![]() |
| Gambar: Dalam Laporan Telegram Weintre, K.W (1947) erdapat adanya “Saerikat Iman dan Islam yang berorientasi pada “merah putih”. |
Jejak Spiritual Salahuddin
Setelah SI Merah dibubarkan pada 1928 Salahuddin masuk ke Partai Sarikat Islam Indonesia. Keterlibatannya berlanjut melalui Gabungan Politik Indonesia yang menjadi salah satu ruang konsolidasi tokoh pergerakan Maluku Utara. Organisasi tersebut menampung beragam aspirasi kemerdekaan dan menjadi tempat baru bagi mantan anggota PKI maupun SI Merah yang mencari wadah politik yang lebih aman. Aktivitas politik itu berlangsung bersamaan dengan masa pelariannya sebagai buronan kolonial yang dimulai sejak 1927. Sumber lisan menggambarkan periode pelarian sebagai ruang pendalaman Tarekat Qadiriyah. Beragam titik penyepian dikunjungi mulai dari Patani Gebe hingga wilayah Raja Ampat. Catatan Alfaroek, A (1998) menunjukkan jejak yang berpindah dari Gua Kapat Popo menuju Gua Yoi. Laporan Rahasia (Geheim—Rapport) yang dibuat oleh Komisaris Polisi Weintre, K.W, Klas-II. “Geheim—Rapport, Nomor. 24/G.R/Geh/1947. Membenarkan bahwa adanya gerakan islam dibeberapa titik, dan jere Somu Patani menjadi salah satu pusat ritual. Seluruh kegiatan tersebut menggambarkan pelarian yang didorong kebutuhan spiritual sekaligus upaya menghindari penangkapan.
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dari Pemerintah Kolonial menghadirkan gambaran berbeda dengan menyebut bahwa Salahuddin mengalami gangguan jiwa selama sepuluh tahun. Penilaian tersebut muncul dari pengamatan terhadap kebiasaan menyepi di gua dan kunjungan ke jere yang dianggap tidak lazim. Perbedaan pandangan ini memperlihatkan strategi kolonial dalam mereduksi wibawa seorang pemimpin yang dinilai membahayakan stabilitas kekuasaan Belanda. Dalam konteks ini praktik laku tarekat serta pengembaraan spiritual menjadi dasar pembentukan kekuatan batin yang menguatkan tekad perlawanan.
Pada pertengahan 1937 ketika situasi dinilai lebih aman Salahuddin bergerak ke Salawati dan bertemu Kepala Distrik Idris Soleman. Permintaan untuk membuka pengajian diterima tanpa hambatan. Dalam waktu singkat jumlah murid meningkat pesat. Para pengikut menyediakan kebutuhan hidup sehari-hari agar Salahuddin dapat memusatkan perhatian pada pengajaran agama. Perkembangan tersebut membuatnya dikenal luas di Salawati dan Misool sebagai pendakwah yang memperkuat tradisi Islam setempat. Kecintaan masyarakat kemudian memicu kecurigaan kepala distrik sehingga Salahuddin memilih berpindah ke Gebe pada Agustus 1937. Di sana ia menempati rumah Abdulkarim bin Abdulhamid yang menjabat sebagai imam setempat. Gebe menjadi ruang baru yang menghubungkan pengalaman politik panjang dengan pengaruh keagamaan yang dibentuk sejak masa belajar di Makkah. Pengajaran dasar agama dan pendalaman tarekat berpadu dengan pengalaman dalam Syarikat Islam (SI—Merah), Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), dan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) yang sama-sama mengajarinya cara membaca dinamika kolonial.
Seluruh perjalanan tersebut diperkaya oleh riwayat spiritual yang terbentuk selama lebih dari satu dekade pelarian. Zikir yang berlangsung di gua-gua Patani dan Gebe menyusun ketekunan batin yang berpindah dari satu jere ke jere lain dari Gua Kapat Popo menuju Gua Yoi hingga keramat Somu. Pengalaman tersebut memperkuat fondasi Tarekat Qadiriyah yang diwarisi dari leluhur dan menumbuhkan keyakinan bahwa penindasan kolonial tidak dapat dipisahkan dari perjuangan mempertahankan martabat manusia. Pada masa kolonial Belanda Tarekat Qadiriyah dikenal sebagai salah satu kekuatan yang menumbuhkan semangat jihad. Ajaran tasawuf yang menekankan kejernihan batin dan akhlak mulia menciptakan solidaritas keagamaan yang sulit dipatahkan. Para syekh dan guru tarekat memelihara gagasan jihad sebagai kewajiban untuk menentang ketidakadilan sehingga jaringan tarekat menjadi ruang komunikasi yang efektif bagi penyebaran semangat perlawanan.
Sejarah menunjukkan sejumlah tokoh tarekat yang menampilkan keteguhan itu. Salah satu yang paling dikenal adalah Tuan Guru Tidore Imam Abdullah bin Qadhi Abdussalam yang diasingkan ke Pulau Robben Afrika Selatan pada 1780 sampai 1793. Selama dalam pembuangan ia menyalin Alquran dan menulis teks keislaman berjudul Ummul Al Barahin atau Ma rifat wal Iman wal Islam sambil mengajar anak-anak Afrika membaca dan menulis Alquran. Pemerintah Afrika Selatan kemudian menempatkannya sebagai salah satu tokoh penting yang berjasa dalam sejarah pendidikan setempat.
Paeni, M (2025) menyebutnya sebagai guru sepanjang zaman dan simbol literasi yang mencerahkan generasi muda Afrika. Dalam penjelasan yang sama Paeni menegaskan hubungan keluarga antara Tuan Guru Tidore dan Salahuddin bin Talabuddin yang dikenal sebagai mursyid Tarekat Qadiriyah di Patani. Penjelasan tersebut menegaskan posisi Patani sebagai wilayah yang terhubung dengan jaringan Tarekat Qadiriyah mulai dari Patani Halmahera hingga Patani di Takalar Patani Minor di Kelantan serta Patani di Semenanjung Melayu Thailand Selatan. Seluruh wilayah ini membentuk jaringan religius yang memainkan peran penting dalam perlawanan antikolonial di Asia Tenggara.
Keterpaduan pengalaman politik pengembaraan spiritual jaringan tarekat dan dukungan masyarakat di Patani Salawati Misool hingga Gebe menjadi fondasi yang melahirkan organisasi Serikat Jamiatul Iman wal Islam pada penghujung 1930-an. Perkembangan tersebut menuntun Salahuddin memasuki barisan utama perlawanan rakyat Halmahera yang menentang kembalinya kekuasaan kolonial.
Sejarah Serikat Jamiatul Iman wal Islam
Serikat Jamiatul Iman wal Islam atau Sarikat Djoemiatoel Ichwan Iman wal Islam (SJII) lahir dari pergolakan sosial politik yang menguat di Gebe Patani dan sebagian Raja Ampat pada dekade 1930 hingga 1940. Dasar ideologinya berakar pada ajaran Islam sebagaimana dicatat Weintre, K. W (1947). Haji Salahuddin bin Talabuddin menafsirkan ajaran yang dipelajari melalui Alquran dengan menekankan shalat, zakat, puasa, ibadah haji, serta konsep sabil batin dan jani yang dipahami sebagai upaya menundukkan hawa nafsu sekaligus kesiapan mempertahankan agama (Albaar, S T. 1947). Di balik ajaran tersebut tersimpan tujuan yang lebih luas. Gerakan ini dimaknai sebagai bagian dari perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagaimana dicatat Alfaroek, A (1998). Pemahaman tersebut menguat karena pengikut SJII tidak hanya berasal dari komunitas Muslim. Sejumlah warga Kristen dari Siben Popo juga menyatakan kesiapan berkorban demi Republik Indonesia (Alhadar, S. 2021).
![]() |
| Gambar: Sketsa Masjid Nurul Iman di Kampung Omera, Gebe yang dibangun oleh Haji Salahuddin dan pengikut Serikat Jamiatul Iman wal Islam. |
Akar gerakan SJII dapat ditelusuri sejak masa pelarian Haji Salahuddin pada kurun 1927 hingga 1937. Pada masa itu Haji Salahuddin menempuh pendalaman tarekat Qadiriyah menjalani penyepian serta mengajar agama di kampung kampung terpencil. Pengalaman tersebut membentuk landasan spiritual yang kelak memperkuat karakter kepemimpinan dan menyediakan basis sosial bagi lahirnya sebuah organisasi keagamaan yang berorientasi pada perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Saat kembali ke Gebe pada 1937 Haji Salahuddin menghidupkan pengajian di Masjid Katcepe dan Masjid Omera. Ruang pengajian yang awalnya sederhana berkembang menjadi wadah pembentukan solidaritas dan kesadaran politik masyarakat. Pada saat itu dunia berada di ambang perang besar sementara tuntutan kemerdekaan di Nusantara menguat sehingga kebutuhan akan organisasi yang memadukan pendidikan agama dan arah perjuangan politik makin terasa. SJII kemudian tumbuh cepat karena kepemimpinan Haji Salahuddin yang kokoh serta jaringan dakwah yang melebar.
![]() |
| Gambar: Sketsa Masjid Tua Waelegi, Patani. Masjid ini menjadi senteral perjuangan Haji Salahuddin dan pengikut Serikat Jamiatul Iman wal Islam. |
Pengaruh SJII kian terlihat melalui kegiatan pengajian zikir dan penguatan mental yang berlangsung dari Katcepe hingga Joe dan Omera. Masjid dan rumah persinggahan yang dibangun Haji Salahuddin berfungsi sebagai pusat konsolidasi. Setiap subuh murid murid melakukan tawaf kampung sambil menyerap pesan keberanian. Ketika prosesi ibadah selesai Haji Salahuddin mengajarkan zikir yang bersumber dari saraffal anam barzanji dengan iringan rebana. Syair yang sering dilantunkan berbunyi aman aman serikat aman aman iman aman aman islam amin ya Allah ya rabbul alamin. Lagu mars SJII juga diciptakan untuk membangkitkan semangat kolektif. Liriknya mencerminkan tekad menghadapi penindasan kolonial Anwar bek naik kuda perang di mana musuh saya bunuh kemuka jangan takut mati dan luka pintu surga sudah terbuka (Alfaroek, A. 1998). Pengajaran tentang sabil batin dan jani memperkuat kerangka spiritual gerakan sementara panji bertulisan Arab di atas kain putih bertinta merah mempertegas identitas perlawanan.
![]() |
| Gambar: Tulisan tangah Haji Salauhuddin. Belia membuat dua panji Serikat Jamiatul Iman wal Islam menggunakan bahasa Arab. |
Pertumbuhan organisasi yang cepat menimbulkan kecurigaan pemerintah Belanda. Laporan dari sangaji Gebe kepada otoritas Weda memicu pengawasan ketat terhadap setiap kegiatan. Di tengah tekanan itu simpati masyarakat justru meningkat meskipun pemerintah kolonial berusaha meredam gerakan dengan pemberian bantuan kebutuhan pokok. Haji Salahuddin kemudian meminta para murid membuat senjata tradisional sebagai bentuk kesiapsiagaan. Pengalaman masa lalu ketika aktivitas keagamaannya dibatasi di Ternate Salawati dan Misool menjadi pertimbangan utama langkah berjaga jaga tersebut.
Memasuki 1941 SJII berada pada fase baru. Haji Salahuddin bersama tokoh Gebe dan Patani mengibarkan Merah Putih di Tanjung Ngolopopo sebagai simbol perlawanan terbuka terhadap Belanda. Tindakan itu diikuti seruan bahwa penjajahan harus diakhiri dan kemerdekaan akan tiba. Pengibaran bendera tersebut berujung pada penangkapan Haji Salahuddin dan para pengikut utama yang kemudian dibuang ke Nusakambangan dan Boven Digul. Masa pembuangan memperluas wawasannya karena berjumpa dengan aktivis republik yang mengalami penindasan kolonial. Setelah Belanda menyerah kepada Jepang seluruh tahanan dibebaskan dan Haji Salahuddin kembali ke Gebe untuk menghidupkan kembali pergerakan.
Pada akhir 1946 pengaruh Haji Salahuddin menyebar lebih cepat. Tokoh tokoh Patani menjemputnya dan memintanya memindahkan pusat aktivitas ke wilayah mereka. Sambutan rakyat sangat besar dan dalam waktu tiga minggu seluruh penduduk Patani baik laki laki maupun perempuan bergabung dengan SJII serta menyatakan kesiapan berkorban bagi agama dan republik. Pada awal 1947 SJII berubah menjadi organisasi massa dengan barisan bersenjata yang tersusun rapi. Meluasnya dukungan rakyat membuat Belanda semakin gelisah. Seruan pengibaran Merah Putih pada Januari 1947 dianggap ancaman sehingga kapal BO. 10 dan pasukan keamanan dikirim ke Patani. Operasi pertama gagal karena ribuan warga menutup jalur pendaratan. Ketegangan meningkat ketika tembakan dari longboat Belanda atas arahan perwira Soentpiet, A.J (1947) yang menewaskan sebelas warga pada Februari 1947. Keesokan hari sekitar enam ratus perempuan Patani maju menghadang pasukan kolonial demi melindungi barisan bersenjata SJII. Serangan balasan Belanda menimbulkan korban tiga puluh orang.
Pada 18 Februari 1947 patroli gabungan yang dipimpin Komisaris Polisi Weintre, K. W (1947) berhasil menembus Patani. Pertempuran berlangsung sengit dan berakhir dengan penangkapan Haji Salahuddin. Sidang pengadilan di Tidore dari Juli hingga September 1947 menjatuhkan vonis mati kepada Haji Salahuddin dan hukuman penjara bagi pengikut utama. Eksekusi dilakukan pada 6 Juni 1948 di lapangan Skep Ternate. Dua belas laras senjata menutup riwayat seorang pemimpin religius politik yang berada di garis depan perjuangan rakyat Halmahera Timur.
Warisan Keberanian Haji Salahuddin
Walaupun gerakan tersebut dihancurkan kekuasaan kolonial ingatan masyarakat tetap menyimpan kisahnya. SJII dikenang sebagai perlawanan rakyat kecil yang sering terdesak oleh sejarah arus utama namun sesungguhnya memberi pengaruh yang luas bagi perjalanan republik. Catatan tentang keberanian dan keteguhan Haji Salahuddin yang menjadikan agama sebagai sumber kekuatan membuktikan bahwa martabat bangsa kerap dijaga oleh mereka yang hidup jauh dari pusat kuasa. Suara dari kampung-kampung terpencil di timur Nusantara pernah mengguncang tatanan kolonial dan meninggalkan warisan keberanian yang tidak mudah padam.
Kisah itu menjadi panggilan bagi generasi muda Halmahera agar tidak mudah tunduk pada ketidakadilan yang muncul pada masa kini. Ingatan atas SJII mengajarkan bahwa keadilan tidak akan datang tanpa keberanian dan solidaritas. Sejarah perlawanan ini menjadi pengingat bahwa keputusan untuk melawan penindasan tidak pernah ditentukan oleh besar kecilnya kekuatan melainkan oleh kemauan menjaga harga diri bersama. Selama generasi muda tetap merawat ingatan kolektif dan berdiri bersama rakyat kecil Halmahera tetap memiliki cahaya yang tidak mudah padam.






