Jejak Marga Tauisa dan Kuasa Adat di Pesisir Tidore

Editor: Irfan Ahmad author photo

Nama Tomalou lahir dari relasi langsung antara manusia dan lanskap. Kata lou dalam bahasa lokal merujuk pada bambu—tanaman yang tumbuh lebat dan menjadi penanda ekologis terkuat pada masa kampung pertama kali dihuni (Baca:https://www.jejakmalut.com/2020/01/toponim-tomalou.html). Penamaan ruang berbasis elemen alam ini bukan sekadar cara menyebut tempat, melainkan mekanisme penyimpanan ingatan ekologis yang umum dalam tradisi toponimi komunitas kepulauan Austronesia (Ellen, 2003; Liando, 2017). Bambu bukan sekadar vegetasi, melainkan penanda orientasi, batas simbolik kampung, bahan material hidup, sekaligus identitas permukiman.

Di Maluku Utara, ruang sosial tidak dikenali lewat koordinat administratif, tetapi oleh cerita tentang sungai, rumpun tanaman, teluk labuhan, dan pohon penanda leluhur (Mansyur, 2020). Dengan demikian, Tomalou bukan hanya nama kampung, tetapi jejak interaksi panjang antara ekologi dan memori kolektif.

 

Delapan Marga dan Sejarah Pergerakan Penduduk

Pada periode awal, Tomalou dihuni oleh sembilan marga: Tomakoa, Gamsoro, Marsaoly, Konora, Sero-Sero, Wada, Tauisa, Al-Banjar, dan Toma Doe. Dalam dinamika permukiman, Toma Doe meninggalkan kampung dan bermukim di Ake Doe, kawasan dengan sumber air yang digali oleh leluhur mereka. Migrasi karena kepemilikan atau kontrol sumber air merupakan pola umum dalam sejarah permukiman Maluku Utara, di mana legitimasi ruang sering ditentukan oleh akses terhadap mata air, sumur, atau aliran sungai purba (Valerio, 2016; Ellen, 1988).

 

Delapan marga yang menetap kemudian terbagi dalam dua kategori asal: dua marga dipahami sebagai pribumi kampungyaitu Tomakoa dan Gamsoro, sementara enam lainnya—Marsaoly, Wada, Tauisa, Konora, Sero-Sero, dan Al-Banjar—dikategorikan sebagai marga pendatang yang kemudian terintegrasi secara adat. Dalam sejarah sosial Maluku, pendatang tidak otomatis menjadi kelompok pinggiran. Struktur adat justru menyiapkan mekanisme penyerapan sosial melalui pembagian peran, perkawinan, dan mandat adat tertentu (Andaya, 1993; Fraassen, 1987).

Gambar: Penetapan Hari Jadi Kampung Tomalou.

Dualisme Adat: Hakekat dan Syareat

Masyarakat Tomalou menata struktur sosialnya melalui pembagian peran kosmologis antara Hakekat dan Syareat. Keduanya bukan relasi oposisi, melainkan mekanisme keseimbangan yang menautkan langit dan kampung, batin dan laku, sabda leluhur dan titah Tuhan. Hakekat menaungi mandat rohaniah terdalam—legitimasi moral, otoritas sakral, penjagaan silsilah pengetahuan adat, serta penjembatan hubungan manusia dengan Yang Maha Menentukan. Mandat ini dipikul oleh Marsaoly, Wada, dan Al-Banjar. Di tangan mereka, adat dipahami bukan sekadar kesepakatan sosial, melainkan amanah metafisik, sehingga keputusan adat senantiasa menuntut bobot spiritual, bukan hanya administratif. Perspektif ini sejalan dengan kosmologi kekuasaan Maluku Utara yang menautkan adat, agama, dan legitimasi moral sebagai satu kesatuan ontologis (Fraassen, 1987; Andaya, 1993).

 

Sementara itu, Syareat berperan sebagai wajah operasional adat—mengatur hubungan antarmanusia, forum musyawarah, tata krama publik, serta perangkat eksekusi keputusan komunal. Peran ini diemban Tauisa, Konora, dan Sero-Sero, dengan penekanan pada akhlak sosial, keteraturan, dan disiplin laku kolektif. Dalam praktik kampung, Syareat adalah panggung tempat nilai-nilai Hakekat diterjemahkan ke bentuk-bentuk yang terlihat: musyawarah yang diawali doa, keputusan yang disepakati lewat mufakat, dan janji yang diikat dalam bahasa sumpah suci. Tradisi ini beririsan kuat dengan konsep Islam Nusantara yang menempatkan adat sebagai wadah pengamalan syariat dalam ruang lokal, bukan penggantinya (Azra, 2006; Amal, 2009).

 

Relasi Hakekat–Syareat bagi warga Tomalou bukan terminologi abstrak, melainkan ritme hidup: yang satu menjaga kedalaman, yang lain memastikan keterbacaan. Keseimbangan ini bertumpu pada keyakinan bahwa adat tanpa Syareat kehilangan arah etik, sedangkan Syareat tanpa Hakekat menjadi kering dari makna batin. Karena itu setiap pergerakan sosial—rapat adat, pembagian peran, hingga ritus kampung—dimulai dengan seruan kepada Tuhan, dirundingkan dalam adab tutur, dan disahkan dalam kesadaran bahwa tatanan kampung berdiri di bawah hukum Ilahi. Itulah sebabnya adat di Tomalou tidak sekadar diwariskan, tetapi diimanikan; bukan sekadar dijalankan, melainkan diyakini (Lape, 2000; Leirissa, 1996).

 

Diaspora Banda dan Genealogi Marga Tauisa

Marga Tauisa merepresentasikan salah satu jalur diaspora bahari yang paling penting di Nusantara Timur. Leluhurnya, Gosimo Nurdin, berangkat dari Banda dan berlabuh di pesisir Tomalou, dekat area yang kini dikenali sebagai Masjid Tua Tomalou. Proses penamaan Tauisa justru muncul dari peristiwa percakapan lokal. Ketika kedatangan tersebut dipertanyakan, terdengar ujaran “Katau isa?” (siapa yang datang?). Kalimat tanya berubah menjadi penanda, lalu membeku sebagai nama komunitas. Dalam kajian onomastik kepulauan, peristiwa semacam ini bukan anomali, melainkan cara lokal menyimpan sejarah melalui bahasa (Ellen, 1988; Fox, 1997).

 

Legitimasi sosial Gosimo Nurdin di Tomalou semakin kuat setelah menikah dengan perempuan dari Marga Marsaoly, salah satu pemegang otoritas Hakekat. Jalur perkawinan ini menandai proses adopsi adat—mekanisme yang kerap digunakan komunitas Nusantara Timur untuk menjadikan pendatang bagian dari struktur genealogi kampung (Andaya, 1993). Dari garis keturunannya lahir Baca, lalu menurunkan Sasun dan Abu Kasi.

 

Gosimo Nurdin juga dikenang sebagai Saihu, sosok yang diyakini mampu memanggil ikan. Penyematan gelar ini menunjukkan keberlanjutan kosmologi laut sebagai ruang spiritual, bukan hanya sebagai sumber ekonomi. Di banyak komunitas pesisir Maluku, laut dipahami sebagai ruang berelasi, penuh hukum tak kasat mata, dan dihuni kekuatan yang dapat diajak berdialog oleh figur tertentu (Lapian, 2008; McWilliam, 1997).

 

Posisi Marga Tauisa dalam Struktur Kesultanan Tidore

Dalam orbit Kesultanan Tidore, Tauisa memegang mandat adat bergelar Salesa Ma Doya. Istilah Salesa bermakna piring besar, metafora kultural yang menggambarkan peran penyambut, penyangga, dan penentu etika dalam perjamuan besar kekuasaan. Ketika Kolano (Sultan Tidore) memulai ekspedisi maritim Honge, Tauisa bertugas membuka tali kapal—prosesi yang dalam dialek lokal disebut pandara. Mekanisme pembukaan tali bukan tindakan teknis semata, tetapi gestur simbolik yang menandai dimulainya mandat kosmopolitik kesultanan di wilayah laut dan pulau-pulau persekutuan (Fraassen, 1987; Andaya, 1993).

 

Di dalam struktur kapal, posisi mereka berada pada hariyoma/oti ma yoma, ruang khusus bangsawan adat yang mengemban amanah langsung dari kesultanan. Secara gelar, kedudukan Tauisa masuk kategori Gimalaha, dengan dastari hitam sebagai pakaian kebesaran—warna yang dalam tradisi Tidore dipahami sebagai lambang kewibawaan, kesetiaan, dan legitimasi kuasa (Amiruddin, 2012).

 

Konstruksi sosial Tomalou memperlihatkan beberapa pola penting. Pertama, identitas kampung dibangun melalui ekologi dan ingatan ruang, bukan semata ikatan darah. Kedua, status pendatang bukan stigma, melainkan kategori yang bisa dinegosiasikan lewat mandat adat, perkawinan, dan tugas sosial. Ketiga, struktur adat membedakan wilayah kuasa esoterik (Hakekat) dan normatif (Syareat) sebagai sistem keseimbangan sosial. Keempat, laut tidak hanya menjadi ruang nafkah, tetapi medium spiritual dan legitimasi politik, terutama bagi marga yang memiliki mandat maritim seperti Tauisa.


Tomalou dengan demikian bukan kampung pinggiran sejarah, tetapi simpul perjumpaan pelaut, ulama, pedagang, jaringan diaspora Banda, dan orbit kekuasaan Tidore. Di sini, agama, adat, pelayaran, dan genealogis tidak berdiri terpisah, melainkan saling mengunci dan membentuk nalar sosial masyarakat hingga kini.

 

 

Sumber Informan: Karim Gamsoro dan Abdullah Dahlan

 


Share:
Komentar

Terkini