Namun, pernahkah kita bertanya dari mana semua ini bermula? Tanaman kopi sebenarnya telah diperkenalkan sejak lama, menjamur ke berbagai pelosok dunia, dan kini menjadi salah satu komoditas paling digemari serta memiliki jumlah penikmat terbesar di seluruh dunia.
Tanaman kopi merupakan komoditas global yang tidak hanya hadir sebagai minuman berkafein, tetapi juga sebagai simbol relasi kuasa, diplomasi, dan transformasi sosial. Jejak panjang kopi dapat ditelusuri ke dataran tinggi Ethiopia, di mana legenda Kaldi—seorang penggembala kambing yang melihat ternaknya menjadi lincah setelah memakan buah merah dari pohon kopi—menjadi kisah populer mengenai asal-usul tanaman ini (Wild, 2005).
Dari Ethiopia, biji kopi menyebar ke Jazirah Arab, khususnya Yaman, dan mulai dibudidayakan secara intensif sejak abad XV. Kota Mocha menjadi pusat perdagangan kopi dunia, memperkuat posisi Yaman sebagai simpul awal dalam jaringan sirkulasi kopi global (Pendergrast, 2010).
Kopi kemudian mengalami transformasi menjadi komoditas strategis dalam pusaran kapitalisme dan kolonialisme global. Di Nusantara, tanaman ini diperkenalkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1696, menggunakan bibit kopi yang dibawa dari Malabar, India. Meski upaya pertama mengalami kegagalan, percobaan kedua pada tahun 1699 berhasil. Hal ini membuka jalan bagi pengiriman kopi pertama dari Jawa ke Amsterdam pada tahun 1706 (Topik & Clarence-Smith, 2003). Keberhasilan itu memicu ekspansi besar-besaran budidaya kopi di wilayah koloni Belanda, termasuk ke kawasan timur yang sebelumnya lebih dikenal karena rempah-rempahnya, seperti Maluku Utara
Benih Diplomasi: Kopi di Masa Awal Kolonial
Tanaman kopi di Maluku (Utara) pertama kali tercatat dalam karya Francois Valentijn (1724), Oud en Nieuw Oost-Indieen. Dalam catatan tersebut, Valentijn menyampaikan informasi menarik tentang keberadaan beberapa pohon kopi di sekitar Benteng Mauritius di Pulau Makeang. Pada masa itu, kopi belum dibudidayakan secara massal. Kopi hadir sebagai tanaman eksklusif yang hanya dikonsumsi oleh kalangan elit kolonial.
Valentijn menyebut adanya “empat tak” (empat jenis) pohon kopi yang tumbuh di sekitar benteng tersebut. Ia menggambarkan tanaman ini sebagai tumbuhan yang indah dan menghijau, tampak mencolok dari arah pelabuhan Zeeburg. Keberadaan pohon kopi ini bukan hanya mencerminkan keindahan alam, tetapi juga menjadi simbol eksotisme dan prestise kolonial.
Namun lebih dari sekadar minuman, kopi mulai menempati ruang dalam diplomasi kolonial. Dalam surat resmi Gubernur Jenderal Maetsuycker kepada Sultan Mandarsyah (1648–1675), kopi dicantumkan sebagai bagian dari bingkisan kenegaraan bersama gula, anggur, dan air mawar (Valentijn 1724; Clercq 1890). Hal ini menandai status kopi sebagai barang mewah yang melekat dalam simbol-simbol kekuasaan dan hubungan antar-elite.
Perkembangan signifikan terjadi pada abad XIX, ketika sistem produksi kopi mulai melibatkan penduduk lokal. Dalam catatannya, Residen F.S.A. de Clercq (1890) menyebut bahwa di Ternate telah dibudidayakan kopi dan vanili, meskipun skalanya masih terbatas. Salah satu tonggak penting datang dari inisiatif pengusaha Belanda M.D. Duivenbode pada 1840-an, yang memperkenalkan sistem tanam berbasis kemitraan.
Melalui skema ini, masyarakat lokal menerima bibit kopi untuk ditanam dan dirawat. Hasilnya kemudian dibeli oleh pihak perusahaan dengan harga f 0,20 per pohon. Yang menarik, panen dilakukan langsung oleh perusahaan, sehingga masyarakat tidak menanggung biaya dan risiko panen. Ini mencerminkan bentuk awal ekonomi kemitraan kolonial—simbiotik namun tetap dikendalikan pusat.
Menurut data Koloniaal Verslag, pada tahun 1862 tercatat 25.358 pohon kopi dalam skema ini. Sepuluh tahun kemudian, jumlahnya meningkat sepuluh kali lipat menjadi 250.235 pohon dan menghasilkan 80 pikul kopi. Pada 1880, hasil panen mencapai 300 pikul (KV. 1862; 1875; 1880), menandakan integrasi yang semakin dalam antara ekonomi lokal dan pasar kolonial global.
Intervensi Negara dan Retaknya Struktur Lokal
Tapi gelombang pertumbuhan itu tak berlangsung lama. Awal 1880-an menjadi titik balik, ketika pemerintah kolonial mulai mengambil alih distribusi benih dan menghapus hak-hak istimewa bangsawan lokal atas kebun kopi. Kebijakan ini bertujuan melemahkan Kesultanan Tidore yang dianggap terlalu kuat dan otonom.
Pengambilalihan itu tidak sekadar berdampak agraris, melainkan mengguncang tatanan sosial dan ekonomi lokal. Posisi pedagang pribumi perlahan tergantikan oleh jaringan dagang Tionghoa yang lebih dekat dengan sistem kolonial. Di wilayah seperti Halmahera Timur dan Papua, perubahan ini menimbulkan dislokasi ekonomi dan hilangnya otoritas tradisional dalam perdagangan (KV. 1883).
Sementara itu di Ternate, kopi ditanam di kawasan Tongoli, Wattendorf, dan Sanoto, pada ketinggian 150 kaki di lereng-lereng gunung. Diperkirakan pada 1862 terdapat 30.000–40.000 pohon kopi. Jika ditanam dengan jarak lima meter, area ini setara dengan 75–100 hektare (Wijayengrono, 2009). Pada 1876, jumlah pohon meningkat menjadi 160.000, dan pada level Karesidenan Ternate mencapai 461.200 pohon (KV. 1877).
Penanaman kopi kemudian meluas ke wilayah Halmahera bagian utara, terutama di daerah Kao, Tobelo, dan Galela. Namun, upaya ini mengalami kegagalan akibat serangan hama dan desas-desus terhadap kebijakan pajak yang tinggi (Hovenkamp, 1931).
Salah satu permasalahan utama dalam budidaya kopi saat itu adalah serangan hama berupa kutu berwarna putih yang merusak daun tanaman. Oleh masyarakat setempat, hama ini dikenal dengan sebutan tapulang. Hama serupa juga sering ditemukan pada daun tanaman buah-buahan atau pohon keras lainnya (KV. 1862).
Bacan: Kapitalisme Perkebunan dan Jejak VOC Baru
Pulau Bacan menghadirkan narasi yang unik. Di sini, kapitalisme kolonial menampakkan wajahnya secara terang-terangan melalui Perusahaan Batjan Archipel Maatschappij (BAM) yang berdiri sejak 1882. Perusahaan ini kerap dijuluki “VOC baru” karena kekuasaan ekonominya yang begitu dominan. Mereka menyebut Bacan sebagai “Deli kedua”, merujuk pada kejayaan tembakau Deli di Sumatra (Crab, 1878).
BAM membuka sekitar 1.000 bahu lahan (setara ±7.000 hektare) di Pegunungan Sabella untuk kebun kopi. Dengan investasi awal f 250.000–f 300.000, mereka memproyeksikan keuntungan hingga 1.000% dalam sembilan tahun jika harga kopi tetap stabil (Wijayengrono, 2009). Coolhaas (1926) mencatat bahwa BAM tidak hanya mengelola kopi, tetapi juga kelapa, damar, karet, dan mutiara. Tahun 1924, hasil kebun kopi BAM mencapai 750 pikul—angka yang mencerminkan posisi mereka sebagai kekuatan ekonomi utama di kawasan.
Kisah kopi di Maluku Utara bukanlah kisah sederhana tentang tanaman perkebunan. Kopi adalah kisah tentang kekuasaan, kolonialisme, dan negosiasi sosial. Dari meja-meja diplomasi istana hingga ladang-ladang kopi di pegunungan Sabella, kopi menjadi saksi perubahan besar dalam sejarah lokal. Kopi menyimpan jejak intervensi kolonial, transformasi sistem produksi, dan pergeseran otoritas ekonomi.
Lebih dari itu, kopi menjadi instrumen kultural—mengikat relasi antara penjajah dan yang dijajah, antara elit dan rakyat, antara sejarah dan identitas. Di tengah gelombang globalisasi komoditas, kisah kopi Maluku Utara mengingatkan kita bahwa setiap cangkir kopi menyimpan narasi panjang tentang ruang, kuasa, dan perlawanan.