![]() |
Sagea, 1900. Sumber MVO, 1923 |
Sudah cukup kita melihat banyak sungai-sungai di wilayah Teluk Weda ini rusak akibat pertambangan: seperti Ake Kobe, Woe Sna, dan Ake Waleh.
Sungai Sagea adalah nafas dan harga diri kita: sungai yang selama ini kita jadikan sebagai sumber penghidupan, bahkan dikeramatkan oleh leluhur kita.
Untuk itu Koalisi Selamatkan Kampung Sagea atau #SaveSagea menyerukan untuk bergerak menghentikan operasi PT. WBN di Wilayah Sagea Atas, pada 28 Oktober 2023.
#SaveSagea #SaveBokimoruru
![]() |
Dalam salah satu unggahannya di media sosial, Adlun dengan tegas mengkritik aktivitas tambang nikel yang telah mencemari Sungai Sagea |
Sagea merupakan benteng terakhir yang kini tengah terancam oleh aktivitas pertambangan. Mengapa demikian? Karena bagi masyarakat Sagea, wilayah ini adalah warisan leluhur yang harus dijaga dan dilestarikan sejak dahulu kala.
Dalam keyakinan masyarakat Sagea, menurut Junaidi Muslim, bahwa kawasan ini adalah warisan leluhur yang bukan hanya ditinggalkan dalam bentuk tanah dan air, tapi juga dalam ingatan, cerita, dan kesadaran kolektif untuk merawatnya. Di jantung wilayah ini mengalir Sungai Bokimaruru—sungai yang bukan sekadar sumber air, tetapi juga ruang sakral yang menyimpan jejak pertemuan cinta, kisah asal-usul, dan nilai-nilai hidup yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Jejak Lisan di Sungai Bokimaruru
“Boki” dalam bahasa Tidore berarti "putri", sementara “maruru” bermakna "menghanyutkan diri". Maka, secara harfiah, Bokimaruru dapat dimaknai sebagai "putri yang menghanyutkan diri". Namun, makna ini tak sekadar terikat pada arti kata semata—ia menyimpan jejak memori kolektif dan cerita yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.
Junaidi Muslim, menjelaskan bahwa Bokimaruru berasal dari bahasa Tidore. Jika dimaknai dalam konteks hari ini, kata itu merujuk pada sosok putri yang senang menghanyutkan dirinya di sungai menggunakan sebatang kayu sebagai pelampung saat mandi. "Itu gambaran tentang cara mandi yang dulu biasa dilakukan."
Menariknya, meski penamaannya menggunakan bahasa Tidore, cerita rakyat yang menyertainya justru dituturkan dalam bahasa Sawai—bahasa ibu yang hidup di komunitas kami. Cerita ini terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat, dituturkan dari mulut ke mulut, dari para tetua kepada anak-anak kampung. Adapun kisah yang diwariskan turun-temurun itu, kira-kira berbunyi sebagai berikut:
Tatube’ renimonemya iso tangosnu Mon Takawai tanhidup po woyelapo woyenje ngosnu woye kobe’ nuanco i nfasiloloa poini gaeregelesili bonayowe betbetta fie. Noenco mon Takawaie renfane nadikei po gougou esoli tanrasa fierebirahi tangosnu woye Geplune, bongore ie ntoleni gougou tancei. Nuanco, Mon Takawaie nfan naleye ndedele woya lapo, bongore i nfatoni po yaipopu naraken woye klalo (mulut gua).
Nega dolo nlonge gagline po woyelone kngate rcepe. Tabongo, nosele se nfane naraken nelie po gagline lone nega, Mon Takwaie namnau mapiniso ncep po woye wlowlone se naraken nalie kngatenje nawowe nalie po loyelo bongo namyangese. I wlone nje nfolpolnei, bongore Mon Takwaie nfanpa se ibepoce bonfofton mapinenje. Nega fotue mapinenje i poce. Mapinenje nbirahi tue nwom mule. Bongo re Mon Takwaie nkakemi se nuti neleyei umelo nfesengo i ni gae regele narore bo nouso’oi. Mapinenje ingosno Sari Madago.
Rowsowe rewore, bongo re sidongen lowe rpolense naleye note rdedele woyenje re yele po siriri gougou tarfakduke tatube lone (di mulut gua). Bongo re Sari Manago naror poini monenjeli boncepe. Nlonge i ni mapine narore boncepene bongo Mon Takwaie naleloi. Bongo nacego i ni mapine, fanofe kla nje dadi gougou re iterir gogoru. Ya nase kfangosnu fonofenje Boki Moruru. Boki Moruru maiten Torolene (Tidore) mapin ta namyalene.
Terjemahan:
Dahulu, ada seorang pemuda yang bernama Mon Takawai yang hidup di tepi muara sungai Kobe. Suatu hari, ia meminta izin pada keluarganya mencari tanah subur untuk berkebun. Dalam perjalanannya, Mon Takawai menemukan satu tempat yang cocok untuk ditempati keluarganya, yaitu di muara sungai yang kala itu diberi nama “Geplun” (Sagea). Suatu saat, Mon Takawai menyusuri tepian sungai menuju ke hulu dan beristirahat di bawah sebatang pohon dekat pintu masuk gua.
Saat sedang beristrahat, Mon Takawai mendengar suara orang sedang mandi. Ia bangkit dan mendatangi asal suara. Begitu mendekat, Mon Takawai melihat sosok perempuan tengah berendam di sungai tersebut. Ketika didekati, sosok itu lantas berenang menuju dinding batu (batu cadas) dan menghilang. Merasa penasaran, Mon Takawai memutuskan tetap berada di tempat tersebut untuk berjaga-jaga dengan harapan dapat bertemu kembali perempuan tersebut. Penantiannya tidak sia-sia. Perempuan cantik itu datang kembali. Mon Takawai pun membawa pulang gadis yang diketahui bernama Sari Madago dan meminta restu untuk menikah.
Setelah menikah, pasangan ini kembali menyusuri sungai dengan sampan. Setibanya di gerbang sungai, Sari Madago meminta izin suaminya untuk mandi di dekat gua tempat mereka bertemu. Mendengar permintaan sang istri, Mon Takawai mengiyakan sembari berkata, “Istriku, gerbang ini menjadi saksi cintaku kepadamu yang senang menghanyutkan diri saat mandi di sungai, jadi gua ini kuberi nama Bokimaruru”. Boki Maruru dalam bahasa Tidore artinya putri yang menghanyutkan diri.
Ketika Sungai Menjadi Saksi Cinta dan Asal Usul Komunitas
Cerita ini mengisahkan tentang kisah cinta antara Mon Takawai dan Bokimaruru yang dibuktikan dengan penamaan Gua Bokimaruru. Kisah ini menggambarkan fase awal migrasi atau perpindahan komunitas ke wilayah yang kini dikenal sebagai Sagea. Tokoh Mon Takawai sebagai pencari tanah subur mencerminkan tradisi orang Maluku Utara dalam menjelajahi dan membuka wilayah baru untuk kelangsungan hidup. Wilayah Geplun (kini Sagea) dipilih karena kesuburannya dan keberadaan sungai yang vital—sebuah indikator peradaban tradisional yang selalu dekat dengan air sebagai sumber kehidupan.