Tuan Guru Tidore: Tokoh Revolusioner dan Inspirator Islam di Afrika Selatan

Editor: Irfan Ahmad author photo

Sketsa Tuan Guru mengajarkan anak-anak baca-tulis Al-Qur'an di Madrasah, Afrika Selatan. Sumber Foto: Kolesi Mukhlis PaEni, 2024.

Siang itu saya bertemu dengan Samsul Arifin Faaroek, yang akrab dipanggil UL. Di sela-sela acara, kami bersama beberapa kawan menyeruput kopi Dabe khas Tidore sambil berbincang tentang sejumlah manuskrip lama yang dimiliki ayahnya, M. Amin Faaroek. UL sendiri merupakan generasi kedelapan dari Tuan Guru, Abdullah bin Qadhi Abdussalam—ulama besar Tidore yang pernah diasingkan ke Cape Town, Afrika Selatan. Pertemuan hangat itu terasa istimewa dan membawa banyak hal berarti.
 
Seolah kebetulan yang menyenangkan, di tengah percakapan itu saya mendapat pesan melalui gawai dari guru saya, Prof. Mukhlis PaEni. Beliau mengabarkan bahwa ia sedang berziarah ke makam Tuan Guru di Cape Town. “Tuan Guru adalah salah satu tokoh Islam terkemuka di Afrika Selatan yang berasal dari Tidore,” tulisnya singkat. Ia dikenal luas sebagai pelopor penyebaran Islam di kawasan tersebut. Percakapan kami berlanjut, dan beliau meminta saya menelusuri sumber-sumber primer dari keluarga dan arsip kolonial yang mungkin masih bisa diakses. Hal ini penting, karena Tuan Guru adalah seorang ulama dan cendekiawan Muslim yang dideportasi oleh VOC pada 1780—bukan semata karena alasan politik, melainkan juga karena pengaruh besarnya sebagai bangsawan Tidore dan guru spiritual Sultan Mohammad Jamaluddin (1757–1779).

Makam Tuan Guru (Abdullah bin Qadi Abdussalam) terletak di Tanah Perkuburan Islam Tana Baru di Bo-Kaap, Cape Town, Afrika Selatan. Bo-Kaap adalah kawasan bersejarah yang menjadi pusat komunitas Muslim Cape Town, dan Tanah Perkuburan Tana Baru adalah salah satu pemakaman Muslim tertua di kota tersebut. Makam Tuan Guru menjadi tempat ziarah bagi banyak orang, terutama umat Muslim, yang menghormati jasa dan pengabdiannya dalam penyebaran Islam di Afrika Selatan. Tana Baru tidak hanya menjadi situs sejarah yang penting tetapi juga simbol perlawanan komunitas Muslim Cape terhadap diskriminasi dan penjajahan kolonial. Sumber Foto: Kolesi Mukhlis PaEni, 2024. 

Di pengasingan dan dalam penjara jauh dari tanah kelahirannya, Tuan Guru tidak gentar. Semangat juangnya tetap menyala. Selama masa pemenjaraan, ia menulis karya monumental berjudul Ma‘rifat al-Islam wa al-Iman—sebuah rangkuman pengetahuan Islam yang mencakup hadis, fikih, tasawuf, doa, jimat, transkripsi bagian-bagian Al-Qur’an, dan pembahasan akidah. Karya itu menjadi bukti kecerdasan dan ketajaman ingatan Tuan Guru, sekaligus menunjukkan pondasi keilmuannya yang mendalam. Pengetahuan tersebut kelak menjadi sumbangan besar bagi komunitas Muslim di Afrika Selatan.

Dari dedikasi dan pengaruhnya, ia kemudian dihormati dengan gelar “Syekh” dan dikenal luas dengan sebutan “Tuan Guru” (Guru Besar). Ia adalah ulama, qadhi, dan hafiz Al-Qur’an yang memainkan peran penting dalam perkembangan Islam di Cape Town pada abad ke-18. Tuan Guru menjadi tokoh sentral dalam membangun kehidupan beragama komunitas Muslim yang saat itu terdiri dari budak, tahanan politik, dan para buangan dari wilayah-wilayah kekuasaan VOC. Di tangan dialah fondasi intelektual dan spiritual Islam di Afrika Selatan mulai bertumbuh.

Inspirasi Sejarah: Tuan Guru dan Nelson Mandela
Pulau Robben (Robben Island) adalah sebuah pulau kecil di lepas pantai Cape Town, Afrika Selatan. Letaknya berada di Teluk Table, sekitar tujuh kilometer dari daratan utama, dan dapat dicapai dengan feri dari V & A Waterfront. Dalam sejarah Afrika Selatan, pulau ini dikenal luas sebagai tempat pemenjaraan tokoh-tokoh penting yang menentang kekuasaan kolonial VOC.

Namun, Pulau Robben bukan sekadar lokasi penahanan. Ia juga menjadi simbol ketabahan, harapan, dan perjuangan panjang menuju kebebasan. Di sinilah Tuan Guru pernah dipenjara—di tempat yang, dua abad kemudian, juga menahan Nelson Mandela. Perjalanan hidup Mandela memang tidak secara langsung terinspirasi oleh Tuan Guru, tetapi ada jejak paralel yang menarik dalam kisah keduanya. Mereka sama-sama berdiri sebagai simbol perlawanan terhadap penindasan dan menggunakan pendidikan sebagai alat perjuangan.

Bagi Tuan Guru, pendidikan adalah jalan untuk membangkitkan martabat komunitas Muslim di Cape Town. Ia mendirikan madrasah pertama di Afrika Selatan, menulis ulang Al-Qur’an dari hafalannya sebagai penguatan spiritual, dan memimpin komunitas Muslim untuk mempertahankan identitas mereka di tengah tekanan kolonial. Semua itu menjadi bentuk perlawanan yang halus namun sangat kuat.

Sementara itu, Nelson Mandela percaya bahwa pendidikan memiliki kekuatan mengubah dunia. Masa pemenjaraannya ia manfaatkan untuk belajar, berdiskusi, dan menanamkan nilai-nilai kebebasan serta persamaan kepada para tahanan lainnya. Setelah bebas, ia memimpin perjuangan melawan apartheid, memperjuangkan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh rakyat Afrika Selatan.

Memang tidak ada bukti langsung bahwa Mandela secara khusus terinspirasi oleh Tuan Guru. Namun kisah Tuan Guru adalah bagian dari sejarah panjang perlawanan terhadap penindasan di Afrika Selatan—sebuah narasi kolektif yang memberi kekuatan bagi generasi-generasi berikutnya. Mandela, sebagai pemimpin yang peka terhadap sejarah bangsanya, hampir pasti mengenal warisan perjuangan para pendahulu, termasuk jejak langkah seorang ulama dari Tidore: Tuan Guru.

Mengenal Tuan Guru
Berdasarkan sejumlah catatan keluarga, Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam lahir di Toloa, Tidore, pada 1109 Hijriah (1697 M). Semasa kecil ia disapa “Abdu”—yang berarti hamba, sehingga namanya, Abdullah, bermakna “Hamba Allah”. Ayahnya adalah Qadhi Abdussalam, sedangkan ibunya, Boki Nurul Inayah Dano Syaifuddin, merupakan istri ketiga. Dari pernikahan ini lahir tiga anak: Abdurrauf, Huhiddin, dan Abdullah.

Sumber lain, seperti dicatat Morton (2018), menyebutkan bahwa ibu Tuan Guru bernama Boki Nuriniyah dan bahwa ia memiliki lima saudara. Perbedaan ini lumrah dalam tradisi lisan keluarga tua di Maluku. Tuan Guru adalah cicit dari Habib Umar Rahmat al-Faruq—keturunan Sultan Maroko yang silsilahnya tersambung hingga Nabi Muhammad SAW (tercantum dalam prasasti makam Tuan Guru di Tana Baru, Bo-Kaap, Cape Town). Habib Umar sempat singgah di Cirebon sebelum tiba di Tidore pada 1646. Keluarga besar ini dikenal sebagai habib, qadhi, dan guru tarekat, tradisi keilmuan yang terus diwariskan turun-temurun.

Sejak kecil, Tuan Guru tumbuh dalam lingkungan yang sangat menekankan pendidikan agama. Ayah, ibu, paman, dan kakeknya menjadi guru pertama yang membentuk akhlaknya. Ia belajar di rumah, di masjid, dan di tempat mengaji. Di luar rumah pun lingkungan sosial Tidore sangat menjunjung tinggi pendidikan Islam, sehingga nilai-nilai agama mengiringi masa kecilnya. Pada sekitar tahun 1760—ketika usianya diperkirakan sekitar 15 tahun—Abdullah menikah. Catatan keluarga yang dihimpun Djafar Idrus Faaroek (1950) menyebutkan bahwa ia menikah tiga kali dan dikaruniai 13 anak.

Penangkapan Tuan Guru
Pemerintahan Sultan Mohammad Jamaluddin (1757–1779) adalah periode sulit bagi Kesultanan Tidore. Sultan Jamaluddin menolak tunduk pada VOC, sehingga tekanan politik dan ekonomi dari Belanda semakin keras. Sistem monopoli rempah VOC melemahkan masyarakat yang hidup dari pertanian, perikanan, dan perdagangan cengkih. Meskipun Tidore adalah salah satu kesultanan penting di Maluku Utara, VOC menempatkannya dalam posisi subordinat. Persaingan lama antara Tidore dan Ternate juga sering dimanfaatkan Belanda untuk memperlemah keduanya.

Pada 20 Juni 1768, Jamaluddin terpaksa melepaskan hak-hak Tidore atas Seram Timur dan kepulauan sekitarnya kepada VOC melalui Acte van Cessie. Langkah ini bukan sekadar penyerahan wilayah, tetapi juga bagian dari strategi VOC menghukum penduduk Seram Timur yang dianggap tidak patuh. VOC menuduh Jamaluddin berada di balik meningkatnya perdagangan rempah dan aktivitas bajak laut di Raja Ampat dan Halmahera Timur, serta menjalin kontak dengan orang Mangindanao. Sultan Jamaluddin kemudian ditangkap, dibawa ke Batavia, dan wafat pada 1779.

Kepergian sang Sultan memicu gelombang protes dan perlawanan di sejumlah wilayah: Tidore, Halmahera (Weda, Patani, Maba), Seram Timur, Kei, hingga Raja Ampat. VOC bergerak cepat meredam perlawanan. Di Tidore, sejumlah tokoh Islam ditangkap: Imam Abdullah (Tuan Guru), Callie Abdol Rauf, Noro Imam, dan Badrodien. Mereka kemudian diasingkan ke Cape Town sebagai tahanan negara. Banyak rakyat Tidore lainnya dipenjara di Benteng Oranje atau dibuang ke Batavia atas tuduhan pemberontakan. Pada abad ke-17 dan ke-18, VOC memang kerap mengasingkan tokoh yang dianggap mengancam ekspansinya ke pos-pos jauh seperti Cape Town. Tuan Guru termasuk salah satu dari orang buangan ini. Ia dipenjara di Robben Island sejak 6 April 1780 hingga 1793.


Dedikasi dan Pengabdian Tuan Guru

Di pengasingan, Tuan Guru tidak larut dalam keterpurukan. Ia justru memanfaatkan masa pembuangannya untuk menguatkan iman komunitas Muslim Cape Town—yang saat itu terdiri dari budak, bekas budak, dan pendatang dari wilayah jajahan VOC.


Di Robben Island, ia menyalin Al-Qur’an secara lengkap dari hafalannya. Naskah ini menjadi simbol ketekunan spiritual dan sarana pendidikan bagi umat Muslim setempat. Selama 13 tahun dipenjara, ia menghasilkan berbagai karya keislaman. Setelah dibebaskan pada 1793, pihak Belanda tidak memberi syarat apa pun.


Menurut A. Davids (1985), Tuan Guru menguasai berbagai disiplin ilmu Islam: Al-Qur’an, hadis, akidah, fikih, dan tasawuf. Karyanya yang paling monumental selama di penjara adalah sebuah buku yurisprudensi Islam berjudul Umm al-Barāhīn atau Ma‘rifat al-Iman wa al-Islam, tebal 613 halaman, ditulis pada 1781 dalam aksara Arab berbahasa Melayu dan Portugis. Buku ini menjadi pegangan utama komunitas Muslim Cape pada abad ke-19 dan membentuk pandangan dunia mereka selama berabad-abad.


Setelah bebas, perhatian pertama Tuan Guru adalah mendirikan madrasah—sekolah Muslim pertama di Cape Town. Auwais Rafudeen (2007) menegaskan bahwa ia adalah tokoh paling penting dalam pendidikan formal Islam di kawasan itu. Madrasah ini dibuka di sebuah gudang milik Coridon dari Ceylon di Dorp Street. Pada 1807 sekolah ini telah memiliki 375 murid, sebuah perkembangan yang membuat otoritas Inggris memperhatikannya secara serius.

Tongkat Tuan  Guru yang tersimpan di Masjid Masjid Auwal, Cape Town, Afrika Selatan. Sumber Foto: Kolesi Mukhlis PaEni, 2024. 


Selain mendirikan madrasah, Tuan Guru memperjuangkan pembangunan masjid. Meskipun permintaan awalnya ditolak, ia tetap memimpin salat berjemaah di ruang terbuka di bekas tambang batu Jalan Chiappini. Ketika Inggris menguasai Cape Town pada 1795, Gubernur Craig memberi izin pendirian masjid. Gudang di samping rumah Coridon kemudian diubah menjadi Masjid Auwal—masjid pertama di Afrika Selatan—yang sampai kini berdiri di Jalan Dorp. Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat pembelajaran dan kebudayaan Islam.

Tuan Guru mengajarkan Al-Qur’an, fikih, dan ilmu agama lainnya kepada masyarakat Muslim setempat. Ia juga berperan menyatukan berbagai kelompok Muslim: budak Afrika, tahanan Asia, hingga penduduk lokal, menjadi komunitas yang utuh dan berakar kuat. Ringkasan Umm al-Barāhīn kemudian menjadi teks dasar madrasah, dikenal sebagai “twintig sifat”—dua puluh sifat Allah—yang sangat populer dan bertahan hingga 1960-an.

Masjid Tuan Guru di Afrika Selatan, yang dikenal sebagai Masjid Auwal dibangun pada 1794 di distrik Bo-Kaap, Cape Town, Afrika Selatan yang kemudian menjadi pusat aktivitas Muslim di wilayah tersebut.  Sumber Foto: Kolesi Mukhlis PaEni, 2024. 

Warisan Tuan Guru
Tuan Guru dikenang sebagai pelopor Islam di Afrika Selatan dan simbol perlawanan spiritual terhadap kolonialisme. Masjid Auwal, madrasah, serta tradisi keilmuan yang ia bangun terus hidup hingga kini. Kontribusinya dalam membentuk identitas Muslim Cape Town sangat besar, terutama di tengah dominasi kolonial Belanda. Ia wafat pada 1807. Namun warisannya—dalam bentuk ilmu, lembaga pendidikan, karya tulis, dan komunitas yang ia bangun—terus mewarnai kehidupan Muslim Afrika Selatan hingga hari ini.

Beberapa koleksi Al-Qur'an yang terkait dengan Tuan Guru, khususnya manuskrip yang ditulis tangan, dapat ditemukan di Masjid Auwal dan beberapa institusi sejarah Islam di Cape Town, Afrika Selatan.  Sumber Foto: Kolesi Mukhlis PaEni, 2024. 



Share:
Komentar

Terkini