Ketika Sejarah Dilupakan: Sengketa Sepihak Pulau Sain, Piyai, dan Kiyas

Editor: Irfan Ahmad author photo

Pulau Gebe
, secara administratif, termasuk dalam Kecamatan Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Halmahera Tengah Tahun 2012–2023 dan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Kabupaten Halmahera Tengah 2023–2026, Pulau Gebe tercatat memiliki delapan pulau di sekitarnya. Dari delapan pulau tersebut, hanya dua yang berpenghuni, yakni Pulau Gebe dan Pulau Yoi. Sementara itu, Pulau Fau, Pulau Piyai, Pulau Sain, Pulau Tapau Pial (Piyal), Pulau Tapau Kali, dan Pulau Uta merupakan pulau-pulau yang tidak berpenghuni, tetapi tetap menjadi bagian dari wilayah administrasi Halmahera Tengah. 

Beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh klaim sepihak dari Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya yang menyatakan bahwa tiga pulau—Pulau Sain, Pulau Piyai, dan Pulau Kiyas—merupakan bagian dari wilayah mereka. Padahal, secara historis maupun administratif, ketiga pulau tersebut telah lama menjadi bagian dari Halmahera Tengah. Sejak ratusan tahun lalu, wilayah ini berada di bawah kekuasaan Kesultanan Tidore. Bahkan wilayah yang kini dikenal sebagai Papua Barat Daya, termasuk Raja Ampat, dahulu juga merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore.

 

Perlu dicatat bahwa klaim atas ketiga pulau ini bukan hal baru. Isu serupa pernah mencuat pada tahun 2011, namun telah diselesaikan oleh pemerintah pusat. Berdasarkan keputusan Kementerian Dalam Negeri pada tahun 2012 dan 2013, Pulau Sain, Pulau Piyai, dan Pulau Kiyas secara sah dan administratif masuk dalam wilayah Desa Umiyal, Kecamatan Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara. Keputusan ini kemudian ditegaskan kembali melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 050-145 Tahun 2022 serta diperkuat oleh Keputusan Badan Informasi Geospasial (BIG) Nomor 51 Tahun 2021 tentang Rupa Bumi Indonesia.

Bila kita meninjau dari perspektif sejarah, fakta-fakta ini tidak dapat dibantah. Pulau Sain, Pulau Piyai, dan Pulau Kiyas secara sah adalah bagian dari wilayah Halmahera Tengah, Provinsi Maluku Utara, dan sejak dahulu berada di bawah otoritas Kesultanan Tidore. Ini bukan sekadar klaim, tetapi didukung oleh catatan sejarah dan dokumen resmi yang dapat diverifikasi.

 

Hamlan Kamaluddin, seorang polisi asal Patani, pernah berbagi cerita dalam diskusi grup WhatsApp tentang Pulau Sain dan Pulau Piyai. Ia menjelaskan bahwa kedua pulau ini merupakan bagian dari deretan gugusan pulau-pulau yang berada di perbatasan Kecamatan Patani dan Kecamatan Gebe, wilayah yang sudah lama memiliki ikatan historis dan emosional dengan masyarakat Patani.

 

Bagi orang Gemia, Patani, pulau-pulau ini bukan sekadar tempat singgah, melainkan ruang hidup yang menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari. Selain berkebun, mereka kerap memancing ikan di sekitar Pulau Sain dan Piyai karena perairannya yang kaya dengan ikan, menjadi sumber pangan sekaligus ruang rekreasi bagi mereka yang berlayar dengan perahu kecil di pagi atau sore hari.


Hamlan juga menjelaskan makna nama Pulau Sain dalam bahasa Patani. Kata “Sa” berarti nyare, sementara “In” berarti ikan, sehingga Pulau Sain dapat diartikan sebagai “Pulau banyak Ikan”—sebuah nama yang lahir dari hubungan erat antara manusia dengan laut. Sementara itu, Pulau Piyai dalam bahasa Patani memiliki arti “Buaya”. Bukan karena pulau tersebut dipenuhi buaya, tetapi karena bentuknya yang memanjang menyerupai buaya jika dilihat dari perahu yang mendekat. Cerita ini dibenarkan oleh Usman Guanen, yang mengomentari unggahan diskusi sejarah di akun pribadi facebook saya. Sekalipun dalam diskusi tersebut tidak menyebut dan mengartikan secara spesifik Pulau Kiyas, bukan berarti pulau ini dapat dipisahkan dari ikatan sejarah dan ruang hidup masyarakat setempat. Pulau Kiyas, sebagaimana Pulau Sain dan Piyai, adalah bagian dari satu kesatuan gugusan Pulau Gebe yang secara geografis dan historis telah lama terhubung dengan wilayah Patani dan Gebe.

Sebagai bagian dari masyarakat yang menghargai sejarah, kita perlu menegaskan bahwa mengaburkan fakta sejarah demi kepentingan tertentu adalah tindakan yang merugikan publik dan mengancam keutuhan pengetahuan kolektif bangsa ini. Klaim sepihak tanpa dasar sejarah yang kuat tidak hanya menyalahi fakta, tetapi juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap kebesaran sejarah maritim dan politik Kesultanan Tidore yang telah menjaga wilayahnya dengan keterhubungan sosial dan jalur rempah yang membentang hingga ke wilayah Papua dan Seram.

 

Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya perlu membaca kembali sejarah dengan saksama sebelum membuat klaim yang tidak berdasar. Sejarah bukanlah milik satu generasi, dan wilayah bukanlah ruang kosong yang dapat diklaim begitu saja. Di balik setiap pulau, ada jejak langkah sejarah yang telah dilalui oleh para leluhur, yang menjadikannya bagian dari kisah panjang yang harus kita rawat dan hormati bersama.

Gambar: Wilayah Kesultanan Ternate dan Tidore. Sumber: A.H. Keane, Published, Empires of Ternate and Tidore. The Universal Geography J.S. Virtue & Co., London, 1885.

Pulau Gebe dalam Sejarah: Jejak Tidore di Lautan Timur

Pulau Gebe dahulu disebut Pulau Guebee, adalah sebuah titik kecil di lautan luas, tetapi ia menyimpan jejak langkah para leluhur dan cerita panjang tentang bagaimana Kesultanan Tidore menata wilayah kekuasaannya di timur Indonesia.

 

Kala itu, Al Mansur baru saja dilantik sebagai Sultan Tidore pada 1512. Ia masih muda, tetapi di pundaknya terletak beban ingatan para leluhur. “Ingatlah, wilayah Tidore sampai ke Pulau "Janggi,” begitu kira-kira pesan yang diwariskan kepadanya. Pulau Janggi—yang kini kita kenal sebagai Papua—telah menjadi bagian dari Tidore sejak abad IX, pada masa Sultan Muhammad Nakel. 

 

Beberapa bulan setelah dilantik, Sultan Al Mansur menerima kabar bahwa Kesultanan Ternate mengirimkan ekspedisi dari klan Tomaito dan Tomagola ke wilayah Sula dan Ambon untuk memperluas pengaruh mereka. Merespons situasi ini, Sultan Al Mansur memerintahkan pelaksanaan adat kesultanan Tidore,  lufu daera se toloko, yang berarti kunjungan wilayah kekuasaan, menuju Pulau Janggi.


Persiapan perjalanan dilakukan dengan cermat, mulai dari logistik hingga perlengkapan rombongan. Rute lufu daera se toloko bergerak dari Tidore menuju Weda, Patani, dan dilanjutkan ke Pulau Janggi. Tetapi laut kadang punya cara sendiri untuk menguji tekad manusia. Ombak besar dan badai memaksa mereka menepi, dan di tengah kabut yang menggantung di laut, seorang lelaki di perahu menunjuk ke utara. “Kie…!” teriaknya, matanya memicing, menatap sebuah bayangan pulau di kejauhan. “Be…?” sahut seorang lainnya, “Mana?” “Ge…!” jawabnya, “Itu.” Dari percakapan singkat itulah nama “Gebe” lahir—sebuah penamaan sederhana namun penuh makna“Itu pulau”  (Sulistiono dkk.2016).

 

Rombongan lufu daera se toloko pun menepi. Pulau itu masih sunyi dengan tebing-tebing batu dan hutan lebat yang menghadap laut. Namun di Bukit Eleua, Sultan Al Mansur dan rombongannya mendapati sebuah pemandangan tak terduga, sekelompok orang yang tinggal di gua batu, menyalakan api di dekat mulut gua untuk memasak umbi-umbian. Mereka adalah klan Watefwagya, terbagi menjadi dua kelompok—Watef dan Wagya—yang sama-sama berasal dari satuleluhur, Giafat.

 

Dalam sebuah pertemuan di tepi pantai, Sultan Al Mansur berbicara dengan pemuka mereka. “Pulau ini akan menjadi bagian dari Kesultanan Tidore,” ujar Sultan. Tidak ada paksaan, tidak ada pedang yang dihunus, hanya sebuah penegasan dan kesepakatan untuk saling menjaga. Sejak hari itu, Pulau Gebe resmi menjadi bagian administrasi Kesultanan Tidore, menjaga garis jalur rempah dan kekuasaan yang membentang hingga ke Timur.

 

Keesokan harinya, angin kembali tenang, layar perahu mereka terisi penuh, membawa rombongan Sultan Al Mansur melanjutkan perjalanan ke Pulau Janggi. Di sana, Sultan disambut oleh para pemimpin lokal, dan sebuah pemerintahan tradisional dibentuk sebagai perpanjangan tangan Kesultanan Tidore. Untuk menjaga kedamaian, Sultan Tidore tidak hanya meninggalkan simbol kekuasaan tetapi juga merancang sistem pemerintahan Raja Ampat: Kolano Fat dari Waigeo, Waigama, Misol, dan Salawati dilantik untuk memimpin dengan fara se filang (otonomi khusus). Dewan Raja Ampa(t)dibentuk, dengan jabatan-jabatan adat yang mengikat dan menata harmoni. Klan Metawai sebagai Jojau, Umalelen sebagai Gimalaha, Gemor sebagai Sowohi, Ula sebagai Sadaha, dan Umples sebagai Mahimo Lamo (Rahman, 2006; Ahmad, 2019).

 

Langkah-langkah ini adalah cara Kesultanan Tidore menjahit kembali hubungan di wilayah maritimnya. Bukan semata-mata dengan panji dan pedang, melainkan dengan dialog, penataan struktur adat, dan penghargaan pada keberagaman komunitas setempat.

 

Karena itulah Pulau Gebe dan Raja Ampat bukan sekadar titik di peta. Ia adalah saksi tentang bagaimana sebuah kerajaan menjaga wilayahnya dengan cara menghormati mereka yang lebih dulu menjejakkan kaki di sana—dengan kesepakatan, dengan saling pengertian, dan dengan semangat menjaga ruang hidup bersama di lautan rempah Nusantara.

 

Pulau Gebe dalam Catatan VOC

Tahun 1702,  Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) mengirim ekspedisi pertamanya ke Patani untuk mengamati kawasan Gam Range—yang mencakup Weda, Maba, dan Patani—serta mengumpulkan informasi wilayah. Masyarakat Pulau Gebe, yang berada dekat Patani, dianggap sebagai bagian dari Gam Range karena kedekatan geografis. Catatan VOC menunjukkan bahwa masyarakat Gebe turut serta dalam beberapa serangan bersama pasukan Gam Range.

 

Meskipun secara administratif Pulau Gebe tidak termasuk Gam Range, hubungan antara Gebe dan Patani terjalin erat. Bagi Kesultanan Tidore, Gebe menjadi salah satu “tempat harta karun” karena banyaknya ambergris (zat lilin dari paus sperma) yang ditemukan di perairannya. Walau tidak subur dan memiliki garis pantai yang tertutup, nilai strategis dan ekonominya penting bagi Kesultanan Tidore.

 

Sumber VOC juga mencatat bahwa Sangaji Gebe berperan sebagai pengumpul upeti dari pulau-pulau di Papua untuk Sultan Tidore, menunjukkan pentingnya posisi Gebe hingga akhir abad XIX. Dalam ekspedisi VOC kedua tahun 1706, dilaporkan terdapat tiga permukiman di sisi utara Pulau Gebe. Masyarakat di sana telah memeluk Islam, meskipun sebagian masih mempraktikkan kepercayaan lokal. Tercatat terdapat sekitar empat hingga lima ratus pria dewasa yang dapat dipersenjatai dari ketiga kampung tersebut (Andaya, L.Y., 1993).

 

Pulau Sain, Piyai, dan Kiyas dalam Jejak Peta Administrasi 

Pada abad XIX Pemerintah Kolonial Belanda mulai menata administrasi wilayah Maluku dan Halmahera dengan lebih terstruktur. Setelah Karesidenan Ternate dibentuk pada 1866, pemerintah kolonial mendirikan onderafdeeling di wilayah Halmahera, yang meliputi bekas wilayah Kesultanan Tidore, Ternate, dan Bacan. Wilayah ini dipimpin oleh seorang gezaghebber—yang biasanya dijabat oleh komandan detasemen militer yang berkedudukan di Weda. Onderafdeeling ini kemudian dibagi menjadi lima distrik, dengan Weda sebagai ibu kota distrik, termasuk wilayah kepulauan Gebe.

 

Penataan ini didasarkan pada Kaart van een gedeelte der Molukken yang dibuat oleh Musschenbroek, S.C.J.W. van (1827–1883), untuk mendokumentasikan perjalanan H.A. Bernstein dari Ternate menuju Salawati dan Nieuw-Guinea pada 18 Oktober 1864 hingga 19 April 1865. Dalam peta tersebut terlihat jelas bahwa Gebe-eilanden terdiri dari Pulau Guebee (Gebe), Pulau Eow (Saoe/Yoi), Pulau Gagi (Gag), hingga Pulau Siang (Sain), dan Pulau Oog (Piyai).

Gambar: Kaart van een gedeelte der Molukken1827-1883.

Catatan lain muncul dalam Militaire Memorie Ressort Weda yang ditulis oleh Letnan 1 Infanteri Drejer dan Drost (1924). Dalam peta Halmahera berskala 1:300.000 tersebut disebutkan bahwa wilayah seperti Weda, Pulau Sayafi, Pulau Gag, hingga pulau-pulau kecil tak berpenghuni di sebelah timur Pulau Gebe dianggap sebagai milik raja atau sultan. Wilayah-wilayah ini disebut sebagai dusun raja, dengan hasil hutan seperti sagu, rotan, dan buah pinang yang disetorkan ke kas Kesultanan Tidore.

Gambar: Peta Halmahera berskala 1:500.000.

Pada 1932, Residen Ternate, C.C. Ouwerling, dalam Memorie van Overgave (MVO), menerbitkan sketsa peta wilayah Kesultanan Tidore yang masih mempertahankan Gebe-eilanden dengan tiga pemukiman utama: Senafi, Oemera, dan Oemyal. Dalam sketsa tersebut, Gebe-eilanden digambarkan bersama Pulau Gag, membentang hingga Pulau Lae (Siang/Sain), dengan penegasan garis merah pada peta yang menunjukkan wilayah dari Weda, Maba, Patani, Gebe, hingga Raja Ampat sebagai bagian dari Kesultanan Tidore sesuai legenda peta.

Gambar: Nama-Nama Distrik Tidore di Halmahera dan Pulau Gebe, 1932.

Setahun kemudian, pada 1933, Pemerintah Belanda kembali menerbitkan Peta Halmahera berskala 1:500.000. Gebe-eilanden masih digolongkan ke dalam distrik Maba dan Gebe, dengan wilayah pulau yang konsisten sejak peta tahun 1827, 1883, 1924, hingga 1932. Meskipun peta ini tidak selalu mencantumkan nama pulau atau dusun secara detail, garis merah pada peta tetap menegaskan bahwa wilayah tersebut berada dalam kekuasaan Kesultanan Tidore, membentang dari Weda hingga Raja Ampat.

Gambar: Peta Halmahera, berskala 1: 500.000. 1933.

Masa Kemerdekaan dan Penegasan Kembali Wilayah

Setelah Indonesia merdeka dan Irian Barat kembali ke pangkuan Republik, penataan wilayah dilakukan melalui Undang-Undang Darurat Nomor 20 Tahun 1957 tentang perubahan pembentukan Daerah Otonom Provinsi Irian Barat. Dalam penataan ini, wilayah Provinsi Maluku disusun ulang sebagai berikut: 1) Kewedanan Tidore, yang meliputi distrik Tidore, Oba, dan Wasilei; 2) Kewedanan Weda, yang meliputi distrik Weda, Maba, dan Patani-Gebe.

Penegasan wilayah ini juga diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, dengan alasan bahwa Irian Barat dan pulau-pulau sekitarnya sejak ratusan tahun lalu merupakan wilayah Kesultanan Tidore. Presiden Soekarno menetapkan Sultan Zainal Abidin Syah sebagai Gubernur Sementara Provinsi Perjuangan Irian Barat pada 23 September 1956 di Soa-Sio, Tidore, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 142 Tahun 1956. Penetapan ini diperkuat kembali melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 220 Tahun 1961 tanggal 4 Mei 1962, yang menetapkan Zainal Abidin Syah sebagai gubernur tetap Provinsi Irian Barat periode 1956–1961.

 

Hingga masa pemerintahan Sultan Zainal Abidin Syah berakhir, wilayah administrasi Pulau Gebe tetap tercatat memiliki delapan pulau, termasuk tiga pulau—Pulau Sain, Piyai, dan Kiyas—yang saat ini diklaim sepihak oleh Provinsi Papua Barat Daya tanpa dasar sejarah dan dokumen yang sah.

Gambar: Peta Wilayah Administrate Kabupaten Halmahera Tengah, 2022.

Menghormati Jejak Sejarah untuk Masa Depan

Pulau Sain, Piyai, dan Kiyas di Gebe, bukan hanya sebuah pulau kecil di antara gelombang Samudra Pasifik, melainkan simpul sejarah panjang jalur rempah, jalur migrasi, dan penataan ruang politik Kesultanan Tidore yang diakui hingga masa Republik Indonesia. Klaim wilayah tanpa dasar sejarah yang sah bukan hanya kesalahan administratif, tetapi juga bentuk pengingkaran terhadap ingatan kolektif kita sebagai bangsa maritim.

 

Dalam memahami Pulau Gebe, kita diajak belajar bagaimana sebuah ruang hidup di lautan timur Indonesia menjadi saksi keterhubungan antara kerajaan Tidore dengan dunia yang lebih luas—bahwa sejarah bukan hanya milik masa lalu, tetapi juga panduan untuk keadilan penataan wilayah hari ini.


 

Share:
Komentar

Terkini