Catatan Campen (1883) menyebut distrik Kao dihuni kelompok Towiliko (Soa-Sio), Boeng, Modole, dan Pagu, yang menyebut diri mereka sebagai orang Kao. Dalam perkembangannya, masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang sangaji. Orang Towiliko memeluk Islam, sementara Boeng, Modole, dan Pagu memeluk Kristen Protestan, hidup berdampingan dalam adat yang mereka pegang.
Orang Kao bukan sekadar berpindah mengikuti arus sejarah, tetapi juga berani melawan ketidakadilan. Mereka pernah bergabung dalam perlawanan Dano Baba Hasan (1875–1876) untuk menolak tekanan kolonial Belanda, melanjutkan jejak nenek moyang mereka yang berani menjaga tanah dan martabat mereka. Di antara tiupan angin dan debur ombak Teluk Kao, kisah mereka terus berbisik tentang daya tahan, tentang keberanian menjaga tanah leluhur, dan tentang identitas yang mereka rawat sebagai orang Kao.
Perang Kao, 1904
Perang Kao bukan catatan kekerasan, melainkan ungkapan protes masyarakat Teluk Kao atas penindasan pemerintah kolonial Belanda melalui penarikan pajak, upeti, dan kerja paksa yang membebani kehidupan mereka. Perang ini berlangsung sejak 1904 hingga 1906, menjadi bagian dari rangkaian konflik di Halmahera bagian utara, Maluku (Utara) ketika ambisi kolonial ingin mencengkeram wilayah Halmahera. Sistem kerja paksa dan penarikan pajak (balasting) yang dipaksakan oleh Belanda telah merugikan rakyat, memicu kemarahan dan keinginan untuk mempertahankan tanah mereka.
Perlawanan pertama meletus pada 1904 di bawah kepemimpinan Sangaji Kuabang. Beliau memimpin rakyat Kao mempertahankan kampung halaman dari intervensi Belanda yang mulai merampas lahan-lahan pemukiman mereka. Namun, setelah perlawanan itu, Sangaji Kuabang ditangkap dan diasingkan ke Papua. Namanya kini diabadikan sebagai nama Bandara Kuabang di Kao, menjadi pengingat bahwa tanah Kao pernah membara oleh semangat perlawanan.
Perang Kao adalah upaya rakyat mempertahankan diri dari tekanan kolonial. Ketika lahan-lahan mereka dirampas dan ruang hidup terancam, mereka memilih melawan daripada tunduk. Di tengah kecamuk perang, semboyan “liat no ngolu”—bersaudara kakak-adik, kakak masuk Islam, adik masuk Kristen—dijadikan semangat persatuan. Slogan ini menunjukkan bagaimana kerukunan mereka tidak terpecah oleh agama dalam menghadapi penjajahan.
Dalam Kolonial Verslag (1905), pemerintah Belanda mencatat bahwa pada Agustus 1904, “sebuah gerombolan bersenjata yang terdiri dari 40 orang, sebagian besar utusan sultan Ternate, melakukan pemberontakan.” Meskipun pemimpin mereka berhasil ditangkap dan beberapa melarikan diri, kesempatan ini digunakan Belanda untuk memaksa rakyat membayar pajak serta membatasi pengaruh Sultan Ternate di Kao.
Sepeninggal Kuabang, kepemimpinan sangaji diteruskan oleh Sangaji Bingkas, utusan Kesultanan Ternate, yang kembali memimpin perang pada 1905–1906. Dalam kisah lisan masyarakat Kao, masa inilah peperangan kembali berkobar, dengan Sangaji Bingkas turun langsung memimpin pasukan di medan laga. Tidak sedikit anak buahnya yang gugur dalam pertempuran, tetapi mereka dikenang sebagai pasukan berani yang setia membela tanah dan martabat Kao.
Perang Kao, 1905—1906
Distrik Kao merupakan wilayah penting dalam lanskap pemerintahan dan budaya Halmahera bagian utara. Sejak masa lampau, orang Kao telah menyerahkan ngase—pajak tradisional—kepada Sultan Ternate dalam bentuk hasil bumi dan laut sebagai bentuk ikatan politik dan kewajiban adat. Pada abad XIX hingga awal abad XX, bentuk ngase ini meliputi 500 sago toeman (masing-masing seberat 25 kg), 10 ekor burung nuri, 50 tikar daun buro-buro (pandan hutan), 150 buah kelapa, 15 ekor ayam, hingga penyediaan empat perahu kora-kora. Selain itu, ngase juga berupa tenaga kerja, seperti 10 laki-laki pembawa tandu sultan dan 280 pendayung kora-kora (Clercq, 1890; Bosscher, 1859).
Namun, awal 1905 menjadi titik perubahan. Atas inisiatif pemerintah kolonial Belanda, ngase dikonversi menjadi pajak uang dengan dalih pembangunan jalan dan fasilitas umum di Tobelo, Galela, Kao, dan Loloda, sebesar f.7,50 per tahun. Beban pajak ini, yang semula ditanggung Sultan Ternate, kini dibebankan langsung kepada rakyat, menimbulkan ketidakpuasan luas. Meskipun pajak ini diklaim untuk kepentingan publik, jumlahnya dirasakan sangat memberatkan rakyat, menjadi pemicu penolakan dari berbagai kalangan (Tobias, 1857; Bosscher, 1859).
Penolakan terutama datang dari kalangan muslim Kao. Bagi mereka, pungutan pajak uang menjadi beban ganda karena setiap tahun mereka sudah membayar zakat, yang kadang dipungut oleh Sultan Ternate sebagai “sedekah asjoera” atau zakat fitrah sebesar f.0,40 (Baretta, 1917). Dalam ketegangan inilah, Sultan Ternate, H. Muhammad Usman Syah, secara diam-diam mengutus Banau ke Teluk Kao untuk mengajak rakyat menolak kebijakan pajak kolonial Belanda. Banau bukan orang asing di Kao, karena ia pernah tinggal lama di sana dan terlibat dalam "Perang Kao-1904", menjadikannya sosok yang dikenal dan dipercaya oleh masyarakat Kao.
Dalam tradisi lisan orang Kao, kisah-kisah tentang perjuangan dan kepemimpinan diwariskan secara turun-temurun melalui bahasa dan ungkapan khas mereka. Melalui wawancara dengan Sangaji Kao, Zulkifli Tukang (2022), terungkap sebuah narasi yang menggambarkan keberanian dan keteguhan dalam menghadapi penindasan kolonial.
Maskena Walanda ana coho rai sangaji Kuabang, parang kamabarenti ua sigado Bingkas wodadi sangaji, sangaji Bingkas wodadi kapita toma parang Kao. Toma parang Kao idofu mancia kodiho asal, sidogo sangaji Bingkas mangofa-ngofa yang mote una toma parang…
Terjemahan:
Setelah Sangaji Kuabang ditangkap, perlawanan belum usai. Di bawah kepemimpinan Sangaji Bingkas, perang Kao kembali membara. Pasukan Bingkas yang gagah berani kembali turun ke medan perang, mempertahankan Kao dari penindasan Belanda. Penarikan pajak ngase dan balasting oleh Belanda membuat rakyat Kao tertekan, hingga akhirnya pecah kembali perang pada 1905.
Ketenangan semu di Kao hanya bertahan sekitar satu tahun. Semangat Banau tidak padam; api perlawanan terus berkobar dalam dirinya. Ia mengajak Sangaji Bingkas untuk kembali memprotes pajak Belanda yang memberatkan rakyat. Saat Sultan Ternate mendengar rencana perlawanan ini, ia mengutus seorang utusan untuk membacakan surat putusan pada 14 November 1906 di pantai Kao, menyatakan persetujuan penggantian ngase barang menjadi pajak tunai dengan mata uang Belanda.
Namun, dua hari kemudian, 16 November 1906, pemerintah kolonial Belanda melaporkan kepada Sultan Ternate bahwa umat Muslim di Towiliko, mengadakan protes keras atas pajak. Banau, Sangaji Bingkas, dan para pemimpin Kao tetap berusaha menggalang dukungan rakyat untuk menolak pajak tersebut.
Dalam laporan Bataviasch Nieuwsblad, Sangaji Towiliko, Pagu, Modole, dan Boeng bersama rakyat kembali melakukan protes pada 5 Desember 1906 pukul 08.00. Pukul 13.00, rakyat Kao membongkar bivak Belanda, memicu baku tembak yang menewaskan seorang tentara Belanda dan dua kopral pribumi, serta melukai beberapa lainnya. Dari pihak Kao, 23 orang tewas, sementara 20 lainnya luka-luka, baik dari kalangan Muslim maupun Kristen.
Tragedi perlawanan di Kao terhadap kolonialisme tidak hanya tersimpan dalam cerita, tetapi juga terpatri di tanah mereka sendiri. Hingga kini, masyarakat Kao masih menjaga ingatan kolektif tentang sebuah liang kubur massal yang mereka sebut Kubur Tujuh. Di tempat sunyi ini, tujuh pejuang Islam Kao disemayamkan bersama dalam satu liang: Suda (samangau), Saban, Fama, Ganti, Denda, Gosuwong, dan Sopok.
![]() |
Gambar: Makam Tujuh jenazah dalam satu liang. Foto: Jejak Malut. |
Kubur Tujuh bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi menjadi ruang ingatan di mana masyarakat Kao merawat kisah keberanian dan ketabahan para leluhur mereka yang gugur melawan penindasan kolonial Belanda. Dalam tradisi lisan yang masih disampaikan oleh Sangaji Kao, Zulkifli Tukang (2022), ketujuh nama ini disebut dengan penuh penghormatan, sebagai bagian dari sejarah dan identitas masyarakat Kao yang tidak boleh dilupakan.
Menariknya, dalam tragedi itu, masyarakat Kao menunjukkan wajah persaudaraan lintas iman di tengah kobaran perang. Para korban yang beragama Kristen dikembalikan kepada sangaji mereka masing-masing untuk dimakamkan secara Kristen, sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Sementara mereka yang Muslim dimakamkan bersama dalam Kubur Tujuh, menjadi simbol kebersamaan dalam perjuangan, sekaligus penghormatan pada nilai-nilai agama yang mereka pegang.
Bagi masyarakat Kao, Kubur Tujuh adalah saksi bisu tentang harga yang harus dibayar dalam mempertahankan tanah leluhur. Kubur ini menjadi ruang perenungan bahwa perjuangan tidak hanya milik masa lalu, tetapi juga menjadi pesan diam yang diwariskan kepada generasi kini untuk terus menjaga martabat, persaudaraan, dan hak atas tanah air. Setiap kali angin Teluk Kao berembus melewati tempat ini, seakan membawa doa-doa mereka yang gugur, agar tanah dan laut Kao tetap terjaga sebagai ruang hidup yang bermartabat.
Meski Belanda berupaya menekan perlawanan, Sangaji Bingkas dan Banau tetap berjuang bersama rakyat Kao. Pada 11 Desember 1906, rakyat Kao diultimatum untuk menyerah dan membayar pajak, tetapi Sangaji Modole mengajak rakyat Gam Ici melawan. Pada 12–13 Desember, Letnan Sipil Belanda bersama 30 serdadu menyerang kampung Gam Ici, Patang, Soa Sangaji, dan Soa Hukum, menewaskan empat orang dan melukai banyak lainnya.
Dalam penyerbuan tersebut, Sangaji Bingkas tertangkap bersama beberapa pejuang lain dan dieksekusi mati oleh Belanda. Banau tetap setia mendampingi Sangaji Bingkas selama perang, tetapi ia berhasil lolos. Banau menjadi buronan Belanda, dikejar ke mana pun ia pergi, hingga rakyat Kao mendesaknya untuk pergi demi keselamatannya. Muncullah ungkapan: nonaulu de nokaika o Djailolo nomaparang—“kamu laki-laki, pergilah ke Jailolo untuk berperang.” Delapan tahun kemudian, pada 1914, Banau memimpin Perang Jailolo.
Pembangunan Harus Menghargai Sejarah
Kisah orang Kao mengajarkan bahwa tanah bukan sekadar ruang tinggal, tetapi ruang martabat, identitas, dan ingatan bersama yang harus dihormati. Pemerintah perlu memastikan bahwa pembangunan dan investasi di wilayah Kao dan Halmahera Utara dilakukan dengan menghargai hak-hak masyarakat lokal atas ruang hidup mereka. Proses pembangunan hendaknya tidak mengulangi luka masa lalu, di mana rakyat dipaksa menanggung beban tanpa perlindungan yang adil. Pemerintah perlu menjamin bahwa masyarakat Kao terlibat secara bermakna dalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut tanah, laut, dan sumber daya mereka, agar semangat “liat no ngolu” yang menjadi kekuatan persaudaraan lintas agama tetap terjaga di tengah modernisasi. Pemerintah juga perlu mendukung pemeliharaan sejarah lokal melalui pendidikan dan pengarsipan cerita rakyat Kao agar generasi muda memahami pentingnya keberanian, keteguhan, dan kebersamaan dalam menjaga tanah air. Dengan demikian, pembangunan akan berjalan selaras dengan penghormatan pada sejarah, martabat, dan keberlanjutan hidup masyarakat Kao.