![]() |
Gambar: Hadjis afkomstig van Ternate te Mekka, 1890. Sumber: KITLV 90604 |
Perjalanan haji saat itu sangat berisiko. Kondisi kapal sering kali buruk, kebersihan dan air minum terbatas, makanan tidak layak, bahkan ancaman penyakit, kejahatan, dan kematian selalu mengintai. Meski demikian, umat Islam tetap berbondong-bondong mendaftar untuk berangkat. Naik haji menjadi cita-cita mulia sekaligus simbol keteguhan iman.
Namun lebih dari sekadar ibadah, naik haji di masa kolonial juga bermakna politis. Banyak tokoh perlawanan—termasuk para ulama dan bangsawan lokal—yang melakukan ibadah haji terlebih dahulu sebelum memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Hal ini memunculkan kekhawatiran serius di kalangan pemerintah kolonial.
Antara tahun 1824 hingga 1859, Pemerintah Hindia Belanda mulai membatasi secara ketat pemberangkatan jemaah haji. Mereka khawatir, sepulang dari Makkah, para haji membawa semangat keislaman dan ide-ide pembebasan yang bisa menyulut perlawanan. Kekhawatiran ini memuncak dengan lahirnya “Ordonansi Haji 1825”, sebuah regulasi yang mengatur dan membatasi jumlah jemaah yang diizinkan berangkat, sekaligus memperketat pengawasan terhadap mereka yang baru pulang dari Tanah Suci. Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Seperti dicatat oleh M. Dien Majid (2008), dalam bukunya Berhaji di Masa Kolonial, pada akhir abad XIX hingga awal abad XX, jemaah haji dari Nusantara menyumbang lebih dari 40% dari total jemaah dunia. Ini jumlah yang sangat besar dan tentu menjadi perhatian serius pemerintah kolonial.
Seorang orientalis ternama sekaligus penasihat pemerintah Hindia Belanda, Snouck Hurgronje, bahkan mengirim peringatan langsung kepada Gubernur Jenderal. Ia menyoroti bahwa naiknya jumlah jemaah haji bisa memperkuat jaringan Islam global dan mendorong semangat anti-kolonial di tanah jajahan.
Haji sebagai Kesadaran Politik
Hari ini, pergi haji mungkin hanya soal mengisi formulir, menunggu antrean, lalu terbang nyaman dengan pesawat menuju Tanah Suci. Tapi coba bayangkan, di masa kolonial dulu, berangkat haji bukan sekadar perjalanan spiritual—ia juga bisa menjadi pernyataan diam-diam melawan penjajahan.
Di masa Hindia Belanda, naik haji sering kali berarti mempertaruhkan nyawa. Perjalanan bisa memakan waktu berbulan-bulan dengan kapal laut, menghadapi ombak, penyakit, dan minimnya fasilitas. Namun lebih dari itu, ibadah haji menjadi momen penting bagi sebagian umat Islam untuk menegaskan jati diri mereka—bahwa iman dan kemerdekaan tidak bisa dipisahkan.
Bagi banyak orang, haji adalah puncak kedekatan dengan Allah SWT. Tapi bagi sebagian lainnya—khususnya di Maluku Utara kala itu—haji adalah juga nyala semangat melawan ketidakadilan. Dari pelabuhan-pelabuhan sunyi, melintasi gelombang Laut Merah, hingga sujud di hadapan Ka'bah, ibadah haji adalah keberanian yang dibungkus doa.
Mereka yang pulang dari tanah suci tidak hanya membawa gelar “Haji”, tapi juga membawa pulang semangat perlawanan. Di surau-surau kecil, dalam obrolan lirih usai salat, mulai tumbuh gagasan tentang kemerdekaan. Para haji ini bukan sekadar peziarah spiritual, melainkan orang-orang dengan visi. Naik haji menjadi wujud kesalehan sekaligus keberanian—bukti bahwa iman bisa menjadi bahan bakar perjuangan.
Yang menarik, hingga akhir abad XIX, gelar “Haji” masih tergolong langka di sebagian besar wilayah Maluku Utara. Tapi ada satu pengecualian yang mencolok: Pulau Makeang. W. Ph. Coolhaas (1926) mencatat dalam Mededeelingen Betreffende de Onderafdeeling Batjan, bahwa di kampung Waigitang (Ngofagita), dari sekitar 500 penduduk, sepertiganya sudah pernah menunaikan haji. Mereka dikenal hidup sederhana dan rajin menabung sedikit demi sedikit demi satu tujuan besar: berangkat ke Makkah.
Jumlah haji yang banyak dari Makeang ini sempat bikin VOC cemas. Masyarakat Makeang dikenal keras kepala terhadap penjajah. Mereka beberapa kali menentang kebijakan VOC, apalagi jika menyangkut tekanan politik terhadap tokoh-tokoh agama Islam. Perlawanan sempat meletus di wilayah Sangaji Ngofagita, Ngafakiha, dan dua Sangaji lainnya di Tahane. Namun menariknya, meski sikap mereka terhadap VOC keras, ajaran Islam di Makeang justru dikenal moderat. Seorang pendeta dari Klasis Walcheren pernah mencatat pada tahun 1647:
Di negeri-negeri pesisir Makeang, penduduk memang memeluk Islam secara ketat namun moderat. Meski VOC membangun tiga benteng kuat di pulau itu, tempat orang Indo-Eropa tinggal bersama anak-anak mereka, orang-orang Makeang tetap tidak mau mengikuti agama kami.
Sayangnya, data resmi soal jumlah haji di masa kolonial memang sangat terbatas. Pemerintah Hindia Belanda bahkan menerbitkan Ordonansi Haji 1825 yang secara ketat membatasi ibadah ini—karena khawatir, para haji yang pulang dari Makkah akan membawa semangat perlawanan dan ide-ide yang bisa mengguncang stabilitas kolonial.
Bagi sebagian tokoh, naik haji bukan sekadar menunaikan rukun Islam kelima. Banyak di antara mereka menetap lebih lama di Makkah, memperdalam ilmu agama, sekaligus berdiskusi tentang nasib bangsa. Di Ternate, dua sultan yang pernah berhaji adalah Sultan Muhammad Ilham (1900–1902) dan Sultan Muhammad Usman (1902–1915). Dalam karya D.G. Stibbe (1939), Enciclopaedie van Nederlandsch Indie, disebutkan bahwa keduanya dikenal dengan gelar “Ou Haji”—sebuah kehormatan bagi pemimpin yang pernah menginjak tanah suci.
Di Ternate, khusus Sultan Muhammad Usman, ia dikenal sangat taat beragama dan berani menentang kebijakan kolonial. Ia diduga terlibat dalam dua peristiwa besar: Perang Kao (1904–1906) dan Perang Jailolo (1912–1915). Kedua perlawanan tersebut dipicu oleh kebijakan pajak dan kerja paksa yang diterapkan pemerintah kolonial (Kolonial Verslag, 1905: 69). Belanda bahkan menyebut rakyat Halmahera sebagai “parasit” bagi kekuasaan Kesultanan Ternate (A. Hueting, 1921).
Akibat peran politiknya, Sultan Muhammad Usman diasingkan ke Pulau Bacan dan kemudian diberhentikan secara resmi dari jabatannya berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tertanggal 23 September 1915, Nomor 47 (Indische Gids, 1930, Vol. 52).
![]() |
Gambar: Kapal pengangkut rombongan jemaah haji yang akan bertolak dari Pelabuhan Ternate, 2 Juni 1954. Sumber: ANRI, Kempen 540602 W1.
Dari Makkah ke Medan Perlawanan
Cerita lain datang dari Patani, Halmahera Tengah. Salahuddin bin Talabuddin, tokoh nasionalis dari wilayah itu, berangkat haji pada 1907 dan tinggal di Makkah selama tiga tahun. Ia kembali ke tanah air pada 1911. Dalam catatan A. Alfaroek (1998) Patani Nfipangan, disebutkan bahwa selama di Makkah, Salahuddin mendalami ilmu agama dan menyerap ide-ide pembebasan bangsa.
Salahuddin memiliki guru spiritual bernama Imam Nuraddin Alkadaria, keturunan Sayyid Makdum Abdul Qadir. Bahkan, menurut laporan rahasia oleh Komisaris Polisi Klas-II K.W. Weintre (1947), Geheim-Rapport. Nomor. 24/G.R/Geh. Onderwerp: godsdieastige beweging Saerikat Iman dan Islam”, ajaran yang ia bawa banyak dipengaruhi oleh Islam dari Turki, yang saat itu sedang mengalami gelombang reformasi dan semangat pan-Islamisme.
Namun perjuangannya harus dibayar mahal. Salahuddin berkali-kali keeluar-masuk peenjara—mulai dari Sawahlunto, Sumatera (1918-1923), Nusakambangan, Jawa Tengah (1941-1942), Boven Digul, Papua Selatan (1943), Penjara Belanda, Ternate (1947-1948). Tapi semangatnya tak padam. Ia mendirikan organisasi Serikat Jamiatul Iman wal Islam (SJII), yang terang-terangan menentang Belanda. Akhir kisahnya tragis. Pada 6 Juni 1948, Haji Salahuddin dieksekusi mati oleh Pemerintah Kolonial.
![]() |
Ketika Haji Tak Lagi Mungkin: Islam dan Penindasan di Masa Jepang
Pendudukan Jepang di Maluku Utara, yang dimulai sejak awal 1942--1945, membawa babak baru dalam sejarah penjajahan. Meski datang dengan janji sebagai “saudara tua” dari Asia, kenyataan di lapangan berkata lain. Pemerintahan sipil yang sebelumnya ada, praktis lumpuh. Semua jalur pemerintahan dikendalikan oleh militer Jepang, dan kekuasaan sipil nyaris tak memiliki suara.
Dalam kondisi seperti itu, kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan beragama, terkungkung. Aktivitas di masjid-masjid diawasi ketat oleh aparat militer. Ceramah-ceramah keagamaan dicurigai sebagai ajang penyebaran semangat perlawanan. Perkumpulan-perkumpulan Islam, yang sebelumnya menjadi ruang belajar dan diskusi umat, kini dianggap ancaman bagi stabilitas pemerintahan Jepang.
Ruang dakwah menyempit. Bahkan pelaksanaan ibadah Islam menjadi serba terbatas. Rukun Islam kelima, yakni ibadah haji, sama sekali tidak dapat dilaksanakan. Jepang menutup seluruh akses ke luar negeri. Komunikasi dan pelayaran internasional dihentikan total, menjadikan perjalanan ke Makkah sesuatu yang mustahil.
Selama masa pendudukan, umat Islam di Maluku Utara hanya bisa menjalani ibadah sebisanya, di tengah tekanan dan pembatasan. Haji—yang bagi banyak orang merupakan puncak kehidupan spiritual—harus tertunda tanpa kejelasan. Kondisi ini berlangsung hingga kekalahan Jepang oleh Sekutu pada tahun 1945. Baru setelah itu, pintu dunia kembali terbuka, dan asa untuk menunaikan ibadah haji mulai menyala lagi di hati umat Islam Maluku Utara.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa naik haji di masa kolonial hingga kedatangan Jepang tidak bisa dilepaskan dari semangat kemerdekaan. Bagi para tokoh Muslim di Maluku Utara, ibadah haji bukan hanya soal religiusitas, tetapi juga bentuk perlawanan. Di tengah kapal uap, gurun panas, dan kontrol ketat kolonial, mereka tetap pergi. Mereka kembali dengan gelar "Haji"—yang tak hanya sakral secara spiritual, tetapi juga bermakna simbolis sebagai agen perubahan sosial dan politik.
![]() |
Gambar: Rombongan Jama’ah Haji dan para pengantarnya sebelum bertolak dengan kapal dari Pelabuhan Ternate 2 Juni 1954. Sumber: Kempen 540602 V V 3
Naik Haji adalah Perjuangan, Kini Haruskah Hanya untuk Diri Sendiri?
Hari ini, naik haji memang jauh lebih mudah. Kita hanya perlu mendaftar, mengisi formulir, lalu menunggu antrean keberangkatan. Mayoritas jemaah pun kini diberangkatkan dengan pesawat terbang, lengkap dengan fasilitas yang relatif nyaman dan aman. Namun, jika kita menengok ke masa lalu, situasinya sangat berbeda. Dulu, pergi haji bisa berarti perjalanan hidup dan mati—penuh risiko, berbulan-bulan di lautan, dan minim perlindungan.
Lebih dari itu, naik haji di masa kolonial bukan hanya soal ibadah, melainkan juga pernyataan sikap terhadap penjajahan. Ibadah ini menjadi bagian dari perjuangan spiritual sekaligus politik. Ia mencerminkan bahwa agama dan identitas keislaman tidak bisa dilepaskan dari semangat kemerdekaan dan pembebasan.
Pertanyaannya sekarang: dengan begitu banyaknya orang yang sudah menunaikan ibadah haji—termasuk di Maluku Utara dan berbagai daerah Indonesia lainnya—apa manfaat spiritual dan sosialnya bagi masyarakat luas? Apakah pengalaman suci tersebut hanya menjadi pencapaian pribadi, ataukah juga berdampak bagi perbaikan lingkungan, bangsa, dan negara?
Ironisnya, saat ini kita justru menghadapi realitas yang pahit: korupsi merajalela di berbagai level pemerintahan, baik daerah maupun pusat. Ketimpangan sosial semakin terasa. Jika dulu para haji membawa semangat untuk mengusir penjajah, hari ini kita justru seolah dijajah di negeri sendiri, oleh sistem yang timpang, oleh keserakahan, dan oleh lupa terhadap nilai-nilai luhur agama.
Naik haji seharusnya melahirkan kesadaran sosial, tanggung jawab moral, dan semangat perubahan. Haji bukan sekadar status religius, tetapi panggilan untuk membersihkan hati dan memperbaiki bumi—memastikan bahwa pesan spiritual dari Makkah tidak berhenti di bandara kepulangan, tetapi terus bergema dalam sikap dan tindakan kita sebagai bagian dari masyarakat.