![]() |
Permainan Gole-Gole. Sumber: Koleksi Jejak Malut. |
Kami sama-sama duduk menunggu hujan reda, saling menyapa, lalu terlibat percakapan ringan. Tidak jauh dari tempat kami duduk, di teras sebuah rumah berwarna krem, beberapa anak laki-laki berusia sekitar sembilan hingga dua belas tahun tampak duduk bergerombol memegang gadget. Mereka tampak antusias, matanya fokus ke layar, sesekali terdengar teriakan, “Tembak jang lama, itu satu dari atas!” seru anak berkaos hitam dengan nada semangat.
Anak-anak itu tampak begitu mahir menyebut nama senjata digital dan merancang strategi untuk memenangkan permainan, seolah medan perang berada tepat di depan mata mereka. Om Hasan menoleh ke arah saya, senyum tipis di wajahnya sebelum berkata pelan;
“Anak-anak sekarang mainannya sudah sangat modern. Di rumah, anak-anak saya juga sering main game online. Saya tidak bisa larang, karena hampir semua anak-anak sekarang main game begitu.”
Saya mengangguk, lalu mencoba memancing cerita dengan nada akrab: “Om, zaman memang sudah maju, tinggal kita awasi dan sering ingatkan anak-anak belajar dan shalat. Tapi, dulu om, waktu masih kecil, sering main apa kalau sore begini?”
Om Hasan termenung sebentar, matanya menerawang ke jalan yang masih basah oleh hujan.
“Banyak sebenarnya, tapi saya sudah lupa sebagian. Tapi ada satu permainan yang saya paling suka, namanya gole-gole. Permainan yang melibatkan banyak anak, rame. Sayangnya, sekarang anak-anak sudah tidak main lagi. Sudah hampir dua puluh tahun saya tidak lihat anak-anak main gole-gole. Bahkan di kampung saya di Halmahera, juga sudah tidak ada anak-anak main begitu.”
Sore itu, percakapan singkat dengan Om Hasan menjadi perjumpaan yang berarti. Sekalipun hanya sesaat, saya mendapatkan lima jenis nama permainan tradisional lainnya darinya, yang pernah mewarnai masa kecil di kampung. Hujan akhirnya reda, menandai waktu kami berpisah untuk kembali ke jalan, sambil membawa catatan kecil tentang memori permainan yang hampir terlupakan.
Gole-Gole: Permainan yang Mulai Terlupakan
Di tengah derasnya arus permainan digital dan gadget, gole-gole adalah satu dari sekian permainan tradisional yang kini semakin sulit ditemukan di halaman-halaman kampung. Permainan ini bukan hanya sekadar hiburan, melainkan sebuah ruang belajar nilai kebersamaan, kerja sama, sportivitas, dan ketahanan fisik.
Dulu, anak-anak usia 10 hingga 15 tahun mengisi waktu luang sore hari, terutama saat bulan puasa, dengan bermain gole-gole. Mereka bermain di halaman, lapangan kecil, atau tanah lapang dengan riuh tawa dan sorak dukungan dari teman-temannya. Permainan ini menggunakan tempurung kelapa yang ditendang menggunakan tumit kaki ke arah batu gonofu sebagai sasaran, membutuhkan ketepatan, ketangkasan, dan strategi, sambil mengajarkan cara menang dengan sportif dan cara menerima kekalahan dengan lapang dada.
Namun kini, permainan seperti gole-gole perlahan tergantikan oleh permainan digital yang menawarkan visual lebih memikat dan interaksi instan. Anak-anak kini lebih sering duduk berjam-jam di depan layar, berteriak memanggil nama senjata virtual, ketimbang berlari di tanah yang becek, atau menendang tempurung sambil tertawa bersama teman-temannya.
Sebagaimana yang diceritakan Om Hasan, hilangnya permainan seperti gole-gole bukan hanya kehilangan sebuah hiburan masa kecil, tetapi juga kehilangan ruang belajar nilai sosial yang terbentuk secara alami dalam interaksi permainan tradisional.
Permainan Tradisional Gole-Gole
Secara harfiah, gole-gole berarti “tendangan”. Nama ini merujuk pada cara bermain yang mengandalkan kaki untuk menendang sebuah objek bernama kafi—tempurung kelapa yang menjadi sasaran utama. Permainan ini secara tradisional diperuntukkan bagi anak laki-laki, karena membutuhkan kekuatan fisik dan ketangkasan, serta secara budaya tidak diperbolehkan dimainkan oleh perempuan.
Biasanya, gole-gole dimainkan sore hari selama bulan puasa sebagai hiburan sekaligus mengisi waktu menunggu berbuka. Permainan ini tidak terkait dengan upacara sosial, adat istiadat, atau ritual keagamaan tertentu, sehingga lebih bersifat rekreatif dan sosial. Para pemain umumnya anak-anak berusia 10 hingga 15 tahun, yang bermain secara berkelompok dengan jumlah anggota genap, seperti 2, 4, atau 6 orang.
Menurut Om Hasan "Dulu waktu kami kecil, sore hari pasti main gole-gole di lapangan kampung. Semua anak laki-laki main bersama, seru sekali. Tapi sekarang, anak-anak sudah jarang main seperti itu. Mereka lebih suka main handphone, main game, jadi permainan seperti gole-gole mulai hilang. Permainan gole-gole bukan saja buat hiburan, tapi juga ajarkan kita bagaimana kerja sama, sabar, dan berani. Sayang sekali kalau hilang begitu saja. Kami berharap anak-anak sekarang bisa diajak main dan belajar dari permainan ini. Waktu puasa biasanya kami main, jadi waktu menunggu berbuka tidak bosan. Tapi sekarang, suasananya sudah berbeda. Banyak tempat sudah tidak ada yang main seperti dulu.”
Tahapan Permainan
Permainan dimulai dengan seorang pemain dari kelompok, misalnya beranggotakan empat orang. Pemain pertama menendang kafi yang diletakkan di atas batu gonofu (sabuk kelapa) menggunakan tumit kaki. Bila tendangan gagal mengenai sasaran, giliran berlanjut dari titik bola berhenti, dengan upaya agar tendangan berikutnya berhasil. Setiap pemain mendapat beberapa kesempatan sesuai kesepakatan kelompok. Bila tendangan pertama tepat sasaran, disebut kobe, permainan berlanjut dengan tendangan kedua dan seterusnya.
Pada tahap kedua, pemain yang memegang tempurung berlari secepat mungkin menyentuh batu gonofu di depan dan kembali ke tempat awal. Pemain lawan berusaha menyentuh tubuhnya sebelum melewati garis ‘daerah mati’. Jika tertangkap, pemain dianggap ‘mati’ dan harus keluar dari permainan. Jika berhasil mencapai tempat awal tanpa tersentuh, pemain mendapat satu poin, dan giliran beralih ke pemain berikutnya.
Tahap ketiga hanya diikuti oleh pemain yang masih hidup. Pemain yang memulai kembali pola tendangan seperti tahap pertama. Jika tendangan gole langsung kobe batu gonofu, pemain dapat ‘menghidupkan’ kembali rekan yang ‘mati’, sehingga rekannya bisa kembali bermain. Namun, jika tendangan pertama kobe, pemain tidak boleh melanjutkan tendangan kedua, melainkan harus melakukan gerakan ‘heja’—menjepit tempurung di antara kedua lutut dan melompat melewati dua batu sebelum melakukan tendangan kedua. Bila tendangan kedua berhasil menembus pemain yang ‘mati’, pemain tersebut bisa bergabung kembali. Jika tidak, tahap ini hanya menghasilkan satu poin. Kelompok dengan nilai tertinggi dinyatakan pemenang dan permainan diulang oleh kelompok pemenang.
Konsekuensi Kalah-Menang dan Nilai Sosial-Budaya
Permainan berakhir dengan kemenangan atau kekalahan kelompok. Kelompok yang kalah menerima hukuman ringan yang sudah disepakati sebelum bermain, yang berfungsi sebagai bagian dari keseruan sekaligus penguatan solidaritas dan rasa tanggung jawab bersama. Budi Janglaha (47 tahun), salah satu mantan pemain gole-gole, menceritakan:
"Lebih dari sekadar hiburan, gole-gole memuat nilai sosial dan budaya penting dalam membentuk identitas komunitas dan hubungan antargenerasi. Anak-anak diajarkan kebersamaan, kerja sama, dan solidaritas, karena setiap anggota kelompok harus saling mendukung demi kemenangan bersama. Hal ini menumbuhkan rasa kekeluargaan dan tanggung jawab sosial. Waktu itu, main gole-gole bukan hanya soal menang kalah, tapi bagaimana torang belajar saling percaya dan bertanggung jawab. Kalau ada yang keluar, torang beri kesempatan untuk kembali main. Sekarang anak-anak lebih senang di dalam rumah, main gadget, itu yang bikin permainan ini jadi jarang terlihat."
Pembatasan hanya untuk laki-laki bukan semata soal fisik, tetapi mencerminkan norma sosial tradisional terkait peran gender. Gole-gole menjadi arena sosialisasi maskulinitas muda, mengasah keberanian, ketangguhan, dan keterampilan fisik yang dihargai dalam kehidupan sehari-hari.
Waktu permainan yang umumnya saat bulan puasa juga menunjukkan fungsi sosial dan religius lokal. Permainan mengisi waktu senggang dengan aktivitas positif, menjaga semangat kebersamaan tanpa mengganggu kewajiban ibadah. Dengan demikian, gole-gole adalah praktik sosial yang mengharmoniskan rekreasi dan spiritualitas.
Sayangnya, modernisasi dan perubahan gaya hidup mengancam keberlangsungan permainan ini, yang berpotensi mengikis warisan budaya tak benda yang kaya makna. Melestarikan dan mengenalkan kembali gole-gole bukan sekadar mempertahankan hiburan masa kecil, tetapi menjaga koneksi generasi muda dengan akar budaya dan nilai komunitas yang membentuk identitas mereka.