Jou Kota: Pembaru Tidore di Tengah Badai Politik

Editor: Irfan Ahmad author photo

Burnet, Ian (2011) Spice Islands (National Library of Australia Cataloguing-in-Publication entry)

Saifuddin—dalam berbagai sumber ditulis sebagai SaifudinSayfudinSaif Udin, atau Saifodien (Valentin, F. 1724)—dikenal luas dengan gelar "Jou Kota", dan juga sering disebut "Jou Golafino", dilantik sebagai Sultan Tidore ke-22 pada tahun 1657 dan memerintah hingga 1674. Beberapa sumber, menyebut Saifudin memerintah sampai tahun 1689.  Saat naik takhta, usianya diperkirakan 35 tahun, yang berarti ia lahir sekitar tahun 1622—di masa pemerintahan Sultan Zainuddin (1600–1626), kakek buyutnya, yang juga dikenal sebagai tokoh yang menggagas pendirian “Kadato Biji Nagara” di Toloa.


Sejak kecil, Saifudin tumbuh dalam suasana politik yang panas, di tengah persaingan panjang antara Kesultanan Tidore dan Ternate. Pengalaman hidupnya begitu kaya—ia menyaksikan langsung bagaimana lima orang sultan Tidore bergantian memimpin Kadato Biji Nagara sejak tahun 1600 hingga 1657. Situasi ini membentuk naluri politiknya sejak dini. 

 

Ketika beranjak remaja, Saifudin termasuk bangsawan muda yang haus ilmu. Ia dikenal giat mempelajari konsep pemerintahan dan tata kota modern ala Eropa. Beberapa sumber menyebut, ia pernah beberapa kali berdialog dengan orang-orang Spanyol dan Pejabat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) untuk memperluas wawasannya. Mungkin karena itulah, ketika akhirnya menjadi sultan, kemampuan diplomasi politiknya menonjol dan seringkali membuahkan hasil.

 

Setelah wafatnya Sultan Mole Maginyau atau Malikiddin pada 1657, Saifudin dilantik menjadi sultan ke-6 yang memimpin dan mendiami Kadato Biji Nagara. Di masa pemerintahannya, konflik antara Tidore yang didukung Spanyol dan Ternate—bersama pihak VOC (Belanda)—kian memanas, terutama karena perebutan wilayah strategis seperti Pulau Makeang. Dalam situasi ini, Saifudin mengambil langkah besar: memindahkan pusat kekuasaan atau kadato ke lokasi baru di bagian timur Pulau Tidore. Baginya, sebuah kadato ideal harus terletak di dataran luas yang menghadap matahari terbit—sebuah simbol pembaruan dan harapan.

Namun, tidak semua pihak menyambut baik keputusan tersebut. Menurut Soleman, F (2023), perpindahan pusat kesultanan ini juga dipicu oleh perbedaan pandangan antara Sultan Saifudin dan para tokoh adat (gimalaha rora). Saifudin dianggap membawa pengaruh budaya Eropa yang dinilai bertentangan dengan adat istiadat yang telah diwariskan leluhur. Karena itu, gimalaha rora polu-polu dan gimalaha rora tafiaro mengadakan pertemuan untuk membahas dan menyikapi langkah politik sang sultan dan berakibat pendahnya pusat pemerintahan. Baca juga: https://www.jejakmalut.com/2024/06/toloa-sema-jarita.html

 

Struktur Pemerintahan Kadato Biji Nagara

Sebagai sebuah kerajaan Islam, Kesultanan Tidore memiliki sistem pemerintahan yang dipimpin oleh seorang sultan. Masa jabatan sultan berlaku seumur hidup—dari saat penobatan hingga wafat atau mangkat. Namun, berbeda dari banyak kesultanan lainnya yang menggunakan sistem putra mahkota, Tidore tidak menganut model pewarisan otomatis kepada anak lelaki. Ketika seorang sultan wafat, pengganti tidak ditentukan secara garis lurus darah, melainkan melalui musyawarah para pejabat pemerintahan, baik di pusat maupun wilayah kekuasaan.

 

Menurut sejarawan R.Z. Leirissa (1996), dalam struktur sosial Maluku Utara masa itu, jabatan-jabatan politik tidak bisa disamakan dengan sistem birokrasi modern. Sebaliknya, jabatan-jabatan tersebut lebih tepat dipahami sebagai bagian dari status sosial. Dalam sistem ini, sultan merupakan pemimpin tertinggi, baik secara politik maupun spiritual. Dalam menjalankan tugasnya, ia dibantu oleh dua badan utama: Bobato Dunia dan Bobato Akhirat. Istilah "bobato" berarti "pengatur", yang merujuk pada para pemegang kuasa (van Fraassen, Ch. F. 1987; Leirissa, 1996). Perlu dicatat, istilah dan peran bobato hanya terdapat dalam masyarakat Islam dan hanya dijabat oleh laki-laki.

 

Bobato Dunia berfungsi layaknya lembaga legislatif dan bertugas mengatur urusan pemerintahan dan kenegaraan. Di dalamnya terdapat tiga jabatan penting: 1) Jogugu – Wakil sultan sekaligus kepala Bobato Dunia; 2) Kapita Lao – Panglima laut yang bertanggung jawab atas armada dan keamanan; 3) Hukum – Hakim tinggi yang memiliki kewenangan dalam urusan dalam negeri serta pengangkatan sultan baru. Peran Hukum sangat sentral karena segala keputusan penting sultan maupun pejabat tinggi lainnya harus mendapat persetujuannya.

 

Sementara itu, Bobato Akhirat mengurus urusan keagamaan. Dipimpin oleh Kalim sebagai pemimpin agama tertinggi di kerajaan, ia dibantu oleh lembaga adat keagamaan yang disebut Jou Lebe (badan syara’), yang dikepalai oleh Kadhi. Anggota Jou Lebe terdiri dari para imam dan khatib yang menjalankan fungsi keagamaan di tingkat masyarakat.

Bagan struktur pemerintahan di Istana Biji Nagara. Sumber: Modifikasi oleh Irfan Ahmad, berdasarkan berbagai sumber


Struktur pemerintahan ini dulunya aktif di pusat kekuasaan Kadato Biji Nagara, Toloa, yang menjadi pusat pemerintahan sebelum dipindahkan. Pada masa itu, Kesultanan Tidore memiliki 12 Gimalaha, yang terbagi dalam dua kelompok: 1) Gimalaha Rora Polu-Polu (enam gimalaha yang berkumpul) 2) Gimalaha Rora Tafiaro (enam gimalaha yang tersebar). Gimalaha bukan sekadar tokoh adat, melainkan figur dengan empat fungsi utama: 1) Pemimpin marga; 2) Tokoh adat dan agama; 3) Wakil rakyat; 4) Pemimpin perang saat konflik terjadi. Para gimalaha ini kemudian membentuk persekutuan yang lebih besar bernama Boldan, yang dipimpin oleh Kolano. Boldan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal sistem kerajaan di Maluku (Utara), sebelum sebutan "Kolano" diganti menjadi "Sultan".

 

Uniknya, sistem pergantian sultan dalam struktur ini tidak pernah diatur secara tertulis dalam bentuk konstitusi. Sistem ini kemudian mengalami perubahan penting pada masa pemerintahan Sultan Saifudin (1657–1674). Saat itu, pusat pemerintahan dipindahkan ke kawasan timur Pulau Tidore yang dikenal dengan nama "Limau Timore", dan sejak saat itu, struktur serta perangkat kesultanan mulai mengalami perombakan.


Dari Toloa ke Timore: Langkah Besar Sultan Saifudin Membangun Kota Tidore

Pemindahan pusat Kesultanan Tidore dari Toloa ke Soa-Sio bukan sekadar soal geografis. Di balik langkah besar itu tersimpan dinamika politik dan ekonomi yang rumit, terutama menyangkut persaingan dengan Kesultanan Ternate. Salah satu alasan kuatnya, pelabuhan utama Tidore di Tanjung Mareku dianggap tidak strategis karena letaknya terlalu dekat dengan Pelabuhan Talangame di Ternate. Sementara pelabuhan alternatif di Doro Jawa, meski langsung menghadap laut lepas, tidak efektif untuk aktivitas dagang dan pelayaran.


Namun, faktor paling mendalam justru datang dari pandangan kosmologis masyarakat Tidore sendiri. Dalam tradisi lokal, letak pusat pemerintahan di bagian barat pulau—yang menghadap matahari terbenam—dianggap tidak menguntungkan secara spiritual. Karena itu, melalui musyawarah antara sultan dan para gimalaha, diputuskanlah untuk memindahkan kadato (istana pusat pemerintahan) ke sisi timur pulau. Setelah dilakukan ritual adat kololi kie—ritual mengelilingi pulau—Sultan dan perangkat adat menemukan sebuah kawasan luas dan strategis yang dinamai Timore atau Timur (Amin Faaroek, 2016).


Meskipun banyak informan menyebut tempat baru ini sebagai “Limau Timore”, istilah tersebut sebenarnya bukan nama kadato. "Limau Timore" lebih menunjuk pada arah atau kawasan timur Pulau Tidore. Usman (2019) mencatat bahwa di tempat inilah Sultan Saifudin membangun pusat pemerintahan baru yang dikenal sebagai Kadato Soa Rora. Nama ini mengacu pada Soa Rora, yaitu gabungan enam marga atau gimalaha yang identik dengan struktur sosial di Toloa.

Sayangnya, catatan tentang berapa lama kadato ini bertahan dan siapa saja sultan yang memerintah di sana sangat terbatas. Namun satu hal yang pasti: wilayah ini berkembang sangat cepat setelah pemindahan tersebut. Rakyat Tidore pun menjuluki Sultan Saifudin dengan sebutan “Jou Kota”, yang berarti "Sultan Kota", sebagai bentuk penghargaan atas visinya membangun “Kota Tidore” menjadi pusat pemerintahan modern.

Gambar: Ilutrasi keindahan dan keramian kota Tidore, 1603. Sumber: Anoniem (1605) Dutch attack on the Portugasse fortress on Tidore.  Rijksmuseum Amsterdam Atlas Van Stolk. Number. RP-P-OB-75-322, top1184.


Menurut Amin Faaroek (2016), gelar “Jou Kota” disematkan karena Sultan Saifudin mampu membangun Tidore layaknya sebuah kota. Ia membangun berbagai infrastruktur penting seperti masjid, jembatan sultan, Dou-Dou Kolano, serta pelabuhan umum Gurua Tagalaya. Tak hanya itu, ia juga merancang sistem pemerintahan baru yang dikenal dengan nama: Kolano se Ibobato Pehak Raha se Isuduru, artinya: “Sultan bersama empat menteri dan para stafnya.”


Dalam sistem baru ini, sultan dibantu oleh empat pejabat tinggi: 1) Jojau (Perdana Menteri); 2) Tullamo (Sekretaris Negara); 3) Pihak Kompania (Pejabat bidang pertahanan dan keamanan); 4) Pihak Labee (Pejabat bidang hukum dan peradilan). Dari musyawarah Dewan Menteri tersebut, dihasilkan tiga asas penting dalam pemerintahan:

  1. Azas Pemerintahan, yang terdiri dari: 1) Jaga loa se banari (jujur, adil, dan benar); 2) Kie se kolano (kesatuan pemimpin dan rakyat); 3) Adat se nakodi (kemanusiaan yang beradab); 4) Atur se aturan (pelimpahan wewenang); 5) Fara se filang (pembagian hasil secara adil); Syah se fakat (musyawarah dan mufakat)
  2. Azas Hubungan Sosial
  3. Azas Perekonomian

Sistem pemerintahan ini kemudian diperkuat melalui “Peraturan Kie se Kolano,1868” dan menjadi konvensi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan Tidore hingga hari ini. Namun, ada perubahan signifikan: peran para Gimalaha Rora Tafiaro  dan gimalaha rora polu-polu yang dulunya sangat penting, berangsur mengalami penyusutan fungsi, sebagaimana tercantum dalam Pasal 6 peraturan tersebut yang menyebut peran mereka kini terbatas pada wilayah tertentu.


Walau mengalami banyak perubahan, warisan Sultan Saifudin tetap membekas. Kota Soa-Sio, pusat baru pemerintahan, pada masa berikutnya bahkan digambarkan sebagai “kota paling indah” hasil pembangunan Sultan Amir Bifadlil Aziz Muhiddin (1728–1756), yang mencoba menjadikan kota itu mirip kota-kota di Belanda. Sayangnya, keindahan itu tidak bertahan lama. Kota Soa-Sio hancur dalam pertempuran hebat antara Tidore dan Belanda. Istana dan masjid pun turut dibakar dalam konflik tersebut (Andaya,  L. Y. 1993). 


Saifudin, Diplomasi, dan Warisan Empat Kesultanan di Maluku

Di abad XVII, persaingan antara Spanyol dan Belanda bukan cuma soal siapa yang paling kuat di Eropa, tapi juga soal siapa yang bisa menguasai jalur rempah-rempah di timur jauh. Di Maluku, dua kerajaan besar—Tidore dan Ternate—ikut terseret dalam konflik panjang karena mereka masing-masing jadi sekutu dua kekuatan asing yang bersaing itu. Tapi pada tahun 1662, posisi Spanyol mulai melemah. Gubernur Jenderal di Manila memutuskan untuk angkat kaki dari Maluku. Setahun kemudian, pasukan mereka ditarik habis. Dengan itu, berakhirlah jejak Spanyol di bumi rempah-rempah (Amal, M.A. 2010).

 

Bagi Tidore, ini jelas jadi pukulan besar. Mereka kehilangan sekutu penting dalam menghadapi Ternate. Sultan Saifudin, pemimpin Tidore saat itu, menyadari situasinya berubah. Lewat surat kepada Sultan Mandar Syah di Ternate, ia mengajak berdamai dan menyatukan kekuatan demi menjaga kestabilan Maluku.

 

Tapi Belanda tidak tinggal diam. Begitu Spanyol pergi, VOC langsung bergerak mengambil alih. Mereka memaksakan berbagai perjanjian monopoli perdagangan kepada kerajaan-kerajaan Maluku. Pada 1667, Tidore juga menandatangani perjanjian yang memberi VOC hak penuh atas perdagangan rempah.

 

Dalam perundingan yang diwakili Laksamana Cornelis Speelman, VOC bukan cuma bicara soal dagang. Mereka juga menuntut agar setiap pengangkatan sultan di Maluku harus mendapat restu dari Kompeni. Artinya, kesultanan kehilangan hak untuk memilih pemimpinnya sendiri—sebuah bentuk dominasi kolonial yang terang-terangan.

 

Pada 27–28 Maret 1667, Sultan Saifudin bertemu langsung dengan Speelman di Benteng Oranje. Ia menegaskan kembali isi perjanjian tahun 1657, termasuk soal program pemusnahan pohon cengkih (extirpatie). Sebagai imbalan, Speelman atas nama VOC mengakui kedaulatan Tidore atas wilayah Papua dan Raja Ampat (Andaya,  L. Y.  1993). Ini adalah pencapaian besar Saifudin yang menegaskan posisi Tidore sebagai kekuatan penting di wilayah timur.

 

Saifudin juga dikenal sebagai sultan yang dekat dengan rakyat. Berbeda dari Sultan Mandar Syah yang lebih pro-Belanda, Saifudin dihormati karena tidak rakus dan bijak dalam mengelola kekuasaan. Ia tidak mengambil banyak dari kompensasi yang diberikan Belanda; sebagian besar malah dibagikan kepada rakyat. Bahkan ketika ia meminta 2.000 Rijksdaalders, itu bukan untuk dirinya, tapi untuk dibagikan lewat para bobato (pemuka adat) kepada masyarakat. Ia benar-benar bertindak seperti penguasa tradisional yang hadir untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan (Andaya, L. Y. 1993).

 

Tak hanya itu, Sultan Saifudin punya visi politik yang besar. Ia percaya bahwa stabilitas Maluku hanya bisa diwujudkan kalau keempat kerajaan utama—Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan—berdiri sejajar. Pandangan ini ditegaskannya berkali-kali dalam surat dan pembicaraan dengan Gubernur Belanda, Robertus Padtbrugge (1670-1678). Ia bahkan mendesak agar Kaicili Alam dikembalikan sebagai Sultan Jailolo. Meski bisa dilihat sebagai cara untuk mengimbangi kekuatan Ternate, banyak sejarawan, seperti Andaya dan Valentijn, percaya bahwa itu lahir dari keyakinan tulus: bahwa tatanan politik Maluku akan seimbang jika empat tiangnya kembali berdiri.


Share:
Komentar

Terkini