![]() Pasirpoetih bij Dodinga in Halmahera, 1910. Sumber: KITLV |
Di antara teluk-teluk sunyi dan garis pantai yang panjang di utara Halmahera, terdapat sebuah komunitas kecil yang tetap bertahan dalam bayang-bayang sejarah. Mereka dikenal sebagai orang Gorap—kelompok masyarakat yang kisahnya berada di antara keterasingan dan pembangkangan, antara status budak dan hasrat akan kemerdekaan. Wilayah ini memang bukan wilayah sembarangan. Bagi Kesultanan Tidore, Ternate, hingga pemerintah kolonial Belanda, pesisir utara Halmahera merupakan kawasan yang tidak pernah dianggap remeh. Sejak abad XVII hingga awal abad XX, daerah ini memiliki nilai strategis tinggi—baik secara geografis, militer, maupun ekonomi. Pesisir-pesisirnya menjadi jalur pelayaran penting yang menghubungkan pulau-pulau di Maluku (Utara) dengan Sulawesi, Filipina selatan, dan wilayah timur Nusantara (Indonesia).
Dalam Laporan J. M. Baretta (1917) Halmahera en Morotai, disebutkan bahwa kawasan dari Teluk Dodinga hingga Teluk Bobane terbentang sepanjang kurang lebih 160 kilometer. Pantainya berpasir halus dan cocok sebagai tempat berlabuh perahu, menjadikan wilayah ini dikenal luas oleh para pelaut lokal maupun asing. Di sekelilingnya semuanya adalah pantai berpasir yang baik dan merupakan tempat berlabuhnya perahu. Tak heran jika teluk-teluk ini menjadi persinggahan penting bagi para pelaut dari Tobelo, Ternate, Tidore, hingga Bugis.
Menurut Valentijn (1724), Teluk Bobane bukan sekadar hamparan laut yang indah di pesisir Halmahera Utara. Airnya jernih, dikelilingi pasir putih, deretan pohon kelapa, dan lereng-lereng curam yang membingkai pemandangan. Di tengah lanskap yang memukau itu, nama Bobane diberikan—bukan hanya sebagai penanda tempat, tapi juga karena fungsinya yang penting bagi pelaut. Bobane adalah titik labuh yang ideal: pantainya landai, bebas batu karang, dan memungkinkan perahu ditarik dengan mudah ke darat. Catatan serupa juga datang dari de F.S.A. Clerq (1890), yang menyebut Bobane sebagai pelabuhan alami yang pernah memainkan peran penting dalam lalu lintas pelayaran di masa silam.
Bobane adalah simpul sejarah—titik di mana geografi, ekonomi, dan relasi kuasa berkelindan membentuk lanskap sosial yang khas. Teluk ini mencerminkan bagaimana ruang-ruang pinggiran sesungguhnya memainkan peran penting dalam sejarah lokal. Di Bobane, kita bisa membaca bagaimana orang-orang kecil, orang-orang marjinal, turut menganyam sejarah yang tak kalah penting dari pusat-pusat kekuasaan. Warisan itu terus hidup, tak hanya dalam toponimi, tetapi juga dalam narasi kolektif masyarakat Halmahera Utara hingga hari ini.
Bobane Igo: Rumah Multietnis
Dalam bahasa Ternate, bobane berarti “teluk,” sementara igo merujuk pada “kelapa” atau “pohon kelapa.” Secara harfiah, Bobane Igo dapat diartikan sebagai “teluk kelapa”—sebuah teluk yang dipenuhi oleh pohon-pohon kelapa di sepanjang pesisirnya. Namun, di kalangan orang Tobelo, nama ini punya makna yang lebih puitis, yaitu “Bobane Nanga Toni Igo”, yang berarti “pantai ini saya suka.”
Nama ini bukan sekadar ungkapan akan keindahan sebuah pesisir. Ia menyimpan jejak sejarah panjang tentang pertemuan antarbudaya dan terbentuknya komunitas pesisir yang majemuk. Dalam tradisi lisan yang direkam oleh Rainannur A. Latif (2015), diceritakan bahwa Bobane awalnya merupakan tempat persinggahan favorit para pelaut Tobelo—sebagian dari mereka hidup sebagai perompak laut yang dikenal luas di perairan Maluku dan Sulawesi.
Konon, dalam salah satu pelayaran mereka, sekelompok perompak Tobelo melakukan manggora—yakni aksi merampas secara paksa—di perairan Sulawesi dan berhasil menculik seorang putri dari Kerajaan Goa. Putri itu kemudian dibawa ke Halmahera dan dinikahi. Peristiwa ini menandai awal keberadaan sebuah komunitas baru di pesisir yang kemudian dikenal sebagai “Negeri Manggora”. Dalam konteks ini, manggora menjadi tidak hanya sekadar tindakan kekerasan, tetapi juga simbol dari permulaan yang baru—meskipun dilahirkan dari konflik.
Seiring berjalannya waktu, pantai ini menjadi magnet bagi berbagai kelompok etnis dari luar wilayah. Orang Melayu, Ternate, Tidore, Bugis, serta sesama Tobelo dan Galela mulai berdatangan dan menetap. Menariknya, kawasan ini dikenal aman dan bebas dari kewajiban membayar ngase (pajak) kepada kesultanan-kesultanan besar di Maluku Utara yang tergabung dalam koalisi Moloku Kie Raha. Dalam suasana damai dan keterbukaan itu, para pendatang kemudian bermufakat untuk mengganti nama “Negeri Manggora” menjadi Bobane Nanga Toni Igo—nama yang menyiratkan kehangatan dan cinta terhadap tanah baru yang mereka tempati.
Dari akar nama Manggora pula lahirlah istilah Gorap, yang secara harfiah dapat diartikan sebagai “gabungan orang-orang pendatang.” Dalam kehidupan sehari-hari, identitas ini tidak hanya tercermin dalam keberagaman asal-usul etnis, tetapi juga dalam bahasa Gorap, sebuah lingua franca yang berkembang dari interaksi antar kelompok di wilayah pesisir tersebut.
Namun, seperti banyak kisah yang hidup dalam tradisi lisan, versi lain dari asal-usul Bobane juga beredar. Dalam narasi berbeda, disebutkan bahwa wilayah ini pertama kali dijaga oleh seorang panglima perang Tidore bernama Kapita Togubu—atau dalam versi lain disebut Kapita Kalero—yang ditugaskan oleh Sultan Tidore untuk mengamankan Teluk Bobane. Kapita ini memimpin pasukan yang terdiri dari orang-orang Tobelo. Kelompok inilah yang kemudian melakukan aksi manggora, menemukan sang putri dari Goa, dan menyerahkannya kepada Kapita sebagai bentuk penghormatan. Sang Kapita pun memperistrinya dan menetap di pesisir itu.
Kisah-kisah ini, meski berbeda dalam detail, memperlihatkan satu benang merah: sebuah tempat bisa tumbuh dari perjumpaan, konflik, dan upaya hidup bersama. Bobane Igo bukan sekadar nama geografis, melainkan cermin dari sejarah sosial yang dibangun di atas keberanian, percampuran budaya, dan semangat gotong royong.
Lebih dari itu, Bobane Igo adalah potret bagaimana komunitas multietnis dapat terbentuk melalui dinamika migrasi dan integrasi sosial jangka panjang. Dari perompak menjadi petani kelapa, dari pendatang menjadi warga, dari bahasa asing menjadi bahasa bersama. Di sinilah sejarah tak hanya hidup dalam buku, tapi juga dalam pasir pantai dan cerita yang dibisikkan angin laut di utara Halmahera.
Orang Gorap: Komunitas Pesisir Halmahera
Catatan awal tentang orang Gorap muncul dalam arsip kolonial dan laporan residen Belanda. Dalam laporan F. S. A. de Clercq (1890), mereka disebut sebagai kelompok tak jelas asal-usulnya, namun telah mendiami wilayah-wilayah seperti Bobane, Dodinga hingga kepulauan Loloda. Lebih jauh lagi, catatan Padbrugge (1682) dan Baretta (1917) menyiratkan bahwa kelompok ini terbentuk dari para pelarian yang sebelumnya menjadi budak dalam sistem kerja paksa Kesultanan Ternate, Tidore, dan pemerintah Belanda.
Sebagian besar dari mereka diduga berasal dari wilayah selatan seperti Salayar, Manggarai, dan Flores (de Clerq, F.S.A. 1890)—daerah yang menjadi sasaran perburuan budak dan aksi perompakan maritim sejak abad XVI. Setelah dibawa ke utara oleh para bajak laut, mereka kemudian mencari celah untuk melarikan diri dari tatanan kekuasaan kerajaan maupun kolonial. Mereka memilih pesisir yang jauh dari pusat kekuasaan untuk membangun kehidupan yang lebih otonom.
Dalam catatan Ch. van Fraassen (1978), Istilah "Gorap" sendiri menyimpan banyak tafsir. Dalam bahasa Bugis, kata gora bermakna "perompak", sementara dalam bahasa Loloda dikenal kata gorapu yang juga berarti "perompak laut". Di wilayah Loloda, kelompok ini dikenal dengan nama "orang Baharu", sebutan yang merujuk pada status mereka sebagai pendatang atau orang baru. Istilah ini semula mungkin dimaksudkan sebagai label negatif dari luar, tetapi kemudian diadopsi secara identitas oleh komunitas ini.
Menariknya, dalam Kamus Gericke, kata Gorap juga merujuk pada jenis kapal tradisional. Kapal ini diyakini mampu memuat lebih dari 30 awak, sebuah petunjuk bahwa nama komunitas Gorap bisa saja memiliki kaitan dengan kehidupan maritim, baik sebagai pelaut maupun sebagai bagian dari sejarah pelayaran dan perbudakan di kawasan ini (de Clerq, F.S.A. 1890).
Dengan kata lain, nama "Gorap" mengandung sejarah maritim, kekerasan, tetapi juga perlawanan. Seperti banyak kasus dalam sejarah masyarakat marjinal, label yang dulu menghina justru berubah menjadi simbol kebanggaan dan penyatuan kelompok. Dalam beberapa komunitas, istilah bahasa Gorap bahkan dipakai untuk menyebut bahasa sehari-hari masyarakat multietnis yang mendiami wilayah Bobane dan sekitarnya. Orang Gorap---bahkan sempat disebut melakukan aksi perompakan, sebagai bentuk perlawanan sekaligus jalan bertahan hidup. Dari status budak, mereka menjadi aktor baru di lanskap maritim Halmahera—bukan sebagai korban, tapi sebagai pembentuk komunitas.
Secara antropologis, orang Gorap mencerminkan satu tipe masyarakat marjinal yang membentuk identitasnya melalui pelarian, adaptasi, dan integrasi. Mereka hidup di ruang-ruang liminal—antara laut dan darat, antara kesultanan dan pemerintah kolonial, antara keterasingan dan solidaritas.
Dalam komunitas-komunitas Gorap, sering kali ditemukan praktik sosial yang bersifat hibrid: dari cara hidup nelayan, struktur musyawarah, hingga adat permukiman yang memadukan unsur Ternate, Tidore, dan Bugis. Mereka hidup berdampingan dengan suku Tobelo dan Galela. Hal ini memperlihatkan bagaimana kelompok Gorap menjadi “jembatan budaya” yang lahir dari keterpisahan dan mobilitas tinggi.
Lebih dari sekadar komunitas pesisir, orang Gorap adalah contoh nyata bagaimana manusia membangun tatanan baru setelah mengalami trauma struktural. Identitas mereka bukan diturunkan secara linier, melainkan dirakit dari potongan-potongan pengalaman, pelarian, dan pembentukan solidaritas baru.
Namun fungsi pesisir ini bukan hanya sebagai jalur dagang. Dalam banyak kisah lisan, teluk-teluk seperti Bobane juga menyimpan jejak pelarian, perompakan, dan pengasingan politik. Ia menjadi ruang alternatif di luar kendali pusat kekuasaan; tempat orang-orang yang terbuang atau memilih melawan, mencari kehidupan baru yang lebih merdeka. Di sinilah nama orang Gorap mulai disebut-sebut—sebagai komunitas yang lahir dari laku pembelotan, pelarian budak, dan penyatuan lintas etnis.
Dua Teluk: Jalur Sunyi yang Menghubungkan Peradaban
Di antara garis pantai yang membentang panjang dan lebatnya hutan Halmahera, terdapat dua nama yang tak pernah lekang dalam ingatan sejarah: Teluk Bobane dan Teluk Dodinga. Keduanya bukan sekadar titik geografis, melainkan simpul penting dari jaringan lalu lintas dagang, militer, dan budaya di kawasan Maluku (utara). Di sanalah, perpindahan penduduk, arus rempah, damar, dan kisah-kisah antar-sultan berpadu dalam sebuah lanskap yang sunyi, namun strategis.
Dari Bobane ke arah pedalaman, menuju wilayah Dodinga, terdapat sebuah jalan setapak yang melintasi bukit dan hutan. Jalur ini bukan sekadar penghubung antar-kampung; ia dulunya menandai batas kekuasaan dua kerajaan besar di Maluku Utara: Ternate dan Tidore. Von Rosenberg (1875) menggambarkan jalur ini sebagai semacam garis tak kasatmata yang memisahkan dan sekaligus mempertemukan dua kekuatan politik di Halmahera bagian utara.
Bobane sendiri menjadi rumah bagi komunitas orang Gorap—sekelompok penduduk yang hidup tertata dalam kampung-kampung kecil. Mereka dikenal sebagai bekas budak, yang berasal dari berbagai penjuru kepulauan. Di Bobane, orang Gorap tunduk pada sistem adat yang tersusun. Mereka berada di bawah wewenang hukum lokal dan seorang tokoh adat bernama Ngofamanyira, yang berada di bawah struktur pemerintahan Kimalaha Dodinga. Struktur ini menunjukkan bagaimana masyarakat lokal mengintegrasikan kelompok-kelompok baru dalam sistem sosial dan hukum mereka (de Clerq, F.S.A. 1890).
Pada masa pemerintahan Sultan Ternate Muzaffar I (1610–1627), penduduk dari beberapa wilayah dipindahkan ke Dodinga, sebuah pemukiman yang terletak di lintasan strategis di pantai barat Halmahera. Letaknya menyimpang dari pusat Kesultanan Ternate, namun justru itulah yang membuatnya penting: ia menjadi titik simpang antara pedalaman Halmahera dan pulau-pulau pusat kekuasaan seperti Ternate dan Tidore.
Dalam laporan kolonial yang dikutip Leonard Y. Andaya (1993), disebutkan bahwa perahu-perahu dari Kao biasa mengangkut sagu, lalu mendayung sepanjang hari menyeberangi laut menuju Teluk Bobane. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki selama setengah jam melintasi bukit ke Dodinga di pantai barat, sebelum akhirnya menyeberang ke Ternate. Bobane berfungsi sebagai titik kumpul dan pelabuhan alami: siapa pun yang hendak ke Ternate atau dari Ternate ke Halmahera akan melintasinya. Yang menarik, Teluk Bobane bukan hanya tempat transit, tetapi juga pusat kerajinan tangan. Masyarakatnya terkenal piawai membuat tembikar dari tanah liat. Seorang Gubernur Belanda di abad XVII bahkan menyebut bahwa hasil kerajinan tembikar di Bobane lebih indah dibandingkan tembikar dari Pulau Mare di Tidore. Ini menunjukkan bahwa aktivitas ekonomi lokal berkembang seiring dengan pentingnya posisi strategis kawasan ini.
Transformasi jalur ini semakin nyata pada masa Sultan Ternate Sibori Amsterdam (1672–1690). Ia dianggap meninggalkan warisan monumental karena berhasil membangun jalan darat permanen dari Dodinga ke Bobane. Jalan ini menghubungkan kawasan Halmahera Utara dan Tengah dengan jalur laut menuju Ternate dan Tidore. Uniknya, jalan ini masih digunakan bahkan hingga masa pemerintahan Kaicil Toloko atau Sultan Ternate, Said Fathullah,1692–1714. (Amal, 2010). Di masa-masa itulah Bobane dan Dodinga benar-benar menjadi nadi penghubung antara pusat dan pinggiran kekuasaan.
Bagi masyarakat Alfur yang hidup dari hasil hutan seperti damar, Bobane adalah pelabuhan sekaligus gudang. Mereka datang dari pedalaman Halmahera bagian utara dan Tengah menggunakan rakit atau perahu sederhana. Di tepi pantai, mereka membangun pondok-pondok kecil tempat menyimpan damar. Mereka akan menunggu waktu yang tepat—baik dari segi musim maupun harga—sebelum menjualnya. Di sinilah Bobane dan Dodinga menjadi pusat pertukaran yang tak kalah penting dibandingkan pelabuhan-pelabuhan resmi (Baretta. 1917).
Memasuki abad XIX, kolonial Belanda pun menyadari nilai strategis kawasan ini. Bobane dan Dodinga ditetapkan sebagai wilayah pengawasan militer untuk mengontrol lalu lintas perdagangan dan mobilitas penduduk. Sebuah detasemen kecil Belanda ditempatkan di Benteng Dodinga, terdiri dari enam serdadu pribumi dan seorang kopral Eropa. Mereka bertugas menjaga jalur darat yang kian ramai menghubungkan Bobaneigo dan Dodinga—menjadi semacam tulang punggung bagi perdagangan lintas pulau dan hutan di wilayah Halmahera dan sekitarnya.
Dengan kata lain, Bobane dan Dodinga adalah bukti nyata bahwa tempat-tempat yang dianggap pinggiran justru sering kali menjadi pusat dari peristiwa besar, entah itu migrasi, ekspansi kekuasaan, atau pertukaran budaya dan ekonomi. Di sanalah kisah-kisah kecil menjadi bagian dari sejarah besar Maluku Utara.