Banau: Pahlawan yang Kalah oleh Pena Pejabat

Editor: Irfan Ahmad author photo

Hari ini, tepat 111 tahun lalu, 13 September 1914, Jailolo diguncang oleh sebuah peristiwa bersejarah. Akar persoalannya adalah balasteng—pajak kolonial yang menjerat rakyat Halmahera. Dari sebuah kampung kecil bernama Tu(w)ada, seorang pemuda bangkit memimpin perlawanan. Dialah Banau, nama yang kemudian abadi dalam ingatan masyarakat sebagai simbol keberanian orang Halmahera.

Dalam serangan pertama yang dipimpinnya, Controleur Agerbeek bersama tiga serdadu Belanda tewas. Peristiwa itu lalu dikenang sebagai Robulamo atau Perang Jailolo 1914–1915. Bagi Belanda, perlawanan ini dianggap pemberontakan (rebellen), tetapi bagi rakyat, Banau adalah tanda bahwa martabat tidak bisa dibeli dan penindasan tidak bisa diterima.

 

Khawatir perlawanan meluas, Belanda mengirim pasukan khusus dari Manado, Makassar, dan Ambon: Marsose, Tentara Reguler, hingga Polisi Kolonial. Semua dikerahkan hanya untuk memburu Banau. Perburuan itu brutal. Tiga kampung—Tuada, Todowongi, dan Porniti—dibakar hingga rata dengan tanah. Warganya terpaksa mengungsi, hidup berpindah-pindah di hutan demi bertahan hidup.

 

Dalam pelarian panjang itu, Banau dan pengikutnya kehilangan banyak saudara. Ada yang gugur di medan perang, kelaparan, dan mati karena luka dan sakit. Mereka meninggalkan keluarga, memilih hidup di hutan, hanya demi satu tekad—menolak tunduk, menolak membayar pajak. Sementara itu, banyak rakyat ditangkap, dipenjara, dan diperlakukan dengan sewenang-wenang.

 

Selama setahun penuh Banau menjadi buruan. Jejak perlawanan bahkan menyebar hingga Halmahera, pulau Hiri, dan Ternate. Namun akhirnya, di sebuah tempat bernama “Buku Konora”, Banau ditangkap. Ia masih sempat melawan, tetapi dilumpuhkan dengan timah panas, lalu dibawa ke penjara. Tidak lama kemudian, kolonial menjatuhkan vonis mati.

 

Hari eksekusi itu menjadi tontonan massal. Belanda sengaja mengumpulkan rakyat untuk menyaksikan Banau digantung—sebuah upaya menanamkan rasa takut. Tetapi hasilnya justru sebaliknya: yang tertanam adalah ingatan tentang keberanian seorang anak muda yang menantang kekuasaan besar dengan keyakinan teguh.

 

Kini, nama Banau hidup dalam ruang publik, seperti  Akademi STPK Banau di Jailolo, Batalyon Infanteri Raider Khusus 732/Banau, Taman Makam Pahlawan Banau di Ternate, Aula Banau Universitas Khairun, hingga nama-nama jalan di Ternate dan Halmahera. Semua itu adalah penanda memori kolektif, bukti bahwa perjuangan Banau tak pernah mati.

Banau, Pahlawan yang Dikalahkan Meja Birokrasi

Namun, di balik penghormatan simbolik itu, ada ironi yang sulit ditelan. Pertanyaannya: sampai kapan pengakuan negara atas pengorbanan Banau ditunda?


Sejak 2023, naskah akademik Banau sebenarnya sudah rampung. Dukungan masyarakat jelas, persyaratan administratif terpenuhi. Tetapi hingga 2024 dan 2025, pengusulan Banau sebagai Pahlawan Nasional tak kunjung diajukan. Bahkan, naskah itu belum juga disidangkan di tingkat TP2GD Provinsi Maluku Utara.

 

Apakah meja birokrasi lebih kuat dari sejarah? Ataukah nama Banau hanya laku dijual ketika musim kampanye, lalu menghilang ketika kursi kekuasaan sudah nyaman diduduki?


Sejak 2007, pemerintah Halmahera Barat menghabiskan anggaran rakyat, bahkan mengirim tim ke Belanda untuk menelusuri arsip. Dua dekade kemudian, ketika naskah akademik akhirnya selesai, pemerintah justru berhenti melangkah. Apa gunanya biaya, riset, dan dukungan publik jika hasilnya hanya diam?

 

Tiga bupati sudah berganti. Banau terus dipakai sebagai isu politik yang seksi di Jailolo. Ironisnya, seorang pejuang yang dulu gugur melawan kolonialisme, kini justru “dikalahkan” oleh kolonialisme gaya baru: birokrasi malas dan politik penuh janji kosong. Banau tidak tumbang oleh peluru Belanda, melainkan oleh pena pejabat yang enggan menandatangani berkas.

Sumber: indotimur.com

Stop Jadikan Banau Isu Politik Murahan

Cukuplah. Jangan lagi ada janji kampanye soal Banau jika hanya dijadikan umpan suara. Fakta sudah jelas: naskah akademik selesai sejak 2023, dukungan publik bulat, tetapi pemerintah daerah tetap diam. Ini bukan soal kelayakan Banau, melainkan soal keseriusan pejabat.

 

Kalau pemerintah tidak sungguh-sungguh, lebih baik berhenti menjual nama Banau. Jangan biarkan pengorbanan seorang pejuang yang rela mati demi negeri dipermainkan untuk kepentingan politik sesaat. Itu bukan hanya pengkhianatan terhadap sejarah, tetapi juga penghinaan bagi keluarga, masyarakat, dan generasi yang masih percaya pada nilai perjuangan.


Banau sudah memenuhi semua syarat seorang Pahlawan Nasional: membela kebenaran, menolak penindasan, tidak menyerah hingga akhir hayat. Penundaan pengusulannya hanya menyingkap satu hal—pemerintah tidak serius.

 

Sejarah yang seharusnya jadi fondasi bangsa, justru dipinggirkan oleh kalkulasi politik jangka pendek. Jika ini terus berlanjut, maka catatan sejarah akan menuliskan: pengkhianatan terhadap Banau bukan datang dari penjajah, melainkan dari anak negeri sendiri.



Share:
Komentar

Terkini