Ridha Ajam di Mata Saya: Lebih dari Sekadar Pemimpin

Editor: Irfan Ahmad author photo

Di lingkungan Universitas Khairun, nama Dr. M. Ridha Ajam, M.Hum bukanlah nama yang asing. Mahasiswa, dosen, hingga pegawai kampus biasa menyapanya dengan panggilan “Pak Ridha.” Sementara di lingkaran sahabat dekat, sapaan itu kian sederhana menjadi “Pak Rid.” Dari cara orang memanggilnya saja, kita bisa merasakan kedekatannya dengan berbagai kalangan—hadir dengan kehangatan yang membuat jarak antara pemimpin dan yang dipimpin seolah hilang begitu saja.

Senyumnya sering muncul di sela obrolan, gaya bicaranya tenang tapi tetap tegas, dan tatapannya selalu penuh perhatian pada lawan bicara. Dari kesederhanaan sikap itulah wibawa seorang pemimpin sejati begitu terasa.

 

Tentu, ada kalanya beliau bisa marah bila kesalahan yang dilakukan benar-benar fatal dan merugikan banyak pihak. Sebagian orang bahkan menyebut momen itu sebagai “gas full.” Namun, bagi saya pribadi, pengalaman itu tak pernah saya alami. Yang saya rasakan justru kebijaksanaannya. Lagi pula, bagi orang timur, suara keras bukanlah tanda dendam; begitu selesai marah, semuanya kembali biasa. Begitu juga dengan beliau—marahnya tidak pernah berlama-lama, dan selalu lahir demi kebaikan.


Saya masih mengingat dengan jelas satu momen penting, ketika saya berada di persimpangan keputusan mengundurkan diri dari Ketua Program Studi. Saat itu hati saya diliputi keraguan, antara bertahan atau melepaskan. Alih-alih menekan atau menghakimi, beliau memilih untuk mendengarkan. Dengan sabar beliau menyimak alasan saya, lalu menyampaikan nasihat singkat yang begitu menenangkan; “Bila itu telah menjadi keputusan, silakan.”


Kalimat sederhana itu, tanpa pretensi atau tekanan, justru membekas dalam diri saya. Dari sana saya belajar, bahwa seorang pemimpin tidak selalu harus mengikat orang dengan kekuasaan, melainkan memberi ruang bagi setiap orang untuk berdiri dengan pilihan, tanggung jawab, dan merdeka dengan pilihan sendiri. Hingga hari ini, nasihat itu masih saya pegang sebagai pengingat, bahwa kebijaksanaan sejati sering lahir dalam kesederhanaan kata.


Bagi Fakultas Ilmu Budaya (FIB), tempatnya berkiprah dan menorehkan banyak cerita, beliau bukan sekadar seorang tenaga pendidik. Beliau adalah teladan. Dari kesehariannya, orang belajar arti kerja keras yang tidak mengenal pamrih, disiplin yang tidak kaku namun penuh keteguhan, ketulusan yang lahir dari hati, dan kesederhanaan yang justru memancarkan wibawa. Kehadirannya di kampus sering dipandang bukan hanya dalam kapasitas akademik, melainkan juga sebagai pribadi yang membimbing, mendengar, dan merangkul.

 

Pak Ridha adalah tipe pemimpin yang tidak merasa lebih tinggi daripada yang lain. Ia berjalan berdampingan, tidak segan untuk menanyakan kabar, memberi dorongan semangat, hingga menanggung beban orang lain dengan tulus. Baginya, memimpin bukan hanya tentang mengatur, melainkan tentang hadir di saat dibutuhkan—baik dalam suka maupun duka. Dari situlah banyak yang kemudian menganggapnya lebih dari sekadar rektor, dosen, atau pimpinan; ia adalah orang tua, sahabat, sekaligus panutan.

 

Awal Kedekatan

Saya pertama kali mengenal beliau lebih dekat pada awal 2005. Kala itu, Lembaga Makuwaje merayakan ulang tahun, dan komunitas kami, Matahati 66, mementaskan teater bertema korupsi. Pertunjukan berdurasi 25 menit itu digelar di Aula Hotel Ayu Lestari, Bastiong, Ternate Selatan. Malam itu, lampu sorot menyapu panggung kecil kami, penonton memenuhi kursi-kursi, dan di antara mereka ada sosok yang tersenyum dan tertawa di bagian-bagian penuh sindiran kepada penguasa rakus. Sosok itu adalah Ridha Ajam.

 

Sejak malam itu, hubungan kami melampaui sekadar kenal nama. Antara tahun 2005 hingga 2010, namanya semakin sering terdengar. Ia dikenal luas di Maluku Utara karena kiprahnya dalam gerakan antikorupsi. Diskusi-diskusi akhir pekan bertajuk Secangkir Kopi yang digagas oleh Matahati kerap dihadirinya. Konsistensi sikapnya membuat beberapa pejabat akhirnya harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.

 

Saya masih ingat satu peristiwa di Halmahera Barat pada tahun 2018. Seorang bapak yang melihat kami bertanya, “Nyong, itu Pak Ridha Ajam, to?” Wajahnya berbinar saat mendengar jawaban saya. Ia lalu meminta berfoto bersama. Seusai kejadian itu, Pak Ridha hanya tersenyum kecil, “Kadang-kadang aneh juga ya, nama kita bisa lebih dulu dikenal daripada wajah kita.”

 

Sederhana, tapi itulah Ridha Ajam.

 

Tebings dan Semangat Tanpa Harga

Tahun 2018 menjadi salah satu titik penting dalam perjalanan bersama beliau. Di sebuah ruang sederhana, Laboratorium Ilmu Sejarah, kami kembali duduk satu meja. Bersama Pak Andi Sumar Karman, Pak Safrudin Abdulraman, dan beberapa dosen FIB diskusi kecil yang awalnya mengalir begitu saja akhirnya menelurkan sebuah gagasan besar, mendirikan lembaga kebudayaan.

 

Beberapa hari kemudian, di rumah Pak Andi Sumar Karman yang terletak di dataran agak tinggi, gagasan itu semakin matang. Dari perbincangan santai di beranda rumah, kami sepakat memberi nama lembaga itu Yayasan The Tebings. Nama yang lahir begitu spontan dari suasana, terdengar nyeleneh pada mulanya, namun justru melekat kuat hingga kini.

 

“Tebing(s)” menjadi simbol yang penuh makna, ketinggian, keteguhan, dan jalan terjal yang tidak semua orang sanggup menapaki hingga ke puncak. Hanya mereka yang berani berusaha, berkomitmen, dan konsisten yang bisa bertahan. Dari situlah lahir istilah khas di antara kami, “menebings”—sebuah ungkapan yang merefleksikan semangat untuk terus mendaki (bekerja) bersama, menantang kesulitan, demi kebaikan yang lebih besar di hari esok.

 

Sejak awal, Ridha Ajam menekankan, “Jangan kerja demi uang semata.” Kalimat itu menjadi prinsip yang mengikat kami. Banyak program dijalankan tanpa bayaran, meski ada janji pemerintah yang tak ditepati. Sesekali saya menulis sindiran di media sosial, tapi beliau selalu mengingatkan, “Kalau bisa hapus, jangan sampai menyakiti orang, apalagi di ruang publik.”
 

Beliau menegur dengan kelembutan, bukan kemarahan. Transparansi, kejujuran, disiplin, dan ketepatan waktu adalah nilai yang selalu beliau jaga. Saya ingat, bahkan saat hujan lebat, ia tetap tiba lebih awal daripada jadwal pertemuan. 

 

Jejak di Universitas Khairun

Prestasi telah ditorehkannya sejak menjadi dosen, baik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) dan Fakultas Ilmu Budaya, kampus selalu menjadi rumahnya. Kerja keras, kejujuran, dan disiplin membawanya menapaki berbagai posisi dan jabatan strategis di Universitas Khairun, sepert; Pembantu Dekan III FKIP (1994–1997), Ketua LP3M (2004–2006), Kepala LPPM (2004–2006), Wakil Rektor IV (2009–2011), Pembantu Rektor III (2011–2014), Wakil Rektor I (2014–2017), Ketua Senat (2017–2018), dan Ketua LP3M (2018-2021). 

Selama menjabat, tak pernah terdengar kabar miring soal penyalahgunaan anggaran. Beliau sering berpesan, “Rezeki itu bukan hanya uang, tapi kesehatan dan juga kepercayaan orang.” Pengalaman panjang itulah yang akhirnya mengantarkannya terpilih sebagai Rektor Universitas Khairun masa bakti 2021–2025.

 

Meski menjadi rektor, kesederhanaannya tak berubah. Saya sering mendapati beliau masih mencuci mobil, bersih-bersih halaman rumah, meluangkan waktu mengatar dan menjemput anak-istri di sekolah sendiri. Sementara di kampus, beliau tetap menyapa siapa saja yang ditemuinya.

 

Di bawah kepemimpinannya, Unkhair semakin terbuka menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah, kabupaten, kota, hingga provinsi. Dukungan pemerintah juga nyata, berupa pembangunan gedung baru yang selalu diterima dalam bentuk barang jadi, bukan dana segar. Itu semua karena beliau tidak ingin ada intervensi dalam proyek pembangunan, apalagi keuntungan pribadi.

 

Suatu ketika, ada yang menyelipkan “ucapan terima kasih” dalam bentuk fee. Dengan tenang, beliau menolak dan berkata, “Kalau mau membantu, bantulah kampus. Bukan saya pribadi.” Sikap tegas itu membuat lawan bicaranya terdiam sekaligus menegaskan prinsip hidupnya, tidak mencampuradukkan urusan pribadi dengan kepentingan institusi.

 

Integritas itulah modal utama kepemimpinannya. Beliau lebih bahagia melihat kampus mendapatkan fasilitas baru daripada menerima keuntungan pribadi. Sikap inilah yang membuat banyak orang menaruh hormat.

 

Prinsipnya sederhana—pendidikan adalah kunci masa depan Maluku Utara. Kerja keras, disiplin, dan kejujuran mengantarkannya dipercaya sebagai anggota Dewan Pendidikan Tinggi periode 2025–2029, meski masih menjabat sebagai Rektor Unkhair.

 

Nasihat dan Tindakan yang Melekat

Bagi Ridha Ajam, rezeki bukan sekadar uang. Rezeki adalah kesehatan, kepercayaan, dan keberkahan hidup. Itulah sebabnya ia selalu menolak mencampuradukkan urusan pribadi dengan kepentingan institusi.

 

Suatau saat, saya pernah mengutarakan keinginan ikut seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) di salah satu kabupaten/kota.  Ia mendengar dengan tenang, lalu menatap saya lama, “Baiknya tetap mengajar, meneliti, dan menulis. Godaan di luar terlalu banyak. Kalau waktunya tiba, Allah akan kasih jalan.”

 

Kalimat itu bukan sekadar nasihat, melainkan pesan seorang guru kehidupan. Ia juga kerap mengingatkan dan pastikan, “Segala yang kita bawa pulang untuk anak-istri harus halal, supaya berkah dunia akhirat.”

 

Di balik semua jabatan dan prestasinya, ada sisi personal yang melekat dalam hidup saya. Saat ayah saya sakit, beliau tidak pernah alpa menanyakan kabar, memberi semangat, bahkan turut membantu biaya pengobatan. Hingga pada hari paling berat—ketika ayah saya kritis sampai berpulang—beliau orang pertama hadir, sejak pagi meninggalkan segala urusan serta pekerjaan dan memilih berada di sisi saya.

 

Dengan ketulusan yang jarang saya temui, beliau menanggung seluruh biaya administrasi hingga transportasi untuk membawa almarhum pulang ke kampung halaman, bahkan mengurusnya seolah itu urusan pribadinya. Di tengah duka itu, saya belajar bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya soal kata-kata, melainkan keberanian untuk hadir dan berbuat nyata.

 

Banyak ajaran dan kebaikan beliau yang tak akan pernah cukup dituangkan hanya dalam kata-kata. Saat saya menulis kenangan ini, saya menyadari betapa Ridha Ajam bukan sekadar dosen, rektor, atau pembina yayasan—ia adalah guru kehidupan, sosok yang menanamkan nilai kesederhanaan, kejujuran, disiplin, dan keberanian untuk selalu menjaga integritas.

 

Saya bangga pernah mengenalnya, bangga pernah berjalan di sampingnya, menyaksikan keteladanan yang bukan sekadar diucapkan, tetapi juga nyata dalam setiap tindakan. Kehadirannya menegaskan bahwa kepemimpinan sejati bukan hanya soal jabatan, tetapi soal hati yang tulus, keberanian untuk hadir di kala dibutuhkan, dan kesediaan memberi tanpa pamrih.

 

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Bapak Dr. M. Ridha Ajam, M.Hum., atas dedikasi, kerja keras, dan pengabdian yang telah Bapak berikan selama memimpin Universitas Khairun. Di bawah kepemimpinan Bapak, kampus ini tidak hanya berkembang dalam prestasi akademik, tetapi juga bertumbuh dalam semangat kebersamaan, integritas, dan budaya ilmiah yang sehat.

 

Jabatan Rektor merupakan sebuah amanah besar sekaligus perjalanan penuh tantangan. Namun, Bapak telah menunaikannya dengan ketulusan, komitmen, dan keteguhan hati. Jejak kepemimpinan Bapak akan senantiasa dikenang sebagai bagian penting dalam sejarah Universitas Khairun.


Semoga masa setelah kepemimpinan ini menjadi babak baru yang penuh berkah dan kebahagiaan. Dalam sambutan Dies Natalis ke-61 Universitas Khairun, Bapak juga menegaskan—berulang kali—bahwa kita semua memiliki kewajiban untuk memberikan dukungan penuh terhadap visi dan misi Rektor terpilih, Prof. Dr. Abdullah W. Jabid, SE., MM (2025–2029). Pesan tersebut menjadi bentuk keteladanan dan penegasan akan pentingnya keberlanjutan kepemimpinan.

 

Kami mendoakan, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kesehatan, kekuatan, dan kebahagiaan kepada Bapak beserta keluarga. Semoga Bapak terus menjadi sumber inspirasi dan teladan, baik di dunia akademik maupun dalam kehidupan masyarakat luas.

 

Terima kasih, untuk sekian kalinya Bapak Dr. M. Ridha Ajam, M.Hum., atas segala yang telah Bapak tanamkan. Jejak pengabdian Bapak akan senantiasa hidup dan dikenang.

Share:
Komentar

Terkini