Kesultanan dan Tanah Ulayat: Di Persimpangan Sejarah Kolonial

Editor: Irfan Ahmad author photo

Gambar: Peta eksplorasi pertambangan di lahan yang terletak di pulau Salawati, daerah Kesultanan Tidore di Karesidenan Ternate, 1898.

Di wilayah Kesultanan Moloku Kie Raha (Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan) tanah adat bukan sekadar hamparan lahan yang dikelola untuk keperluan ekonomi. Ia adalah bagian dari jaringan relasi sosial, sejarah leluhur, dan struktur kekuasaan adat yang telah berlangsung turun-temurun. Dalam pandangan masyarakat, setiap petak tanah memiliki cerita, asal-usul, dan aturan yang mengikat secara kolektif. Sistem pengelolaannya dijalankan melalui hierarki adat yang terhubung erat dengan pemerintahan kesultanan—mulai dari sangaji, bobato, hingga soa (marga) yang menjaga dan mengatur pemanfaatannya. 

Meski keempat kesultanan itu memiliki istilah yang berbeda-beda dalam menyebut tanah adat—seperti Aha Kolano, Raki Kolano, Aha Soa, Aha Cucacu, Aha eto dan Gura Gam.—namun substansi dan fungsi tanah dalam kehidupan masyarakat tetap serupa, sebagai warisan leluhur, penyangga kehidupan, dan ruang sakral yang tak bisa dipindahtangankan sembarangan. Tanah-tanah ini diwariskan bukan hanya secara fisik, tetapi juga dengan beban moral untuk menjaga, merawat, dan menghormati jejak para pendahulu.

 

Bagi masyarakat di Maluku Utara, terutama yang hidup dalam naungan kesultanan, tanah adat menyatukan kehidupan spiritual dan praksis harian. Ia menautkan masa lalu dengan masa kini, menghubungkan manusia dengan tanah kelahiran, dan mempertegas ikatan antara komunitas dan alam. Maka tak heran, ketika terjadi pergeseran nilai dan intervensi hukum negara atau pasar, masyarakat adat sering merasa tercerabut dari akar mereka—karena yang hilang bukan hanya sebidang tanah, tetapi sebuah tatanan hidup.

 

Jejak Kosmologi Tanah dalam Tradisi Orang Tidore 

Pada suatu sore di tahun 2023, di kediaman sederhana yang sekaligus menjadi ruang tamu adat, saya berkesempatan berbincang dengan M. Amin Faaroek (63), salah satu Djojau Kesultanan Tidore—tokoh adat yang dipercaya sebagai penjaga memori, bahasa, dan nilai-nilai kesultanan. Percakapan itu bermula dari keingintahuan saya tentang bagaimana masyarakat Tidore memahami tanah dan hak ulayat dalam bingkai adat dan sejarah mereka. Dengan nada yang tenang namun penuh keyakinan, beliau menyampaikan bahwa dalam kosmologi masyarakat Tidore, tanah tidak hanya dipandang sebagai tempat berpijak atau objek ekonomi.

 

“Tanah ini bukan milik kita semata, ini titipan dari Allah SWT dan dari leluhur kita. Kita jaga bukan karena hanya kita yang butuh, tapi karena kita harus wariskan ke anak cucu dalam keadaan baik.”

 

Tanah adalah ruang hidup—tempat bertemunya manusia, leluhur, dan Yang Ilahi. Ia menjadi jembatan antara dunia yang terlihat dan yang tak terlihat, antara kehidupan yang berlangsung sekarang dan warisan dari masa lalu yang terus hidup dalam ingatan dan ritus kolektif.

 

Dalam pandangan Amin Faaroek, tanah adalah identitas, bahkan lebih dalam dari nama keluarga atau soa (marga). Tanah menjadi penanda dari mana seseorang berasal, kepada siapa ia terikat, dan bagaimana ia harus hidup. Karena itu, pengelolaan tanah adat bukan hanya perkara kebun dan hasil panen, dan mengeluarkan  ngase kepada kesultanan, tapi menyangkut relasi antar-generasi, moralitas kolektif, serta keterikatan spiritual dengan alam dan sejarah.

 

Narasi ini mencerminkan bahwa bagi masyarakat Tidore, tanah tidak bisa dipisahkan dari sistem nilai, kekerabatan, dan kuasa adat. Setiap petak tanah memiliki jejak, siapa yang membukanya, untuk apa digunakan, dan bagaimana ia harus diwariskan. Ketika tanah dijaga, sesungguhnya yang dijaga adalah kesinambungan hidup bersama—bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan spiritual. Makna tanah secara mendalam pada orang Tidore, juga dapat ditemukan dalam ungkapan dolabololo, yang berbunyi:


Hale jou madihutu no sojaga sado ngofa se dano, hale maleo-lo, caga moi yo ma dadi caga raha.

 

Artinya: “Tanah milik Allah harus dijaga sampai ke anak cucu; tanah yang subur, satu ranting akan tumbuh menjadi empat ranting”.

 

Ungkapan ini mengandung pesan ekologis sekaligus spiritual. Tanah adalah titipan ilahi, bukan kepemilikan individual. Ia mesti dirawat, dijaga, dan diwariskan, karena dari tanah tumbuh kehidupan: makanan, pohon, relasi sosial, dan tatanan nilai. Dalam pengamatan etnografis, masyarakat Tidore menunjukkan keterikatan emosional dan simbolik dengan tanah yang diwarisi secara turun-temurun (hak ulayat), terutama dalam praktik pengelolaan kebun, pelarangan penebangan di lokasi sakral, serta larangan menjual tanah ke pihak luar.

 

Dalam konteks ini, konflik atas tanah seringkali tak dapat dipahami hanya sebagai persoalan agraria atau legal-formal, melainkan sebagai benturan epistemik antara cara pandang adat dan sistem kolonial atau modern yang mengobyektifikasi tanah sebagai aset ekonomi semata (Peluso & Lund, 2011). Masyarakat adat melihat tanah sebagai bagian dari tubuh kolektifnya—mereka “menjadi ada” karena tanah itu (Ingold, 2000). Maka ketika tanah dirampas, yang hilang bukan hanya lahan, tetapi ikatan sosial, sejarah leluhur, dan sistem moral.

 

Historisitas tanah ulayat dalam masyarakat Kesultanan Moloku Kie Raha  juga telah dibentuk oleh interaksi panjang dengan kekuasaan kolonial. Pemerintah Belanda mengakui kesultanan sebagai zelfbestuur (pemerintahan sendiri), tetapi dalam praktiknya membatasi wewenang kesultanan atas tanah melalui hukum kolonial seperti erfpacht dan konsesi tambang (Van Fraassen, 1987; Staatsblad 1873 No. 217a). Tanah tetap disebut “milik sultan” atau “tanah negeri”, tetapi penguasaan dan legitimasi hukum dialihkan ke struktur administratif kolonial. Inilah bentuk awal “pengosongan makna” tanah adat dalam kerangka kolonialisme administratif.

 

Pendekatan etnografi ini menunjukkan bahwa tanah dalam masyarakat Tidore adalah entitas multidimensi—spiritual, sosial, ekologis, dan politik. Melalui praktik tutur adat, sistem pewarisan, dan relasi ritual, masyarakat mempertahankan otonomi simbolik mereka atas tanah, bahkan ketika struktur politik atau hukum formal tidak lagi berpihak pada mereka.

Tanah Adat di Bawah Bayang Kolonialisme

Pada awal kedatangan Belanda di kawasan timur Indonesia sejak abad XVII, mereka tidak serta-merta menaklukkan wilayah-wilayah kesultanan, melainkan menjalin perjanjian politik dengan para sultan. Dalam perjanjian-perjanjian tersebut, Belanda mengakui kekuasaan raja atas wilayahnya, termasuk tanah-tanah adat, sebagai wilayah swapraja (zelfbestuur) dan hak ulayat kesultanan (Van Fraassen, 1987).

 

Penguasaan tanah saat itu tidak terkait dengan komoditas tambang seperti emas atau nikel, melainkan berfokus pada hasil bumi seperti cengkih, pala, damar, dan rotan. Meskipun demikian, pemerintah kolonial Belanda tetap berhati-hati dan menghormati kepemilikan tanah adat yang dimiliki oleh kesultanan seperti Tidore, Ternate, Jailolo, dan Bacan.

 

Setelah pembentukan Karesidenan Ternate pada tahun 1866, pengakuan terhadap tanah adat menjadi bagian dari strategi kolonial yang kompleks. Di satu sisi, Belanda mengakui keberadaan dan otoritas kesultanan sebagai bagian dari hak asal-usul; namun di sisi lain, pengakuan tersebut digunakan untuk memfasilitasi kontrol administratif dan eksploitasi sumber daya lokal (Burns, 2004; Fitzpatrick, 1997).

 

Meskipun istilah “tanah milik sultan” atau “tanah negeri” tetap dipakai dalam dokumen resmi, sistem erfpacht (hak guna usaha) diperkenalkan untuk memasukkan tanah adat ke dalam kerangka hukum kolonial (Lucas & Warren, 2013).

 

Ironi sejarah muncul ketika tanah yang secara adat dan historis diakui milik sultan—seperti tanah-tanah di Halmahera, Obi, Seram, hingga Papua—harus melewati proses perizinan dan legalisasi melalui kantor Residen Belanda di Ternate. Misalnya, ketika seorang pengusaha Belanda mengajukan izin eksplorasi tambang di Pulau Salawati, ia tetap “menghadap” kesultanan Tidore untuk meminta persetujuan, namun proses hukum dan eksekusi administrasi diselesaikan sepenuhnya di bawah kerangka hukum kolonial. Artinya, pengakuan adat dipelihara di permukaan, namun dikosongkan maknanya di dalam.

 

Salah satu contohnya dapat dilihat dalam kasus eksplorasi sumber daya di Papua, di mana Belanda meminta izin dari Kesultanan Tidore, namun proses administrasinya dilimpahkan kepada Residen Belanda. 

 

No. 545                                                              

Semarang, 17 Pebruari 1898

Kepada Residen Ternate

 

Dengan hormat saya memberitahukan Wouter Bloemen, pedagang tinggal di Semarang. Bahwa saya adalah keturunan Belanda yang atas dasar Lembaran Negara 1873 nomor 217a dan 1874 nomor 128, ingin melakukan eksplorasi pertambangan di daerah Anda. Motivasi mengapa yang bersangkutan menghadap Paduka adalah ingin dikabulkan permohonan selama jangka waktu lima tahun atau jika perlu lebih pendek apabila Anda menyetujuinya, untuk melakukan eksplorasi pertambangan di lahan yang terletak di pulau Salawati, daerah Kesultanan Tidore di Karesidenan Ternate, seperti yang ditunjukkan pada peta sketsa terlampir dan batas-batasnya adalah sebagai berikut

  • Di utara: selat Sagawin
  • Di timur: garis meridian pada 2250 meter di sebelah timur rumah kepala kampung Tipoi.
  • Di selatan: garis parallel pada 1300 meter di sebelah selatan muara Paleleu
  • Di barat: laut Seram

Pemohon selanjutnya ingin memilih penyelesaian ini ini di kantor residen di Ternate.


Hormat saya

W. Bloemen

Gambar: Salah satu surat izin melakukan eksplorasi pertambangan di lahan yang terletak di pulau Salawati, daerah Kesultanan Tidore,1898.

Pada surat permohonan di atas adalah bentuk pengakuan sekaligus pengabaian kedaulatan lokal. Di satu sisi menghormati struktur politik kesultanan Tidore, tapi di sisi lain menegaskan bahwa keputusan akhir tetap berada pada struktur kolonial (residen). Cara-cara itu, dengan  tegas memperlihatkan politik ambiguitas hukum dan kedaulatan yang dijalankan Belanda untuk mengamankan sumber daya, di mana otoritas adat dan kesultanan hanya diberi ruang formal, tetapi subordinatif.

 

Tanah yang dulunya merupakan basis kedaulatan, harga diri kesultanan, kosmologi, dan ekonomi kesultanan, kini menjadi objek kontrak dan komodifikasi dalam sistem kolonial. Pengakuan tanah negeri dalam dokumen Belanda tak lebih dari strategi untuk mencegah perlawanan rakyat adat, sekaligus mempermudah pengambilalihan wilayah untuk perkebunan, tambang, dan pos militer.

 

Situasi ini menempatkan kesultanan dan masyarakat adat di persimpangan sejarah. Mereka diakui tapi dibatasi, dihormati tapi dikendalikan. Seiring waktu, kesultanan kehilangan kekuatan mengikatnya, dan tanah ulayat berubah menjadi sekadar unit administratif dalam sistem negara kolonial.

 

Warisan sejarah ini masih terasa hari ini. Sengketa tanah adat, kebingungan status hukum ulayat, dan marginalisasi masyarakat adat dalam proyek-proyek investasi modern, sering kali berakar pada rekayasa kolonial atas hak tanah yang tidak pernah diselesaikan secara adil. Kesultanan dan tanah ulayat memang pernah hidup berdampingan, tapi sejarah kolonial telah memisahkan keduanya—diam-diam namun sistematis.

 

Warisan Leluhur di Tengah Tekanan Zaman

Tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar tempat berpijak. Ia adalah sumber hidup, tempat bernaung, dan ruang warisan yang menghubungkan manusia dengan leluhur serta Sang Pencipta. Di emapt kesultanan pada umumnya, tanah dianggap sebagai titipan yang harus dijaga demi anak cucu. Tanah menyimpan bukan hanya hasil bumi, tapi juga sejarah, nilai, dan jati diri.

 

Namun, cara pandang ini sering kali bertabrakan dengan logika negara dan pasar. Negara melihat tanah sebagai aset yang harus didaftarkan, diukur, atau diberikan izin kepada perusahaan. Pasar melihat tanah sebagai ruang produksi, tambang, atau kebun yang bisa disewakan atau dijual. Di tengah dua kekuatan ini, masyarakat adat sering kali tersingkir. Tanah yang telah mereka jaga turun-temurun bisa tiba-tiba dinyatakan sebagai “tanah negara” hanya karena tidak memiliki sertifikat.

 

Dulu, pada zaman kolonial, pemerintah Belanda juga mengakui tanah adat secara terbatas, tetapi tetap menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka mencatat tanah sebagai "tanah milik sultan" atau "tanah negeri", tapi tetap saja izin tambang atau perkebunan dikeluarkan atas nama kekuasaan kolonial. Pengakuan itu hanya formalitas—agar masyarakat adat tidak melawan langsung, sementara hasil bumi tetap bisa diambil.

 

Hari ini, praktik serupa masih terjadi. Tanah adat diakui, tapi hanya di atas kertas. Contohnya misalnya tanah adat di Halmahera Timur yang disampaikan oleh Djojau Kesultanan Tidore—bahwa, tanah adat tiga sangaji di Gam Range (Maba, Patani. Weda), memiliki batas sebagai berikut:

 

“Garis batas wilayah Sangaji Maba dengan Sangaji Patani dan Sangaji Weda dimulai dari patok yang ditetapkan oleh Sultan Tidore dan para Sangaji (yakni Kali Get) kemudian menuju Gunung Damuli dengan arah Barat Daya, dari Gunung Damuli ke arah Barat Laut. 

 

Selanjutnya dari Gunung Bial/Puspuso garis garis batas Sangaji Maba dilanjutkan menuju Gunung Bial/Puspuso batas Sangaji Maba masih mengarah ke Barat Laut yakni ke Gunung Woto-Woto sekitar Sungai Ake Jira, batas sangaji dilanjutkan ke arah Barat Daya menuju Sungai Ake Tajawi (yang bermuara ke Tanjung Cingacinga sekitar Teluk Payahe), Dari Sungai Ake Tajawi dimaksud, garis batas sangaji dilanjutkan ke sekitar Bukit Tabalolo bagian Timur, selanjutnya menuju ke daerah Hate Tabako dekat Dodinga (Bobane Mobon).

 

Garis batas Sangaji Maba selanjutnya membelah Teluk Kao (sebelah Timur Pulau Bobale) kemudian ke arah Timur Laut mengikuti Tanjung Jara-Jara dilanjutkan menuju arah Tenggara sampai sebelah Timur Pulau Jiew. Garis batas Sangaji Maba dilanjutkan ke arah Barat kemudian ke arah Selatan membelah lautan antara Pulau Sayafi dengan Pulau Halmahera. Dari garis batas sebelumnya dilanjutkan ke arah Barat (muara Kali Get) selanjutnya mengikuti alur Kali Get menuju patok yang telah di tetapkan oleh Sultan Tidore dan para Sangaji, sehingga batas Sangaji Maba secara keseluruhan membentuk kurva tertutup (Temu Gelang)”.

Gambar: Peta Wilayah Kesultanan Tidore, serta batas tanah yang dimiliki oleh Sangaji Maba, Patani, dan Weda di Halmahera Timur.

Tanah-tanah adat yang disebutkan di atas, ketika investasi masuk, masyarakat sering tak punya suara yang cukup kuat untuk menolak. Mereka dianggap “penghambat pembangunan”, padahal sesungguhnya merekalah penjaga tanah yang paling setia. Karena itu, kita perlu mengubah cara memandang tanah. Tanah adat bukan hambatan, melainkan pengetahuan hidup yang diwariskan turun-temurun. Ia mengajarkan kita soal batas, tentang cukup, tentang hidup berdampingan dengan alam. Menjaga tanah adat bukan soal nostalgia, tetapi soal menjaga masa depan—agar generasi yang akan datang masih punya ruang untuk hidup, bernapas, dan bermakna.


Share:
Komentar

Terkini