![]() |
Gambar: Seorang Korps Pertahanan Kota yang berdiri memegang senjata api laras panjang, 1893. Sumber: ANRI, KIT 1095/85. |
Di wilayah Kesultanan Ternate, yang kala itu menjadi daerah swapraja di bawah pengaruh Belanda, aparat kepolisian kolonial bekerja berdampingan dengan struktur kekuasaan lokal. Namun relasi ini tidak setara. Polisi kolonial diberi kewenangan penuh untuk mengintervensi urusan internal masyarakat, termasuk kegiatan keagamaan, pertemuan adat, hingga pergerakan penduduk antar kampung.
Menurut sejarawan R. Cribb (2022), aparat polisi kolonial dilatih untuk membaca setiap kerumunan sebagai potensi kerusuhan. “Setiap kumpulan orang bisa berarti perlawanan. Di Ternate, hal ini tampak dari intensitas pengawasan terhadap pasar-pasar, dermaga, dan kampung-kampung di pesisir. Gerak-gerik masyarakat adat dan pendatang seperti etnis Tionghoa, Buton, dan Arab dicatat secara rutin. Bahkan, dalam laporan-laporan polisi yang tersimpan di arsip kolonial, terselip catatan harian tentang siapa yang berkumpul, berbicara, dan topik yang dibicarakan.
Personel polisi lokal sebagian besar berasal dari kalangan bumiputra, direkrut dari Ambon, Manado, Makassar dan kadang dari Ternate sendiri. Namun, posisi mereka lebih sebagai pelaksana. Komando tetap berada di tangan pejabat Belanda atau Indo-Eropa. Para polisi bumiputra ini sering berada dalam dilema, menjadi alat penjajahan terhadap bangsanya sendiri, atau kehilangan pekerjaan yang langka di masa itu.
Sistem ini juga mempraktikkan diskriminasi rasial. Polisi secara aktif mengawasi kelompok Tionghoa dan bumiputra, sementara penduduk Eropa menikmati perlindungan hukum yang lebih besar (Lohanda, M. 1996). Menjelang abad XX, peran polisi diperluas untuk menekan pergerakan nasionalis, seperti Sarekat Islam dan PKI, melalui pengawasan, infiltrasi, dan penangkapan.
Polisi Kota di Ternate
Keberadaan militer merupakan elemen vital dalam struktur kekuasaan kolonial Belanda di wilayah jajahan, termasuk di Ternate. Sejak era Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Ternate (1607-1619) kekuatan militer sudah diorganisasi untuk menopang hegemoni kolonial, terutama dalam merespons perlawanan lokal. Setelah pementukan Karesidenan Ternate (1866), militer kerap didatangkan dari pusat-pusat kolonial lainnya seperti Ambon, Makassar, dan Batavia (Jakarta).
Sebagai langkah preventif terhadap potensi gangguan keamanan, pemerintah Hindia Belanda membentuk Korps Pertahanan Kota di Ternate pada tahun 1850. Kesatuan ini kemudian dikenal sebagai Stads Politie atau Polisi Kota. Pembentukan korps tersebut dipicu oleh permintaan Gubernur Maluku, menyusul insiden yang terjadi di wilayah kepulauannya. Inisiatif ini diperluas hingga Ternate sebagai pusat administratif dan militer penting di Maluku (Utara).
![]() |
Gambar: Recherche-Kantoor (Kantor Investigasi Kriminal) di Ternate, 1908--1920. Sumber; KITLV 1405958. |
Korps Pertahanan Kota di Ternate terdiri dari dua kompanyi: satu kompanyi beranggotakan orang Eropa yang dipersenjatai senjata api, dan kompanyi kedua yang terdiri dari penduduk Kristen pribumi, bersenjata parang dan tombak. Total personel mencapai 290 orang, masing-masing dipimpin oleh seorang perwira berpangkat kapten (Bosscher, 1859: 243). Tugas utama korps ini meliputi penjagaan kota, pengamanan malam di penjara sipil, menjaga jalannya persidangan oleh Dewan Pengadilan, hingga mengikuti ekspedisi militer. Mereka juga dapat dikerahkan untuk pertempuran jika situasi dianggap mendesak. Pelatihan rutin dilakukan oleh instruktur militer Belanda, menandakan pentingnya profesionalisasi dalam tubuh kepolisian kolonial.
Salah satu peristiwa penting yang melibatkan Korps Pertahanan Kota adalah perebutan kembali Benteng Santo Lucia (Kalamata) dari tangan bajak laut pada tahun 1855. Atas kontribusi ini, mereka menerima penghargaan dari Departemen Militer Maluku dan mendapat pengakuan formal melalui SK Pemerintah No. 8 tanggal 14 September 1856 (Tobias, 1857: 83).
Menanggapi performa positif pasukan, Residen Ternate mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal di Batavia untuk mempersenjatai kompanyi kedua dengan senjata api. Permohonan ini dikabulkan melalui Surat Putusan Gubernur Jenderal No. 537 tanggal 20 September 1856. Tak lama kemudian, Residen merekrut 100 personel tambahan untuk memperkuat kompanyi kedua (Ibid.).
Polisi Kota dan Militerisme Kolonial di Ternate
Menjelang 1920-an, ketika benih-benih nasionalisme mulai tumbuh di Maluku, termasuk lewat aktivitas Sarekat Islam dan pengaruh pergerakan di Jawa, polisi kolonial di Ternate mulai menyesuaikan metode kerjanya. Taktik seperti infiltrasi, pengawasan terhadap surat kabar, dan interogasi terhadap pemuda-pemuda yang baru pulang sekolah dari Jawa atau Makassar menjadi praktik sehari-hari. Aparat intelijen (inlandse recherche) dikirim menyamar dalam pasar atau forum diskusi kecil, mencari tahu apakah ada "paham-paham liar" yang mengarah pada pemberontakan.
Abad XX, gelombang perlawanan rakyat di Karesidenan Ternate meningkat. Ini mendorong penambahan jumlah kompanyi dan pengiriman pasukan tambahan dari Ambon, Manado, dan Makassar. Meskipun tidak tercatat secara pasti jumlah total pasukan di Ternate, Laporan (Anoniem, 1914: 176–177)“Met Bijlage Berichten van de Utrechtsche Zending, No. 12-1 Desember”, Menyebutkan peningkatan signifikan dalam jumlah militer, terutama saat menghadapi "Pemberontakan Banau" di Jailolo
Sebagai respons atas perlawanan tersebut, Belanda mengerahkan pasukan secara besar-besaran: 30 tentara dan 30 polisi dari Ambon, serta 50 tentara dan 30 polisi dari Manado. Total lima brigade serdadu dikerahkan untuk menekan pemberontakan di Jailolo (Magani, 2012, hlm. 128). Untuk mengejar dan menangkap Banau, pemerintah kolonial juga mengirim 80 anggota Marsose—pasukan militer bayaran di bawah KNIL yang dikenal brutal dan loyal pada pemberi upah, bukan pada prinsip keadilan. Selain itu, sebanyak 260 tentara Belanda dan 120 polisi juga turut dikerahkan (Ahmad, I. et al., 2003, hlm. 78–88).
Dinamika sejarah Polisi Kota di Ternate mencerminkan wajah kolonialisme yang mengedepankan kekuatan militer sebagai instrumen utama dalam mengendalikan masyarakat lokal. Polisi bukan hanya aparat penegak hukum, melainkan tangan kekuasaan kolonial yang menjelma dalam seragam dan senjata. Fungsi mereka lebih condong pada pengawasan dan penertiban, alih-alih perlindungan terhadap warga.
Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), struktur kepolisian kolonial diserap ke dalam sistem Keisatsutai, di bawah kontrol ketat militer Jepang. Namun setelah Jepang angkat kaki dari wilayah Maluku, termasuk Ternate, Belanda kembali mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Serdadu dan polisi kolonial didatangkan untuk mengamankan wilayah-wilayah strategis serta memantau geliat nasionalisme yang mulai berkembang di Ternate dan sekitarnya.
Ketegangan mencapai puncaknya pada 1946–1947, ketika terjadi perlawanan Haji Salahuddin bin Talabuddin di wilayah Patani. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai "Perang Patani", laporan kolonial mencatat bahwa jumlah serdadu dan polisi Belanda mencapai 1.000 personel, tersebar di Ternate, Patani, dan berbagai kawasan di Halmahera yang dianggap rawan. Ini merupakan salah satu mobilisasi militer terbesar Belanda di kawasan timur Indonesia pasca-Perang Dunia II, dan menunjukkan bahwa peran polisi kota tidak pernah lepas dari bayang-bayang senjata dan perintah kekuasaan kolonial.
Membaca Ulang Sejarah Polisi di Ternate
Kini, saat kita menyusun kembali narasi sejarah kota dan identitas kolektifnya, penting untuk tidak melupakan peran institusi-institusi represif seperti polisi kolonial. Karena dari sanalah kita bisa memahami bagaimana kekuasaan bekerja dalam ruang urban kolonial—bukan untuk membangun, tetapi untuk mengontrol. Ternate bukan sekadar kota rempah dan kesultanan, tetapi juga kota yang pernah diawasi.
Meski arsip dan dokumentasi mengenai aktivitas polisi kolonial di Ternate tidak sebanyak di kota-kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, jejak-jejak itu tetap menyelinap dalam serpihan sejarah yang tersebar—terkubur dalam laporan-laporan kontrolir, catatan pengadilan kolonial, serta tersimpan dalam kenangan kolektif yang diwariskan secara lisan.
Di balik tenangnya Benteng Oranje yang kini menjadi destinasi wisata, tersimpan sejarah panjang tentang bagaimana ruang-ruang itu pernah diawasi dengan cermat oleh mata kekuasaan kolonial. Ruang-ruang ibadah, pasar, pelabuhan, bahkan gang-gang kecil, pada masa lalu bukan hanya arena aktivitas masyarakat, tetapi juga titik-titik strategis pengamatan dan pengendalian sosial.
Kini, saat kita menyusun kembali narasi sejarah kota dan identitas kolektifnya, penting untuk tidak melupakan keberadaan institusi-institusi represif seperti polisi kolonial. Mereka adalah bagian dari mesin kekuasaan yang bekerja secara senyap namun sistematis. Melalui institusi semacam ini, kolonialisme memelihara kendali tidak hanya lewat senjata dan perjanjian, tetapi juga melalui ketakutan, pengawasan, dan disorientasi sosial yang membungkam inisiatif rakyat.
Mengingat hal ini bukan berarti menghidupkan trauma masa lalu, tetapi justru untuk memahami bagaimana relasi kuasa dibentuk dan diwariskan dari masa ke masa. Ternate, yang selama ini kita kenal sebagai kota rempah dan kesultanan, juga menyimpan identitas lain—sebagai kota yang pernah diawasi, sebagai ruang di mana kontrol diterapkan bukan untuk membangun warganya, tetapi untuk menjinakkan mereka.
Dengan menyadari sejarah tersebut, kita dapat mulai membayangkan ulang bentuk keamanan yang lebih manusiawi, serta membangun institusi-institusi publik yang benar-benar berpihak pada rakyat. Karena hanya dengan memahami masa lalu secara utuh, kita bisa membentuk masa depan yang lebih adil.