahera Tengah untuk ditindaklanjuti.

 

Perjuangan ini menjadi fokus utama IKPMIF di bawah kepemimpinan Husen Nurdin dan Edy Langkara, yang intensif melakukan sosialisasi, demonstrasi, dengar pendapat, dan upaya mencari dukungan hampir setiap minggu. Gerakan ini juga merupakan bentuk keberanian menentang elit birokrat dan politik yang cenderung mempertahankan status quo dan menolak pemekaran. Oleh karena itu, perjuangan IKPMIF merupakan bukti nyata keberanian dan kesungguhan masyarakat Gam Range dalam memperjuangkan hak administratifnya demi percepatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Halmahera Timur.

 

Pada tanggal 10 Oktober 2000, IKPMIF melakukan aksi pendudukan Gedung DPRD Halmahera Tengah selama tiga hari tiga malam, dengan menggelar pagelaran seni parodi yang menggambarkan kondisi keterbelakangan masyarakat Gam Range dalam berbagai aspek pembangunan. Aksi ini merupakan bentuk protes keras kepada DPRD yang dinilai tidak peduli terhadap isu pembentukan Kabupaten Halmahera Timur. Dheny Tjan menyatakan bahwa sebagian besar anggota DPRD dan pemerintahan saat itu berasal dari Tidore sehingga kebijakan pembangunan hanya terpusat di sana dan tidak menguntungkan masyarakat Gam Range.

 

Menurut Abdurrahim Odeyani (2022), dalam aksi tersebut, pengurus IKPMIF, termasuk Husen Hi. Nurdin dan Edi Langkara, menyerahkan hasil rekomendasi musyawarah IKPMIF kepada Bupati Halmahera Tengah dan DPRD. Aksi ini menjadi titik terang perjuangan IKPMIF karena berhasil memengaruhi political will sejumlah anggota DPRD asal Gam Range yang kemudian bersepakat membentuk Panitia Khusus (PANSUS) DPRD untuk persiapan pemekaran Kabupaten Halmahera Timur.

 

Surat rekomendasi pembentukan PANSUS dikeluarkan pada 18 Oktober 2000, dipimpin oleh Jufri Yakuba. Namun, hingga hampir satu tahun, proses legalisasi pemekaran belum juga berjalan. Pada masa darurat sipil dan menjelang pemilihan kepala daerah, demonstrasi ditiadakan dan IKPMIF memilih strategi lain, yakni menggalang solidaritas melalui kegiatan olahraga, seperti kompetisi sepak bola “Fagogoru Cup” pada Agustus–September 2001. Kegiatan ini efektif menyatukan masyarakat dari berbagai desa dan mendapat perhatian luas, sekaligus mengokohkan dukungan terhadap perjuangan pemekaran.

 

Dheny Tjan menegaskan bahwa Fagogoru Cup merupakan strategi untuk menyamakan persepsi perjuangan pemekaran, dengan memanfaatkan sepak bola sebagai media yang diterima luas oleh masyarakat, khususnya di tengah pembatasan kegiatan politik selama masa pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa IKPMIF mampu beradaptasi dan mempertahankan semangat perjuangan melalui cara-cara kreatif yang menjangkau masyarakat luas.

 

Polimik Isu Pemekaran

Desakan pembentukan Kabupaten Halmahera Timur terus mengemuka, meski Panitia Khusus (Pansus) DPRD tidak berjalan efektif. IKPMIF kemudian membentuk Badan Koordinasi (BAKOR) pada November 2001 untuk memperjuangkan pemekaran dengan menyusun profil wilayah sebagai syarat administrasi. Namun, respons pemerintah daerah dan DPRD lambat dan terkesan ada penolakan karena potensi protes dari daerah lain.

 

Gagasan pembagian wilayah muncul, dengan membagi Halmahera Tengah menjadi tiga wilayah: Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Timur (Maba, Weda, Patani, Gebe), dan Halmahera Tengah (Patani, Weda, Gebe). Tidore dimekarkan menjadi kota administratif dengan pertimbangan sejarah dan jumlah penduduk.

 

Namun, aspirasi ini menimbulkan polemik dan penolakan dari berbagai pihak termasuk Edi Langkara (KNPI Halmahera Tengah) yang menilai pembentukan harus berdasarkan PP No.129 Tahun 2000 dan menyoroti potensi perebutan kekuasaan. KNPI menegaskan pentingnya pemekaran untuk memperpendek rentang kendali dan meningkatkan pelayanan masyarakat.

 

Pada Maret 2002, terjadi “Dialog Segi Tiga” antara BAKOR, DPRD, dan Pemda yang menyepakati pemekaran Halmahera Timur dan pembentukan tim teknis penyusunan profil wilayah. Profil wilayah kemudian disusun dan disepakati dengan ibukota di Lembah Pegunungan Damuli. Meski sudah ada kesepakatan, pembahasan resmi pemekaran sempat ditunda hingga setelah pemilihan Bupati Halmahera Tengah. Namun pada 19 Maret 2002, DPRD akhirnya mengesahkan pembentukan Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan dalam wilayah Halmahera Tengah. Surat resmi pembentukan tim teknis dikeluarkan pada April 2002 untuk menyiapkan langkah administratif, kebijakan, dan perumusan usulan pemekaran demi meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.

 

Usulan Perubahan RUU Pemekaran

Sejak 2002, wacana pemekaran wilayah di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara, terus bergulir dan menimbulkan berbagai pro-kontra di kalangan masyarakat dan elite politik. Permohonan pembentukan Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan diajukan Bupati Halmahera Tengah kepada DPRD Provinsi dan pemerintah pusat sebagai langkah administratif yang dianggap penting untuk mempercepat pembangunan dan pelayanan publik.

 

Namun, proses pemekaran ini tidak berjalan mulus. Pada masa itu, situasi Maluku Utara sedang kurang kondusif akibat konflik horizontal dan penerapan darurat sipil, sehingga Pemerintah Provinsi dan DPRD menyarankan agar usulan pemekaran diproses sesuai mekanisme perundang-undangan. Pemerintah dan DPRD Halmahera Tengah pun melakukan kajian mendalam, termasuk profil wilayah dan aspirasi masyarakat.

 

Pada 24 Mei 2002, Gubernur Maluku Utara mengeluarkan surat usulan pemekaran ke Menteri Dalam Negeri, berdasarkan persetujuan DPRD Provinsi. Namun, dalam draft perubahan RUU yang diajukan, terdapat pembagian wilayah yang menimbulkan ketegangan. Draft itu membagi Kecamatan Maba, Maba Selatan, Wasile, dan Wasile Selatan menjadi Kabupaten Halmahera Timur, sementara Kecamatan Weda, Patani, dan Pulau Gebe tetap menjadi bagian Halmahera Tengah.

Susunan Anggota Tim Teknis Pemekaran Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan.  Sumber: Putusan Bupati Halmahera Tengah, Nomor 135.05/KEP/65a/2002 tentang Pembentukan Tim Teknis Pemekaran Kabupaten Halmahera Timur dan Kota Tidore Kepulauan.

 

Pembagian ini mendapat penolakan keras dari berbagai kelompok masyarakat, termasuk dari IKPMIF dan Forum Bersama Perjuangan (FPB) Halmahera Timur. Mereka menilai pembagian ini berpotensi memecah belah persaudaraan dan sejarah panjang kebersamaan masyarakat Halmahera Timur, terutama karena Kecamatan Patani, Weda, dan Pulau Gebe secara historis dan geografis lebih erat hubungannya dengan Maba dan wilayah Halmahera Timur. Aliansi Mahasiswa dan Persatuan Masyarakat Adat juga ikut menolak perubahan ini, menilai ada permainan elit politik yang tidak transparan dan mengabaikan aspirasi rakyat.

 

Konflik ini semakin nyata ketika DPRD Halmahera Tengah tetap melanjutkan rapat paripurna yang menyetujui pembagian wilayah tersebut, meskipun mendapat penolakan luas. FPB bahkan mengirim surat kepada Ketua DPR RI dan Komisi II DPR RI untuk menolak usulan perubahan RUU yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.

 

Situasi makin memanas karena rencana pemindahan ibukota kabupaten dari Tidore ke Weda, yang menimbulkan kekhawatiran akan rentang kendali pemerintahan yang makin jauh dan pelayanan publik yang kurang efektif.

 

Menanggapi kondisi tersebut, pada Juli 2002 diadakan “Dialog Segi Tiga” yang melibatkan Pemerintah Daerah, DPRD, dan IKPMIF. Dari dialog ini, disepakati agar pembagian wilayah Kabupaten Halmahera Timur kembali ke kesepakatan awal, yaitu meliputi Kecamatan Maba, Maba Selatan, Wasile, dan Wasile Selatan. Kesepakatan ini didukung penuh oleh tokoh masyarakat Fagogoru dan diharapkan menjadi solusi agar pemekaran tidak terhambat oleh konflik internal.


Selanjutnya, Komisi II DPR RI memberikan kesempatan kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) untuk melakukan studi kelayakan sesuai aturan yang berlaku. Namun, meski sudah ada kesepahaman, dinamika politik dan kepentingan elit tetap menjadi tantangan besar dalam proses pemekaran ini.

 

Pemekaran wilayah bukan sekadar perubahan administratif. Ia berkaitan erat dengan sejarah, identitas, dan kesejahteraan masyarakat. Jika dilakukan tanpa memperhatikan aspirasi rakyat dan kondisi sosial budaya, justru dapat menimbulkan konflik berkepanjangan yang merugikan semua pihak.

 

Cerita Halmahera Tengah adalah cermin bahwa pembangunan daerah harus berjalan dengan dialog terbuka, transparansi, dan penghormatan pada nilai-nilai lokal. Semua pihak—pemerintah, DPRD, tokoh masyarakat, hingga mahasiswa dan adat—harus duduk bersama mencari solusi terbaik demi kemajuan bersama.

 

Lahirnya Kabupaten Halmahera Timur: Perjuangan dan Harapan Baru

Kabupaten Halmahera Timur resmi berdiri berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2003, sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Halmahera Tengah. Pemekaran ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang membuka ruang bagi pembentukan daerah baru dengan pertimbangan potensi ekonomi, sosial budaya, jumlah penduduk, dan kemampuan daerah.

 

Sebelumnya, pembangunan di wilayah Halmahera Timur—terutama di Maba, Weda, dan Patani—terasa tertinggal jauh dibandingkan dengan pusat pemerintahan yang berlokasi di Soa-Sio, Tidore. Jarak geografis dan akses yang sulit membuat masyarakat di Halmahera Timur merasa kurang mendapatkan perhatian dan pembangunan yang layak.

Foto penjemputan Sultan Tidore oleh Pemerintah Halmahera Timur dan para sesepuh Fagogoru. Kehadiran para tokoh tersebut untuk menghadiri acara peletakan batu pertama yang menandai Maba sebagai ibukota Kabupaten Halmahera Timur. Sumber: Koleeksi Pribadi Rizal Hamanur, Mantan Wartawan Ternate Pos.


Berbagai aspirasi masyarakat dan perjuangan panjang, terutama melalui organisasi Ikatan Keluarga Pelajar Mahasiswa Indonesia Fagogoru (IKPMIF), menggerakkan lahirnya kabupaten ini sebagai simbol semangat patriotik dan keadilan pembangunan.

 

Namun, setelah pemekaran, muncul perdebatan terkait lokasi ibukota kabupaten. Maba, yang dipilih sebagai ibukota, awalnya dianggap tertinggal dan kurang berkembang dibandingkan wilayah lain seperti Buli dan Subaim. Meski begitu, Maba dipilih karena ketersediaan lahan yang memadai dan agar pembangunan bisa lebih merata, tidak terpusat di satu lokasi saja.

 

Penetapan Maba sebagai ibukota Halmahera Timur menjadi langkah strategis demi pemerataan pembangunan dan sebagai bukti nyata bahwa aspirasi masyarakat dan keadilan wilayah menjadi perhatian utama dalam pembentukan kabupaten ini.

 

Sebelum menjadi kabupaten sendiri, Halmahera Timur adalah bagian dari Kabupaten Halmahera Tengah. Setelah pemekaran wilayah, Halmahera Tengah terbagi menjadi tiga daerah: Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota Tidore Kepulauan. Halmahera Timur kini berdiri sebagai kabupaten otonom dengan wilayah daratan seluas sekitar 5.615 km², yang terletak di koordinat antara 0°47’–0°25’ Lintang Utara dan 127°45’–128°41’ Bujur Timur.

Share:
Komentar

Terkini