Nafas: Tanah Yang Hidup

Editor: Irfan Ahmad author photo

Malam itu, Senin 17 November 2025, sebuah pesan WhatsApp masuk dari seorang kolega di Fakultas Ilmu Budaya. Muhammad Guntur Cobobi, kandidat doktor di Universitas Indonesia, meminta saya menjadi salah satu pemateri dalam diskusi buku Tanah yang Hidup yang akan berlangsung pada 11 Desember 2025 di Kampung Mare Gam, Pulau Mare, Kota Tidore Kepulauan. Buku tersebut ditulis bersama Fitriningsih Pratiwi Mahmud melalui dukungan Balai Pemajuan Kebudayaan Wilayah XXI Maluku Utara. Undangan itu membuat saya mulai membaca, mencatat, dan mencoba memahami kembali tradisi gerabah Mare yang dikisahkan dalam buku itu. Tugas tersebut terasa berat, namun proses membacanya justru membuka jalan untuk melihat tradisi di Pulau Mare dengan cara yang lebih mendalam dan utuh.

Pembacaan Antropologis dan Sejarah Sosial

Sejak halaman awal, buku ini menggambarkan Mare sebagai laboratorium budaya. Pulau kecil yang terangkat dari dasar laut dan dikelilingi karang (hlm. 1–8) menjadi panggung tempat manusia dan lingkungan membentuk satu sama lain. Ruang yang sempit dan sumber daya yang terbatas melahirkan masyarakat dengan sistem sosial yang sangat adaptif. Tradisi gerabah tidak hadir tiba-tiba. Tradisi ini tumbuh dari hubungan panjang antara manusia dan tanah, dari panas matahari yang mengeringkan tanah liat, dari pasir pantai yang menguatkan adonan, dari kayu yang membakar forno. Seluruh proses pengolahan tanah liat Mare (hlm. 61–80) menjadi bukti bahwa kebudayaan muncul dari kemampuan manusia membaca dan menyesuaikan diri dengan tempat hidupnya. Tradisi dalam buku ini tampil hidup dan dinamis.

 

Pembaca kemudian diajak menyelami struktur sosial Mare. Buku ini memperlihatkan perempuan sebagai pusat pengetahuan budaya. Pembuatan gerabah berada sepenuhnya di tangan perempuan, mulai dari merendam tanah, mengolah adonan, membentuk wadah, hingga mengawasi proses pembakaran (hlm. 17–20, 25, 27). Pengetahuan ini tidak diwariskan melalui tulisan, tetapi melalui tubuh dan pengalaman. Keterangan bahwa tanah harus diistirahatkan sebelum dibentuk (hlm. 35-67) memperlihatkan hubungan yang jauh lebih mendalam antara perempuan dan tanah. Tanah dianggap hidup. Tanah diperlakukan dengan sabar. Perempuan menjaga ritme budaya, merawat memori, dan membawa nilai-nilai spiritual ke dalam praktik sehari-hari.

 

Gerabah juga tampil sebagai simbol identitas sosial dan penanda modernitas. Forno menjadi pusat dapur dan pusat kehidupan keluarga (hlm. 33–40). Ngura-ngura membantu mengatur panas dan rasa (hlm. 41–44). Hito mengisi ruang ritual dalam tahlilan dan salai jin (hlm. 15, 52–53). Dalam kajian budaya, benda-benda domestik seperti ini tidak hanya berfungsi, tetapi membentuk kebiasaan dan cara hidup. Asap dari hito menandai ruang yang disucikan. Rumah yang memiliki banyak hito biasanya menjadi tempat berkumpul pada acara keagamaan. Ketika alat masak modern mulai muncul, masyarakat Mare tetap mempertahankan forno dan boso karena kedua alat itu lebih sesuai dengan selera, kebiasaan, dan ritme dapur mereka (hlm. 38–40, 48–56, 60, 80, 94). Pilihan ini memperlihatkan bagaimana masyarakat Mare menjaga tradisi sambil berhadapan dengan arus modernitas. Tradisi tidak hilang. Tradisi bernegosiasi dan tetap bertahan.

 

Buku ini juga memotret ekonomi gerabah yang bertumpu pada jaringan sosial. Sejak abad ke-18, gerabah Mare dibawa ke Tidore, Ternate, Maba, Galela, Tobelo, Kayoa, Bacan, bahkan hingga ke Papua, lalu ditukar dengan sagu, ikan, dan hasil hutan (hlm. 31,38, 96–49). Produksi dilakukan perempuan. Distribusi dilakukan laki-laki. Ekonomi bertumpu pada keluarga dan jaringan kekerabatan antarwilayah. Nilai gerabah bukan hanya ditentukan oleh fungsinya, tetapi oleh hubungan sosial yang mengikat para pelakunya. Kisah Mo’re, perempuan pertama pembuat gerabah (hlm. 29), memberi dimensi mitologis bahwa tradisi ini menyimpan sejarah munculnya komunitas, menghubungkan masa lalu dengan masa kini, dan memperkuat identitas etnis. Dalam kerangka antropologi, gerabah menjadi arsip budaya yang menyimpan ritus, kekuasaan, dan memori kolektif.

 

Melalui seluruh rangkaian ini, Tanah yang Hidup memberikan gambaran bahwa tradisi gerabah Mare tidak dapat dipisahkan dari cara masyarakat memahami ruang, merawat relasi, dan menata kehidupan. Tradisi ini bergerak melalui tangan perempuan, melalui dapur yang selalu hangat dengan aroma sagu, melalui hito yang mengepulkan doa, melalui jalur dagang yang menyambungkan pulau dengan pulau. Tradisi bertahan bukan karena dipaksakan, tetapi karena tradisi itu masih dibutuhkan dan masih relevan dengan kehidupan masyarakat.

 

Pada akhirnya, buku ini mengajak pembaca melihat bahwa Mare bukan hanya tanah yang hidup. Mare adalah budaya yang terus bernapas. Gerabah menjadi cermin tentang bagaimana manusia menjaga warisan, membangun identitas, dan menegosiasikan perubahan zaman tanpa kehilangan akar. Pulau kecil itu melahirkan budaya besar. Gerabah menjadi saksi paling setia dari perjalanan panjang itu.

 

Kritik Sejarah Sosial dan Ekonomi dalam Tanah yang Hidup

Dalam membaca Tanah yang Hidup melalui kacamata sejarah sosial dan ekonomi, tampak beberapa ruang yang masih dapat diperdalam. Narasi budaya dan etnografi sudah kuat, namun kaitannya dengan dinamika sosial ekonomi dalam lintasan sejarah belum tergarap sepenuhnya. Hubungan dagang Mare dengan Tidore, Halmahera, Bacan, dan Papua memang disebutkan dengan menarik, tetapi belum dijelaskan sebagai proses yang berubah dari waktu ke waktu. Pembaca belum menemukan bagaimana jaringan perdagangan itu terbentuk, siapa saja aktor yang terlibat, serta bagaimana kekuasaan Kesultanan Tidore mempengaruhi ekonomi Mare pada abad ke-18 dan ke-19.

 

Struktur sosial Mare digambarkan dengan baik melalui peran perempuan pembuat gerabah dan jaringan barter antarpulau. Namun pengaruh politik kesultanan, mobilitas penduduk, migrasi tenaga kerja, dan integrasi Mare dalam sistem kolonial masih tersentuh sangat singkat. Padahal aspek-aspek tersebut penting untuk memahami strategi bertahan hidup masyarakat dan arah ekonomi rumah tangga mereka.

 

Pembahasan ekonomi gerabah juga masih bersifat deskriptif. Informasi tentang barter memang hidup, tetapi belum menjawab bagaimana nilai gerabah dibentuk, bagaimana permintaan berubah, atau bagaimana gerabah bersaing dengan barang lain seiring masuknya teknologi baru. Kajian sejarah ekonomi dapat memperkaya bagian ini, sebab ekonomi tidak hanya tentang pertukaran, tetapi juga tentang pilihan dan risiko.

 

Dari sisi metodologi sejarah sosial, suara para pelaku belum hadir secara langsung. Penggambaran pekerjaan perempuan memang detail, namun tidak dibarengi kutipan atau refleksi pribadi. Kehadiran testimoninya akan memperlihatkan pengalaman ekonomi dan perubahan sosial dari sudut pandang pembuat gerabah itu sendiri. Selain itu, buku ini belum mengaitkan tradisi gerabah dengan perubahan ekonomi kontemporer seperti pariwisata budaya atau industri kerajinan modern. Padahal tren baru ini semakin berpengaruh terhadap komunitas pengrajin di berbagai wilayah.

 

Secara keseluruhan, Tanah yang Hidup memberikan dasar yang kuat untuk memahami budaya Mare. Namun dalam perspektif sejarah sosial dan ekonomi, buku ini masih menyisakan ruang untuk memperluas pembacaan tentang jaringan perdagangan, relasi kekuasaan, dinamika regional, serta suara para pelaku budaya yang hidup di dalam tradisi itu sendiri.

 


Share:
Komentar

Terkini