![]() |
Gambar: Sabuah"—rumah sementara milik nelayan musiman Tidore—digunakan sebagai tempat pengawetan ikan melalui proses pengasapan (fufu) di Taliabu, tahun 1917. Sumber: P. Hulstij (1918). |
Giop adalah nama jaring tradisional yang digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil, seperti julung-julung (Hemirhamphus far). Aktivitas penangkapan biasanya dilakukan menggunakan perahu jenis arumbaij, sejenis perahu bercadik yang umum digunakan oleh nelayan di kawasan pesisir Maluku (utara) dan Papua.
Dalam kehidupan masyarakat pesisir, giop bukan sekadar alat tangkap, melainkan juga bagian dari identitas budaya maritim orang Mareku, Tidore—yang diwariskan secara turun-temurun. Teknik menjaring dengan giop biasanya dipelajari sejak usia muda dan menjadi bagian dari pengetahuan lokal yang terus hidup dalam komunitas nelayan. Karena itu, meskipun jenis perahu yang digunakan adalah arumbaij, masyarakat lebih mengenal dan menyebut para pelakunya sebagai nelayan giop—bahkan perahunya pun sering disebut perahu giop.
Penyebutan ini bukan hanya menunjukkan jenis alat tangkap yang digunakan, tetapi juga mencerminkan pengakuan terhadap tradisi dan keterampilan nelayan yang telah lama menghidupi komunitas pesisir. Dalam banyak kampung nelayan, nelayan giop dihormati sebagai penjaga warisan laut, yang memahami ritme musim, arah arus, dan pergerakan ikan di perairan mereka.
Menurut catatan Kuneman H. (1882) dalam laporan berjudul “Zeevisscherijen langs de kusten der Eilanden van den Molukschen Archipel”, perahu jenis arumbaij sudah lama digunakan oleh nelayan di Pulau Ambon, Seram, Buru, hingga wilayah Tidore, Ternate dan sekitarnya. Arumbaij bukan sekadar perahu, tapi jadi andalan utama nelayan di kawasan Maluku.
Perahu ini dibuat dari belahan papan yang disambung rapi dengan paku kayu. Proses pembuatannya selalu dimulai dari lunas—bagian dasar perahu yang menjadi tulang punggung struktur. Biasanya, lunas dibuat dari kayu keras seperti kayu besi (ulin) atau gofasabatu, dua jenis kayu yang dikenal sangat tahan terhadap air laut.
Meski Kuneman tidak menyebutkan ukuran pasti perahu arumbaij, ia mencatat bahwa perahu ini cukup besar untuk memuat antara 8 hingga 18 nelayan. Menariknya, tidak seperti perahu bercadik lainnya, arumbaij justru tidak menggunakan cadik (outrigger). Sebab, menurut para nelayan, cadik bisa mengganggu saat menjaring ikan—khususnya saat mereka berburu ikan pelagis seperti julung-julung.
Jadi, sejak abad XIX, arumbaij telah menjadi bagian penting dari tradisi maritim Maluku. Ia bukan hanya alat transportasi, tapi juga simbol keahlian, kekompakan, dan pengetahuan laut yang diwariskan turun-temurun oleh komunitas nelayan.
Perahu Giop yang umum digunakan oleh penduduk pribumi untuk melakukan aktivitas di laut, baik dalam aktivitas penangkapan ikan (mangael), maupun sebagai sarana transportasi antar pulau dan desa gam (kampung). Perahu Giop mampu ditumpangi 15-20 orang. Karena kedua sisinya sangat tinggi dari permukaan air yang digunakan sebagai tempat para awak perahu matimao untuk mendayung panggayung (Baretta, J.M. 1917)
Dalam satu kelompok bisanya ada seorang saihu, suatu “jabatan” yang melekat pada juru mudi perahu penangkapan ikan. Selain itu, seorang saihu memiliki kemampuan untuk mengetahui atau menentukan lokasi penangkapan ikan pasi berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Seorang saihu diyakini memiliki kekuatan supranatural untuk mampu menangkis ancaman hantu laut atau menggoda dan mempengaruhi berbagai jenis-jenis ikan-ikan yang akan ditangkap dapat ikan melalui mantra-mantra agar menghampiri perahu mereka, terutama untuk menangkap ikan julungjulung.
Giop: Warisan Laut dari Mareku yang Tak Lekang oleh Zaman
Di Mareku, sebuah negeri pesisir di wilayah Tidore, giop bukan sekadar aktivitas melaut. Ia adalah warisan budaya, tradisi turun-temurun yang terus hidup dalam napas para nelayan. Giop bukan nama ikan, melainkan metode menangkap ikan pelagis—seperti julung-julung—dengan perahu kecil dan jaring tradisional. Teknik ini sederhana, namun membutuhkan keahlian yang tinggi, naluri tajam, dan pemahaman mendalam tentang laut.
Giop bukan nama ikan, bukan pula nama perahu, melainkan cara menangkap ikan yang sudah diwariskan turun-temurun oleh para leluhur Mareku. Dengan jaring sederhana dan perahu kecil, para nelayan menyasar ikan pelagis seperti julung-julung—ikan ramping dan cepat yang biasa berenang di permukaan laut. Di tangan orang-orang Mareku, giop bukan sekadar teknik, tetapi warisan budaya, pengetahuan lokal tentang musim, arus, dan tanda-tanda alam yang diajarkan dari generasi ke generasi.
![]() |
Gambar: Nelayan Tidore di Galela, 1930. Sumber: Tropen Museum. |
Sejarah mencatat bahwa tradisi ini telah hidup sejak masa Kesultanan Tidore, bahkan kemungkinan sejak abad XVI. Menurut sejarawan C. F. van Fraassen (1987), para nelayan Mareku punya posisi penting dalam sistem maritim kesultanan—mereka adalah penjaga laut bagian timur dan penyedia hasil laut untuk upacara adat, perjamuan istana, serta perdagangan lokal. Artinya, giop bukan sekadar soal mencari nafkah, tetapi bagian dari sistem sosial, budaya, bahkan politik kerajaan.
Hal senada dicatat oleh F. S. A. de Clercq dalam laporannya tahun 1890. Ia menulis, “Penduduk Tidore, khususnya Mareku dan Tomalou, sejak lama memiliki tradisi sebagai nelayan, terutama ikan julung, sebagai sistem sosial dalam pemenuhan kebutuhan Sultan.” Bahkan perahu-perahu yang mereka gunakan—giop, rorehe, dan bolote—dibuat langsung oleh tangan-tangan orang Tidore. Tradisi ini mengakar kuat, tak hanya dalam praktik melaut, tapi juga dalam cara orang menyebut identitas mereka: nelayan giop.
Menariknya, meski tak secara eksplisit menyebut kata "giop", catatan tua seperti karya François Valentijn (1724) "Oud en Nieuw Oost-Indien", menyebutkan keberadaan nelayan-nelayan Tidore yang menggunakan perahu kecil dan alat tangkap sederhana untuk mencari ikan di perairan sekitar pulau-pulau kecil. Cara kerja mereka yang cepat dan presisi sangat mungkin merujuk pada praktik giop, yang memang menuntut ketangkasan dan keterampilan membaca gerakan ikan permukaan seperti julung-julung atau cendro.
Peralatan giop pun dibuat dengan memanfaatkan sumber daya lokal. Dalam catatannya, J. M. Baretta (1918) menjelaskan bahwa jaring giop dulu dirakit dari benang kapas, serat daun nanas, batang melinjo (ganemo), dan lontar yang dipintal. Pelampung jaring dibuat dari gaba-gaba, batang ringan yang mudah terapung, sementara bagian bawah jaring diberi pemberat dari potongan timah. Jaring ini biasanya dioperasikan oleh 12 hingga 15 orang, tergantung ukuran perahu.
W. Ph. Coolhaas (1926) juga mencatat hal serupa: jaring giop dan redi julung dikerjakan secara kolektif, memperlihatkan bahwa giop adalah kerja komunitas yang menuntut solidaritas dan koordinasi tinggi. Perahu yang digunakan memang bukan sembarangan. Arumbaij, jenis perahu yang lazim dipakai, dibuat dari susunan papan dengan lunas dari kayu ulin atau gofasabatu—jenis kayu keras yang tahan air laut.
Tradisi giop bertahan melewati zaman. Ia menyelamatkan diri dari penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, hingga gelombang perubahan pasca-kemerdekaan. Tak banyak yang berubah dalam cara mereka menangkap ikan. Nelayan Mareku tetap setia pada jaring, laut, dan warisan. Teknologi boleh datang, tapi giop hidup dalam ingatan, tubuh, dan cerita yang diwariskan dari ayah ke anak, dari kakek ke cucu.
Kini, giop mungkin tak lagi menjadi pilihan utama sebagian nelayan muda. Tapi ia tetap hidup, masih digunakan, masih diajarkan. Sebab bagi orang Mareku, giop bukan sekadar alat tangkap—ia adalah bagian dari siapa mereka sebenarnya.
Ketika Angin Selatan Melemah: Jejak Nelayan Giop dari Mareku
Setiap kali angin selatan mulai melemah dan langit memasuki bulan-bulan tenang antara September hingga November, perairan Tidore menjadi saksi dari sebuah pergerakan besar yang telah berlangsung selama berabad-abad. Dari kampung Mareku, para nelayan bersiap meninggalkan kampung halaman. Perahu-perahu giop—kapal tradisional mereka—mulai mengarah ke selatan, menyusuri jalur-jalur laut yang tak tertulis, menuju Kepulauan Bacan dan Kepulauan Sula.
Tradisi ini bukan hal baru. Dalam catatannya yang terbit hampir seabad lalu, W. Ph. Coolhaas (1926) mencatat bahwa nelayan Mareku telah lama melayari perairan ini. Mereka memilih waktu ketika angin selatan melemah agar perjalanan menuju Bacan lebih aman. Ketika musim angin berganti, dari November hingga Januari, mereka kembali ke Tidore. Angin utara menjadi kawan, mendorong layar-layar giop ke arah rumah mereka di utara.
Tapi Bacan dan Sula bukan satu-satunya tujuan. Catatan F. S. A. de Clercq (1890) menyebut bahwa Kepulauan Widi dan perairan sekitar Halmahera bagian selatan juga menjadi wilayah jelajah para nelayan ini. Setiap ekspedisi giop dilakukan dengan perhitungan matang terhadap cuaca, musim, dan arus laut. Laut bukan tempat asing, melainkan ruang yang dipahami dengan cermat melalui pengalaman lintas generasi.
Kisah pengembaraan ini tak bisa dilepaskan dari konteks sosial-politik masa kolonial. Ketika monetisasi pajak mulai diberlakukan pada tahun 1880, sistem upeti dan kerja wajib dihapuskan. Kelompok nelayan Mareku dan Tomalou—dua komunitas pesisir penting di Tidore—mendapat keleluasaan untuk melaut sejauh mungkin, asal kewajiban pajak mereka tetap terpenuhi. Seperti dicatat oleh Coolhaas (1926) dan Hulstijn (1918), inilah awal dari ekspansi besar-besaran nelayan Tidore ke luar wilayah mereka. Mereka menetap sementara di daerah-daerah seperti Oba, Weda, Maba, Patani, Kepulauan Sula-Sanana, Taliabu, Raja Ampat, hingga ke Sulawesi Utara.
Namun, kepergian mereka tak pernah bersifat permanen. Para nelayan giop hanya tinggal dalam waktu terbatas. Di lokasi tangkapan, mereka membangun sabuah—rumah sementara yang akan ditinggalkan setelah musim berlalu. Biasanya mereka tinggal selama 6 hingga 9 bulan, kemudian pulang ke Tidore membawa hasil laut: ikan asin, ikan asap (fufu), hingga garam—komoditas yang dicatat juga oleh Baretta (1917) sebagai hasil utama dari kegiatan perikanan musiman ini.
Apa yang membuat giop istimewa bukan hanya jaring atau perahunya. Nilai-nilai adat dan spiritual menyatu dalam setiap keberangkatan ke laut. Beberapa nelayan Mareku masih menjalankan ritual-ritual kecil sebelum melaut: membaca doa, membawa benda pusaka, atau mengucap niat di hadapan laut. Mereka percaya laut tidak hanya dihuni ikan, tetapi juga roh-roh penjaga yang harus dihormati. Laut bukan semata ruang ekonomi, tetapi juga ruang sakral.
Namun zaman berubah. Alat tangkap modern, mesin, dan teknologi mulai menggantikan praktik-praktik tradisional seperti giop. Tapi tidak semua tunduk pada perubahan. Di Mareku, sebagian nelayan tetap setia pada giop, sebagai bentuk perlawanan terhadap cara-cara penangkapan ikan yang rakus dan merusak. Basri (2021) menuliskan bahwa bagi mereka, giop adalah cara hidup, bukan sekadar alat cari nafkah. Ia mencerminkan keterikatan pada alam, komunitas, dan warisan leluhur.
Kini, di tengah derasnya arus globalisasi dan modernisasi, tradisi giop tidak lagi menggeliat.. Mengenali dan merawat sejarah giop adalah bagian dari menjaga kedaulatan pangan laut dan keberlanjutan ekologi pesisir. Giop bukan masa lalu yang usang. Ia adalah masa kini yang masih hidup, menunggu untuk didengar, dipahami, dan diwariskan kembali.