![]() |
Gambar: Ilustrasi Gunung Watowato. |
Pagi itu, Senin, 14 Juli 2025, langit Ternate berwarna kelabu pucat, seolah masih enggan beranjak dari tidurnya. Hujan deras baru saja menyapu jalan-jalan kota, meninggalkan aroma tanah basah yang samar terbawa angin laut. Di dermaga, kami—rombongan Yayasan The Tebings Maluku Utara—berdiri berderet, menatap riak air yang memantulkan cahaya redup. Angin tipis menyelip di sela rambut dan pakaian, membisikkan dingin yang pelan-pelan menyusup ke kulit. Di kejauhan, mesin speedboat meraung pelan, menguji tenaganya, memotong jeda percakapan kami seperti tanda bahwa perjalanan akan segera dimulai.
Tujuan kami Kota Maba, Kabupaten Halmahera Timur (Haltim). Tugasnya pun tak main-main—pemutakhiran Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) 2025. Bagi saya, ini sebenarnya pekerjaan baru. Semua data kebudayaan yang dulu tersimpan di aplikasi entah hilang bersama aplikasinya. Maklum, lima tahun lalu negeri ini sedang “demam aplikasi”. Bagi sebagian orang, pekerjaan ini mungkin terdengar sekadar urusan administratif. Namun, bagi kami, PPKD adalah naskah masa depan—panduan pemerintah untuk melindungi, mengembangkan, dan merawat kebudayaan Haltim di tengah arus perubahan.
Speedboat ‘Tekuk Persia’—namanya terdengar elegan—melaju membelah laut pagi itu menuju Pulau Halmahera. Perjalanan 35 menit membawa kami ke Guraping, lalu dilanjutkan dengan mobil menuju Maba, pusat administrasi Haltim. Jalan panjang yang kami tempuh menjadi pembuka cerita: hutan lebat yang masih bertahan, lahan gundul bekas tambang, dan desa-desa yang hidup di persimpangan modernitas dan tradisi.
![]() |
Gambar: Tim pemutakhiran PPKD, 2025. |
Bukan Hanya Pohon yang Tumbang
Sopir kami, Aco, menyambut dengan senyum lebar. Ia mengenakan kaos oblong lusuh, celana jeans pudar, dan sandal jepit. Rambutnya pirang—hasil bleaching murah, katanya sambil tertawa—dan matanya selalu mencari kontak saat berbicara. “tujuh belas tahun jadi sopir antar kabupaten,” ujarnya, “sudah hafal semua tikungan, bahkan yang penuh lubang.” Tangannya luwes memutar setir, sementara rokok kretek yang ia hisap menebarkan aroma cengkeh ke seluruh kabin.
Lagu dari Spotify mengalun. Dangdut koplo membuat kepala bergoyang ringan, diikuti tembang religi yang membuat semua terdiam. Ketika kami memasuki jalan berkelok di Subaim, lagu Iwan Fals Isi Rimba Tak Ada Tempat Berpijak Lagi. Suara serak itu seperti menembus kaca mobil dan menyatu dengan pemandangan di luar yang tampak bukit-bukit yang kini kehilangan rambut hijaunya.
Gunung Watowato perlahan muncul di kejauhan, siluetnya membujur dari timur ke barat. Dalam cerita rakyat, gunung ini digambarkan sebagai sosok petarung yang tertidur telanjang, tubuhnya terbentang jelas—mulai dari dahi, hidung, dagu, dada, hingga ujung kaki yang menuding ke langit. Beberapa catatan kolonial menyebutkan bahwa di wilayah ini dahulu pernah bermukim orang Togutil, orang Lingon, dan orang Biribiri, yang kerap keluar-masuk hutan Halmahera, dari kawasan Watowato hingga ke Damuli di Halmahera Tengah.
Dulu, orang “O Hongana Manyawa…,” ujar Safrudin Abdulrahman, Antropolog Unkhair, sambil menatap jauh ke arah hutan yang membentang di belakang Subaim. “Mereka mendiami hutan di sekitar Subaim, bahkan mungkin sampai ke Watowato. Tapi sekarang, kebanyakan sudah keluar dari hutan. Mereka pindah ke pesisir—ke kampung-kampung seperti Ake Daga, Dodaga, Tutuling, Totodoku, dan beberapa kampung lainnya.
![]() |
Gambar: Dari arah Subaim, Gunung Watowato menjulang anggun, berdiri tak jauh dari kawasan pertambangan. |
Safrudin menunjuk ke arah sebuah sungai, masih di wilayah Subaim, ini ada Batu Meja. Dulu, tempat itu sakral bagi orang Togutil. Sekarang… ya, hanya sedikit yang masih mengingat maknanya. Tapi dahulu batu meja menjadi tempat pertemuan bagi orang Togutil.
Bagi masyarakat lokal, cerita itu bukan sekadar catatan sejarah. Kehadiran kelompok-kelompok tersebut selalu dihubungkan dengan pengetahuan hutan yang dalam—mereka tahu letak sungai yang tak pernah kering, jalur satwa, dan pohon-pohon obat yang tidak lagi mudah ditemukan. “Dulu hutan ini penuh cerita,” mengingat dentingan burung, desir daun, dan langkah satwa di bawah rimbun pohon. Kini, sebagian dari rute yang dulu mereka lalui telah berubah. Tanah merah terbuka, pohon roboh, dan deru mesin menggantikan sunyi hutan. Watowato, yang dulu menjadi penanda sekaligus pelindung, kini berdiri di tengah lanskap yang mulai kehilangan napas lamanya.
Di Maba, kami bertemu Abdul Samad, lelaki 57 tahun dengan kopiah hitam, sarung dililit longgar, dan kaos oblong berwarna pudar. Suaranya rendah tapi tegas. “Kami tidak larang tambang,” katanya, “tapi tempat sejarah leluhur jangan diganggu.” Ia menunjuk ke arah Sungai Ake Sangaji dan menyebut deretan situs keramat: Gua Mane, Sigisigi, Wagan No, Lolos Gasi, Domot Sang. “Kalau rusak,” ujarnya sambil menunduk, “bencana datang.”
Keyakinan ini bukan sekadar mitos. Ia hidup dalam ingatan dan pengalaman warga. Mereka telah melihat sendiri banjir datang lebih sering, sungai meluap tanpa ampun. Bagi mereka, kerusakan alam selalu berbalas cepat.
Sore itu, di pinggir pantai Maba, saya bertemu Om Hasan (nama samaran). Lelaki tua dengan kulit gelap terpanggang matahari itu duduk di bangku kayu, menggulung rokok. “Dulu rusa banyak,” katanya sambil menghembuskan asap. “Kami pasang ciciri atau dodose (jerat), gampang dapat. Sekarang… sudah lima tahun susah. Mungkin mereka sudah masuk hutan dalam, lari dari suara mesin.”
Banyak hal yang belaiu cerita, baik itu menyangkut kebudayaan daerah dan sesekali menyentil soal tambang. Matahari mulai merunduk ketika kami kembali ke mobil. Lagu Iwan Fals kembali terdengar, seperti penutup babak hari itu di Maba.
Jeritan Sunyi dari Watowato
Di hadapan Gunung Watowato, kita dihadapkan pada pertanyaan yang tak bisa dielakkan. Sampai kapan hutan ini mampu bertahan melawan gergaji, tambang, dan keserakahan? Pohon-pohon raksasa yang dulu menjadi atap bumi kini tumbang satu per satu, suara burung yang dulu membangunkan pagi kini digantikan deru mesin yang tak mengenal belas kasihan.
Ini bukan hanya tentang hilangnya pepohonan—ini tentang hilangnya rumah bagi ribuan makhluk, tentang patahnya urat nadi budaya yang menghubungkan manusia dengan tanah leluhurnya. Masyarakat lokal, yang hidupnya dibentuk oleh hutan dan sungai, kini berdiri di tepi jurang ketidakpastian. Mereka tidak meminta kemewahan; hanya ruang untuk hidup dengan bermartabat, menjaga warisan yang lebih tua dari semua peta dan kontrak tambang.
Jika kita membiarkan Halmahera dikoyak tanpa jeda, kita sedang menyetujui penghapusan cerita, lagu, dan doa yang lahir dari tanah ini. Dan saat semuanya telah hilang, kita akan sadar, yang musnah bukan hanya hutan—tetapi juga cermin yang memantulkan siapa kita sesungguhnya.