Ketika Tambang Mengusik Tanah Leluhur

Editor: Irfan Ahmad author photo

Peta wilayah kekuasaan Kesultanan Tidore dan Ternate di Maluku Utara abad XVII-XX

Toko foro toma bira, yo reke soha
Bebe tobo toma ake, yo reke gorore


Artinya: “Ayam mengeram dalam beras, menjerit kelaparan. Itik berenang di atas air, menjerit kehausan.”

 

Petikan dolabololo di atas bukan sekadar untaian kata puitis. Ia adalah suara—suara kegelisahan rakyat kecil yang hidup dalam paradoks: tinggal di atas tanah yang kaya, namun tetap miskin. Di tanah yang subur, di laut yang melimpah ikan, masyarakat tetap menjerit lapar dan haus. Ini bukan metafora—ini kenyataan.

 

Sultan Tidore, Muhammad al-Mabus Amiruddin Syah (1797–1805), telah lama membaca ketimpangan ini. Perlawanan beliau terhadap VOC bukan sekadar mempertahankan kekuasaan, melainkan membela rakyat dari kerakusan kolonialisme yang mengeksploitasi bumi dan meninggalkan derita. Dalam semangat itulah dolabololo hidup: sebagai ekspresi perlawanan dan kritik sosial.

 

Sayangnya, ironi yang digambarkan dolabololo masih terus bergema hari ini. Di Maluku Utara, tambang nikel dan emas dibuka, hasil laut diekspor, namun masyarakat adat hanya mendapat sisa. Infrastruktur terbatas, pendidikan minim, dan suara mereka nyaris tak terdengar dalam pengambilan keputusan. Dolabololo seakan menegur kita semua: "Apa gunanya tanah yang kaya bila manusianya tetap menderita?"

 

Pertambangan nikel di Maluku Utara, terutama di Halmahera Tengah dan Timur, berkembang pesat dalam 7 tahun terakhir. Tapi di balik geliat industri ini, muncul ketegangan dan konflik sosial. Wilayah tambang ini dulunya bagian dari Kesultanan Tidore dan masih dihuni oleh komunitas adat yang punya sistem sosial dan hukum sendiri. Masalah muncul karena ada tumpang tindih klaim atas tanah—antara sejarah, negara, dan kepentingan perusahaan tambang. Untuk meredakan konflik, tulisan ini menyarankan agar hak-hak adat diakui berdasarkan sejarah politik lokal, serta pentingnya membangun ruang dialog antara semua pihak, dari tingkat lokal hingga nasional.

 

Warisan Kesultanan dan Ingatan Kolektif Komunitas Adat

Bagi komunitas adat di Halmahera Tengah dan Timur, tanah yang mereka diami bukan sekadar tempat tinggal, tetapi bagian dari warisan sejarah Kesultanan Tidore—sebuah kerajaan besar yang pernah menguasai wilayah-wilayah pesisir dan pedalaman Halmahera. Hingga kini, banyak warga lokal masih menganggap wilayah mereka sebagai bagian dari kekuasaan kesultanan, dan tetap memegang teguh nilai-nilai adat dalam mengelola tanah dan sumber daya.

 

Namun, tidak adanya pengakuan formal dari negara terhadap batas-batas wilayah adat menciptakan celah hukum yang dimanfaatkan oleh industri tambang. Perusahaan bisa masuk dan beroperasi tanpa sepenuhnya mempertimbangkan hak-hak masyarakat lokal. Dalam dua dekade terakhir, perluasan tambang nikel di wilayah timur Indonesia, termasuk di Halmahera Tengah dan Timur, menjadi bagian dari proyek pembangunan nasional. Di balik geliat investasi ini, tersimpan konflik laten: komunitas adat merasa mereka tidak dilibatkan dan bahkan dikorbankan dalam proses pembangunan tersebut. Sementara itu, ingatan kolektif mereka tentang hak atas tanah dan ruang hidup masih kuat tertanam.


Sejarah mencatat bahwa wilayah ini dulunya adalah bagian penting dari kekuasaan Kesultanan Tidore, salah satu kekuatan maritim terbesar di kawasan timur Indonesia. Kesultanan ini memiliki jaringan kekuasaan hingga ke Papua Barat dan dikenal memiliki hubungan patron-klien dengan komunitas adat yang disebut soa (Andaya, 1993). Dalam sistem lokal, penguasaan atas tanah diatur melalui sistem adat yang disebut lalendo (Bachtiar, 2009).

 

Sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar tambang adalah etnis Sawai. Mereka memiliki ikatan budaya dan sejarah yang disebut “Gam Range”, yang berarti “tiga negeri”: Weda, Patani, dan Maba. Ketiganya diyakini sebagai penduduk awal Jazirah Tenggara, Selatan, dan Timur Halmahera, yang kini masuk dalam wilayah Kabupaten Halmahera Tengah dan Halmahera Timur (Leirissa, 1996). Dalam sistem Gam Range, setiap wilayah memiliki hak otonom untuk mengatur diri sendiri, namun terikat oleh prinsip saling membantu dan menjunjung nilai hidup bersama yang disebut fagogoru.

 

Laporan kolonial Belanda menyebutkan bahwa wilayah ini pernah memiliki pusat-pusat permukiman penting. Di Maba, misalnya, ada kampung-kampung seperti Maba Induk, Lolobata, Laipo, Waci, Buli, dan Wayamli (Cambier, 1872). Di Weda, terdapat sembilan kampung utama seperti Soatime, Kea, Kobe, Wasturo, dan Wayabulan. Jumlah penduduk di wilayah ini pada pertengahan abad ke-19 diperkirakan mencapai 19.500 jiwa (Algemeen Verslag Ternate, 1843).

 

Di daerah pedalaman, komunitas seperti O'Hongana Manyawa (sering disebut orang Togutil) dan Lingon/Lingun hidup secara nomaden, tinggal di hulu-hulu sungai seperti Ake Bebsili, Ake Onat, dan Ake Sosolat (Pereira, 1935). Mereka pun memiliki hubungan sejarah dengan wilayah-wilayah adat yang kini masuk ke dalam konsesi pertambangan. Sejak abad XVI, Kesultanan Tidore dan masyarakat Gam Range sudah terbiasa menolak intervensi asing, termasuk kebijakan VOC dan Belanda. Meskipun saat itu belum ada tambang, perlawanan mereka menyasar kebijakan pajak dan penguasaan tanah yang dinilai menindas (Andaya, 1993).

 

Kini, meskipun kekuasaan kesultanan telah tergantikan oleh sistem administratif negara, ingatan dan struktur sosial lokal masih hidup dalam praktik komunitas. Nilai-nilai lama tetap dijunjung tinggi. Karena itu, sudah seharusnya negara tidak hanya melihat tanah sebagai komoditas, tetapi juga sebagai ruang hidup yang penuh makna historis dan kultural bagi masyarakat adat. Pengakuan terhadap hak adat bukanlah tuntutan sepihak, melainkan bentuk penghormatan terhadap sejarah panjang bangsa ini.

 

Tanah: Bukan Sekadar Lahan, Tapi Warisan Leluhur

Bagi masyarakat adat di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, tanah, hutan, dan sungai bukan hanya sumber penghidupan—mereka adalah bagian dari kehidupan yang sakral. Alam dianggap sebagai ruang yang penuh makna spiritual dan historis. Saat wilayah adat mereka dirusak oleh aktivitas tambang, itu bukan hanya kerusakan lingkungan, tapi juga dianggap sebagai penghinaan terhadap leluhur dan pelanggaran terhadap keseimbangan kosmologis yang telah dijaga turun-temurun.

 

Orang Sawai, salah satu kelompok adat utama di wilayah ini, percaya pada keberadaan Lagae Cekel, leluhur yang diyakini masih menjaga mereka hingga kini. Mereka percaya bahwa Lagae Cekel bisa melindungi dari bencana alam, bahaya manusia, bahkan penyakit. Karena itu, siapa pun yang masuk ke hutan adat tanpa izin dari masyarakat atau tanpa melakukan ritual adat, bisa tersesat atau mengalami nasib buruk, bahkan kematian. Jika ada perusahaan tambang yang ingin masuk, harus lebih dulu meminta izin secara adat melalui upacara khusus kepada roh nenek moyang agar terhindar dari mara bahaya.

 

Kepercayaan ini juga terlihat dari rasa hormat mereka terhadap pohon, batu, dan gua yang dianggap sakral. Orang Sawai percaya roh Lagae Cekel tinggal di sebuah tempat ziarah bernama Lagae Lo’y, yang ada di tengah hutan. Tempat itu dianggap pusat spiritual yang menjaga keselamatan dan keseimbangan lingkungan. Bagi mereka, hutan bukan cuma tempat tinggal hewan dan tumbuhan, tapi juga ruang hidup sekaligus pelindung komunitas. Sungai-sungai yang mengalirkan air bersih dianggap sebagai berkah yang harus dijaga kelestariannya dengan sungguh-sungguh.

 

Di Halmahera Timur, masyarakat adat Maba juga memiliki kisah sakral mereka sendiri. Salah satunya adalah mitos Ake Sangaji, sebuah sungai yang dianggap sebagai sumber kehidupan sekaligus wilayah suci. Hutan di sekitarnya dijaga melalui aturan adat yang ketat. Di masa lalu, masyarakat melakukan ritual di titik-titik tertentu seperti Lolipiyai dan Loliiklei, terutama saat terjadi wabah penyakit, bencana, atau konflik. Ritual itu bertujuan untuk membersihkan kampung secara spiritual dan menjaga harmoni dengan alam.

 

Selain itu, masyarakat Maba juga mengenal sosok Madalamo atau “tuan tanah”, yaitu figur leluhur yang dipercaya pernah menguasai dan melindungi wilayah mereka. Setiap kampung memiliki tuan tanah masing-masing yang disimbolkan dengan hewan tertentu. Misalnya, Madalamo di Wayamli digambarkan sebagai naga; Parasman di Soa Sangaji disimbolkan dengan batang sirih; Lol Piai di Soa Laipo dilambangkan dengan buaya; dan Kulof di Soa Gimalaha digambarkan sebagai ikan paus. Ini adalah bentuk kepercayaan lokal yang menegaskan betapa eratnya hubungan masyarakat dengan tanah mereka.

 

Karena keyakinan ini, tidak mengherankan jika masyarakat adat secara tegas menolak tambang. Mereka menganggap industri ekstraktif sebagai ancaman langsung terhadap hutan, sumber air bersih, dan mata pencaharian seperti berkebun. Tambang juga dianggap merusak keindahan alam dan nilai-nilai budaya yang telah dijaga turun-temurun.

 

Namun perjuangan mereka tidak mudah. Peta wilayah adat sering kali tidak diakui secara hukum dan bertabrakan dengan peta konsesi tambang yang dikeluarkan pemerintah. Akibatnya, advokasi masyarakat menjadi semakin sulit. Pemerintah daerah pun belum memiliki mekanisme hukum yang kuat untuk mengakomodasi sistem kepemilikan tanah adat berbasis sejarah Kesultanan Tidore dan struktur sosial lokal.

 

Meskipun Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No. 35/PUU-X/2012 sudah menyatakan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih berjalan lambat (Safitri, 2015). Padahal, secara internasional, prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) telah menjadi standar penting untuk menjamin keterlibatan komunitas adat dalam setiap proyek pembangunan yang berdampak pada wilayah mereka (Colchester & MacKay, 2004).

 

Hidup Berubah: Antara Janji Kemajuan dan Kenyataan Konflik

Meluasnya wilayah tambang dan banyaknya izin usaha pertambangan (IUP) di Maluku Utara bukan hanya soal manajemen bisnis. Lebih dari itu, ini tentang bagaimana nasib masyarakat lokal diatur—atau malah diabaikan. Dalam praktiknya, perusahaan tambang, terutama di sektor nikel, kerap menghadapi resistensi dari warga yang hidup di sekitar wilayah konsesi. Penelitian Alauddin dkk. (2014) menunjukkan beberapa alasan utama kenapa masyarakat melawan: ganti rugi lahan yang dianggap tidak adil, tumpang tindih klaim kepemilikan tanah, sengketa batas wilayah antar kampung, hingga munculnya pihak ketiga yang memanfaatkan situasi untuk kepentingannya sendiri. Akibatnya, kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan, bahkan pemerintah, makin memudar.

 

Masalah lainnya adalah soal hukum. Masyarakat pemilik lahan sering tidak memiliki perlindungan hukum yang memadai. Banyak yang hanya diberi ganti rugi atas tanahnya, tanpa kompensasi untuk tanaman produktif atau bangunan yang ada di atasnya. Ini tentu menimbulkan ketidakpuasan. Karena itu, dibutuhkan sistem penyelesaian konflik yang adil dan disepakati semua pihak, agar konflik tak terus menyala di bawah permukaan.

 

Sejak perusahaan-perusahaan tambang masuk ke Halmahera Tengah dan Timur, kerusakan lingkungan mulai terlihat nyata. Hutan dibabat, sungai-sungai tercemar, dan sumber penghidupan tradisional—seperti kebun dan hasil hutan—semakin sulit diakses. Orang Sawai yang hidup di sekitar tambang bahkan mengaku kehilangan lahan dan sumber penghidupan mereka. Ketimpangan penguasaan ruang ini, jika tidak segera ditangani, bisa memicu konflik sosial yang serius. 

 

Yang membuat situasi ini makin pelik adalah cara tambang masuk ke wilayah adat. Negara memberi izin operasi kepada perusahaan tanpa mempertimbangkan relasi sosial dan sejarah panjang antara masyarakat adat dan Kesultanan Tidore. Tanpa adanya persetujuan bebas, didahului, dan diinformasikan secara layak (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC), warga merasa proses tersebut cacat sejak awal (Colchester & MacKay, 2004). Akibatnya, protes pun muncul dalam berbagai bentuk: blokade jalan tambang, demonstrasi, hingga kriminalisasi warga yang membela haknya. Dalam banyak kasus, masyarakat tidak sekadar melawan atas dasar ekonomi, tapi juga menggunakan simbol-simbol adat dan sejarah untuk menunjukkan bahwa tanah yang diambil perusahaan bukan hanya aset, melainkan warisan leluhur yang sakral.

 

Teori konflik sosial menjelaskan bahwa konflik muncul saat ada perebutan sumber daya dan relasi kuasa yang tidak seimbang (Coser, 1956; Galtung, 1990). Dalam kasus ini, tambang menjadi pemicu ketegangan karena memaksakan klaim negara dan korporasi ke atas wilayah adat tanpa melibatkan masyarakat secara bermakna. Ketika suara warga tidak didengar, konflik pun menjadi tak terhindarkan (WALHI, 2020).

 

Konflik tambang di Halmahera Tengah dan Timur tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang wilayah ini sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Sistem nilai dan struktur adat yang masih hidup dalam masyarakat bertabrakan dengan model pembangunan yang hanya mengejar investasi. Jika pendekatan negara dan korporasi terus mengabaikan sejarah dan identitas lokal, konflik yang terjadi bukan hanya soal tambang, tetapi juga tentang siapa yang punya hak atas tanah dan masa depan.

 

Maka, menyelesaikan konflik tambang bukan hanya soal hukum, tapi butuh pendekatan lintas disiplin: sejarah, sosial, budaya, hukum, dan ekologi. Tanpa itu, pertambangan hanya akan menjadi bom waktu yang terus menunggu meledak.

Share:
Komentar

Terkini